Di Balik Upaya Menghapus Kata Kafir
Benarkah semua kata atau istilah dalam kontentasi politik dan pertarungan peradaban itu netral? Tentu tidak. Dalam dunia politik dan pertarungan peradaban, hampir setiap kata atau istilah dipilih dengan hati-hati untuk memberikan pesan dan kesan tertentu. Istilah-stilah seperti “merakyat”, “sederhana”, “sibuk kerja”, “wong cilik” dan sebagainya dipilih dengan hati-hati untuk memberikan pesan dan kesan tertentu. Demikian pula istilah-istilah seperti “radikal”, “intoleran”, “anti-kebhinekaan” dan lain sebagainya.
Kata-kata ini dipilih oleh kelompok tertentu untuk memberi kesan tertentu untuk menjatuhkan dan menghancurkan kelompok lain. Tentu kelompok tertentu yang digelari dengan istilah-istilah tersebut belum tentu seperti itu. Jadi, sebuah kata dan istilah tertentu sesungguhnya merupakan “peluru” yang ditembakkan dalam perang pemikiran untuk memenangkan hati dan pikiran umat.
Oleh karena itu, penggunaan kata dan istilah harus pilih dengan sebaik-baiknya. Orang-orang yang memusuhi Islam menggunakan kata dan istilah tertentu juga harus dikritisi dan dicermati agar masyarakat tidak terperdaya dan jatuh dalam tipudaya yang mereka lakukan. Hal ini terjadi bukan hanya pada zaman sekarang, tetapi pada masa lalu, bahkan pada zaman Nabi Muhammad saw. dan pada zaman yang akan datang.
Di antara istilah yang saat ini sedang trending topic adalah istilah “kafir”. Kafir adalah istilah yang digunakan oleh Allah di dalam al-Quran di dalam banyak sekali ayat. Tentu ada makna dan kesan tertentu dari istilah kafir. Tidak dipungkiri banyak pihak yang merasa tidak nyaman, bahkan merasa dirugikan dengan istilah tersebut. Oleh karena itu, baru-baru ini, sebuah kelompok umat Islam tertentu yang akhir-akhir ini memiliki hubungan dekat dengan kelompok-kelompok kafir, mengeluarkan fatwa agar istilah kafir tidak lagi digunakan. Sebagai gantinya digunakan istilah non-Muslim.
Tentu kita tidak heran dengan munculnya fatwa tersebut. Fatwa seperti itu lumrah dikeluarkan oleh kelompok mana pun yang menjalin hubungan mesra dengan orang-orang kafir. Namun, agar masyarakat tidak terperdaya dengan berbagai manuver dalam perang istilah ini, motif di balik keluarnya larangan menggunakan istilah kafir perlu dibahas.
Memecah-belah, Teologi Kekerasaan?
Benarkah istilah kafir memecah-belah? Kita semua tahu, kafir adalah istilah yang digunakan Allah dan Rasul-Nya di dalam al-Quran as-Sunnah. Apakah setelah dakwah Rasulullah saw, bangsa Arab terpecah-belah?
Faktanya, dengan dakwah Rasulullah, Madinah yang sebelumnya terpecah-belah dan terjadi konflik berkepanjangan selama ratusan tahun, justru menjadi bersatu. Bukan hanya masyarakat Madinah yang bersatu, tetapi seluruh bangsa Arab. Bukan hanya bangsa Arab, tetapi bangsa-bangsa selain Arab juga bersatu. Artinya, pernyataan bahwa istilah kafir memecah-belah murni hanya klaim yang tidak didasarkan pada fakta.
Lalu apakah istilah kafir merupakan bentuk teologi kekerasan? Secara obyek, kafir adalah istilah untuk klasifikasi. Ada Islam, ada kufur. Ada orang Islam, ada orang kafir. Klasifikasi itu ada di mana pun dan kapan pun. Klasifikasi itu sama sekali tidak bisa diartikan sebagai bentuk diskriminasi, apalagi sebagai bentuk kekerasan. Misalnya, manusia diklasifikasi ada laki-laki dan ada perempuan. Apakah ini bentuk kekerasan kepada laki-laki atau perempuan? Tentu tidak. Laki-laki dan perempuan itu fakta dari klasifikasi manusia. Kekerasan itu terjadi jika laki-laki memukul wanita atau sebaliknya wanita memukul laki-laki. Namun, pukul-pukulan itu dapat terjadi pada siapa pun, bahkan lebih banyak terjadi antara laki-laki dengan laki-laki. Ini fakta.
Dalam pandangan Islam, jika manusia diklasifikasi dari sisi agama dan keyakinannya, dapat terbagi menjadi dua: yaitu beragama Islam dan tidak beragama Islam, yang kemudian disebut kafir. Hal ini tidak ada kaitannya dengan kekerasan. Apalagi dituduh sebagai bagian teologi kekerasan. Sebaliknya, Islam yang telah mengklasifikasi manusia menjadi Islam dan kafir justru memerintahkan berbuat baik, bersikap adil dan membantu orang kafir yang tidak memusuhi umat Islam. Jika kita menyakiti mereka, sama artinya membuat perkara terhadap Rasulullah saw. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang menyakiti kafir dzimmi maka aku berperkara dengan dia. Siapa saja yang berperkara dengan aku, maka aku akan memperkarakan dia pada Hari Kiamat.” (As-Suyuthi, Al-Jâmi‘ ash-Shaghîr).
Islam juga mengajarkan bahwa orang kafir tidak boleh dipaksa untuk masuk Islam. Allah SWT berfirman: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.” (TQS al-Baqarah [2]: 256).
Jadi, orang kafir bebas memeluk agama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya.
Islam pun mengklasifikasi orang kafir berdasarkan banyak aspek. Misalnya, dari aspek sumber agama mereka, dikenal dua klasifikasi: Pertama, Ahlul Kitab, yaitu orang kafir yang kitabnya adalah kitab samawi, yakni dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Kedua, musyrik, yaitu orang kafir selain Yahudi dan Nasrani, seperti orang Hindu, Budha, dan lain sebagainya.
Apakah adanya klasifikasi ini memunculkan konsekuensi? Tentu, iya. Salah satunya, sembelihan orang kafir Ahlul Kitab halal dimakan oleh umat Islam, sementara sembelihan orang musyrik tidak halal dimakan.
Kemudian dari aspek sikap orang kafir, mereka dapat diklasifikasi menjadi beberapa. Ada kafir dzimmi, yakni orang kafir yang menjadi warga dan tetangga yang baik di dalam Daulah Islam. Ada kafir harbi, yakni orang kafir yang memusuhi dan memerangi umat Islam. Secara otomatis, jika mereka memusuhi dan memerangi umat Islam, mereka harus dihadapi dan dilawan. Ini sesuatu yang alamiah. Jadi peperangan (baca: kekerasan) ini terjadi bukan karena kekafirannya orang kafir, tetapi karena permusuhan atau peperangan yang mereka lakukan.
Jadi, istilah kafir itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan kekerasan sehingga disebut sebagai teologi kekerasan.
Lalu benarkah Rasulullah tidak menggunakan istilah kafir di Madinah? Faktanya, istilah kafir juga digunakan oleh Rasululah saw. sejak beliau hadir di Madinah sampai menjelang wafat. Ketika beliau hadir di Madinah mejadi kepala negara di sana, beliau membuat konstitusi tertulis pertama yang disebut dengan Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah). Pada pasal ke empat belas, piagam itu berbunyi: “La taqtulu mu’min[un] mu’min[an] fi kafir[in], wa la yanshuru kafir[an] ‘ala mu’min[in] (Seorang Mukmin tidak boleh membunuh orang Mukmin lainnya lantaran orang kafir. Tidak boleh pula orang Mukmin membantu orang kafir untuk (membunuh) orang Mukmin).”
Rasulullah saw. pun menggunakan istilah kafir yang memang terdapat di dalam al-Quran hingga menjelang akhir hayat beliau. Dalam Surat at-Taubah yang turun menjelang akhir hayat Rasulullah, banyak disebutkan istilah kafir (Lihat, msalnya QS at-Taubah [9]: 1-2).
Di Mina, setelah selesai membacakan Surat at-Taubah ayat 1-36, Sayidina Ali berdiri di hadapan masyarakat, lalu berseru dengan lantang, “Hai manusia! Sungguh orang kafir tidak akan masuk surga dan orang musyrik tidak boleh berhaji serta tawaf di Baitullah dalam keadaan telanjang setelah tahun ini…”
Dengan melihat sekelumit fakta di atas, tampak bahwa Rasulullah tidak seperti yang diklaim oleh sebagian orang, bahwa beliau tidak lagi menggunakan istilah kafir. Bahkan tuduhan tersebut dapat dianggap sebagai kedustaan atas nama Rasulullah saw.
Liberalisasi Islam
Sebenarnya, di balik pelarangan atas penggunaan istilah kafir dan menggantinya dengan istilah non-Muslim pasti ada agenda tersembunyi. Agenda utama di balik larangan menggunakan istilah kafir adalah upaya liberalisasi Islam. Salah satu cara liberalisasi Islam yaitu dengan mengubah istilah-istilah di dalam Islam. Di antaranya, istilah kafir dilarang digunakan, dan sebagai gantinya adalah istilah non-Muslim. Bukan hanya istilah ini, sebelumnya mereka juga telah mengubah beberapa istilah, misalnya “riba” diganti dengan “bunga”, “pezina” dengan “pekerja seks komersial”, dan lain sebagainya. Mereka juga berjuang mati-matian untuk monsterisasi sebagian istilah dalam ajaran Islam, seperti “jihad”, “khilafah”, “syariah” dan lain sebagainya. Tujuan utamanya agar umat Islam malu atau takut menggunakan istilah-istilah dalam ajaran Islam. Jika menggunakan istilah saja takut, apalagi memperjuangkan Islam.
Lalu pertanyaannya, mengapa mereka melakukan semua upaya untuk menjauhkan ajaran Islam? Bukankah mereka juga beragama Islam? Jawabannya, karena Islam adalah ajaran yang anti penjajahan dan kezaliman. Orang-orang kafir tahu persis hal itu. Selama masyarakat memegang teguh Islam, selama itu pula orang-orang kafir tidak bisa mengeksploi-tasi kekayaan alam umat Islam, apalagi menjajah umat Islam sesuai kehendak mereka. Umat Islam dan para ulama akan melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir. Karena itulah orang-orang kafir berupaya agar Islam dibonsai satu demi satu. Dengan begitu , akhirnya Islam hanya tinggal nama.
Namun demikian, orang kafir tidak bisa melakukan semua itu. Dengan modal uang yang mereka miliki, mereka menyuap sebagian umat Islam yang mau melakukan hal itu. Mereka itulah orang-orang liberal. Dengan menyuap orang-orang liberal ini, maka orang kafir memiliki bebeberapa keuntungan sekaligus: Pertama, umat Islam berhasil diadu domba. Kedua, yang menghancurkan Islam justru orang dalam sendiri. Orang-orang kafir tidak perlu repot-repot, mereka hanya menyediakan dana yang merupakan sebagian kecil dari keuntungan melimpah yang mereka dapat dari mengeksploitasi kekayaan umat Islam. Ketiga, orang-orang kafir merasa tidak dapat disalahkan, sebab mereka tidak melakukan penghancuran Islam, yang melakukan adalah umat Islam sendiri.
Jadi, pelarangan penyebutan istilah kafir merupakan bagian dari agenda liberalisasi Islam.
Melegalkan Orang Kafir Berkuasa
Pelarangan penyebutan istilah kafir juga tidak bisa dilepaskan dari motif politik. Semua orang Indonesia, yang bukan pelupa, pasti ingat dengan Pilkada DKI Jakarta. Siapapun tahu, Ahok adalah salah satu calon gubernur. Siapapun memprediksi bahwa Ahok pasti menang dalam Pilkada DKI. Sebab, Ahok didukung oleh dana yang nyaris tak terbatas, media massa yang solid dan dukungan kekuasaan yang penuh. Ahok tak akan kalah. Meski kita tahu, betapa kejam dan arogannya dia dalam memimpin Jakarta.
Dalam suasana politik yang sudah dalam kendali, tiba-tiba muncul opini “haram pemimpin kafir”. Opini ini awalnya terasa sumir. Dianggap tak akan ada respon. Apalagi menjadi resonansi. Namun, umat Islam tetaplah umat Islam. Saat mereka diingatkan keharaman pemimpin kafir, hati kecil mereka masih menerima. Lalu opini tersebut mendapat sambutan meski kecil, kemudian membesar dan terus membesar. Pada saat yang sama, Ahok merespon dengan pongah “jangan mau dibohongi dengan al-Maidah”. Tiba-tiba masalah menjadi berkobar. Umat Islam terbakar. Terjadilah demo. Sayang, demo tersebut tidak dianggap oleh Pemerintah yang memang satu kubu. Lalu demo membesar hingga tercipta Gerakan 212 yang fenomenal. Diprediksi 7 juta umat Islam berkumpul di Monas menuntut Ahok diadili. Dampak adalah hancurnya elektabilitas Ahok. Kemudian Ahok mengalami kekalahan yang memalukan. Dana bertriliun-triliun melayang tak berbekas. Bahkan berbagai proyek raksasa, seperti reklamasi Teluk Jakarta, Meikarta dan lainnya mangkrak. Semua ini terjadi karena opini “haram pemimpin kafir”.
Karena itu mereka sadar bahwa istilah kafir harus disingkirkan. Selama ada istilah kafir, selama itu pula mereka tidak akan bisa menguasai Indonesia dan umat Islam. Tentu mereka tidak bisa mengeksekusi hal itu sendiri. Karena itulah mereka membayar kelompok umat Islam yang mau dibayar.
Dengan demikian di balik fatwa larangan penggunaan istilah kafir sebenarnya terselip agenda politik jahat. Inilah pentingnya umat Islam memahami politik. Jika umat Islam tidak sadar hal ini, orang-orang kafir justru akan berkuasa. Mereka yang dimanfaatkan juga akan ditendang jika dipandang tidak berguna lagi.
Alhasil, jangan sampai kita baru menyadari saat pedang sudah menempel di leher kita. Terlambat! Na’udzu bilLah. [Dr. Abu Zakka]