Afkar

Hukum-hukum Penting Seputar Ramadhan

Bulan Ramadhan selalu dirindukan kehadirannya karena keberkahan, ampunan dan pembebasannya dari api neraka. Karena itu perlu dipahami hukum-hukum seputar bulan Ramadhan agar maksimal menjalankan ibadah di dalamnya.

 

Menyambut Bulan Ramadhan

Manusia menyambut Ramadhan terbagi tiga golongan: bersedih; biasa-biasa saja dan tidak peduli; berlomba dan bergembira menyambut datangnya bulan Ramadhan (lihat: QS Fathir [35]: 32).

Rasulullah saw. dan para sahabatnya serta generasi salaf menyambut bulan Ramadhan penuh kegembiraan. Hal itu dapat diketahui dalam beberapa kondisi: Pertama, saat sebelum memasuki Ramadhan. Ma’alla bin al-Fadhal berkata: Dulu Sahabat Rasulullah saw. berdoa kepada Allah sejak enam bulan sebelum masuk Ramadhan agar Allah menyampaikan umur mereka ke bulan yang penuh berkah itu. Kemudian selama enam bulan sejak Ramadhan berlalu, mereka berdoa agar Allah menerima semua amal ibadah mereka pada bulan itu. Di antara doa mereka ialah:

اَللَّهُمَّ سَلَّمْ ني إِلىَ رَمَضَانَ، اَللَّهُمَّ سَلَّمْ لِيْ رَمَضَانَ، وَتَسَلَّمَهُ مِنِّيْ مُتَقَبَّلاً

Ya Allah, sampaikan aku ke bulan Ramadhan dalam keadaan selamat. Ya Allah, selamatkan aku saat Ramadhan dan selamatkan amal ibadahku di dalamnya sehingga menjadi amal yang diterima (HR at-Thabarani).

 

Dari sikap dan doa mereka, terlihat jelas antusiasmenya merindukan kedatangan Ramadhan.1

Di antara persiapan menyambut Ramadhan adalah: persiapan ilmu, yaitu menyiapkan ilmu (fikih) seputar bulan Ramadhan dan puasa; persiapan spiritual, yaitu melatih diri dalam suasana keimanan, ketaatan dan taqarrub ilalLâh; persiapan fisik, yaitu merawat kesehatan agar tetap sehat dan bugar memasuki Ramadhan; persiapan harta,  yaitu mengatur keuangan untuk maksimal berinfak pada bulan Ramadhan.

Kedua, saat memasuki Ramadhan. Rasul saw. dan para sahabat menyambut hilal dengan sukacita sembari membacakan doa ketika melihat hilal. Ibnu Umar berkata:

الله أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ أَهِلَّه عَلَيْنَا بِالْأَمْنِ وَالإِيماَنِ وَالسَّلاَمَةِ وَالإِسْلاَمِ وَالتَّوْفِيقِ لِمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَ، رَبُّنَا وَرَبُّكَ اللهُ

Allah Mahabesar. Ya Allah, jadikanlah hilal ini bagi kami membawa keamanan, keimanan, keselamatan, keislaman dan taufik kepada yang dicintai Tuhan kami dan Dia ridhai. Tuhan kami dan Tuhanmu (hilal) adalah Allah (HR at-Tirmidzidan ad-Darimi).

 

Ketiga, saat di dalam Ramadhan. Rasulullah saw. dan para sahabat menghidupkan siang dan malam sejak awal sampai akhir Ramadhan berbagai amal ibadah (Lihat: Hadis al-Bukhari no. 1902; Muslim no. 2308; dan an-Nasa’i no. 4/125 dari Ibn ‘Abbâs ra.). 

Keempat, saat memasuki sepertiga akhir Ramadhan. Ketika memasuki sepertiga akhir Ramadhan, Rasulullah saw. dan para sahabat generasi setelahnya mengencangkan tali ikat pinggangnya pertanda makin bertambah kesungguhannya untuk beribadah dan menghidupkan malam-malamnya. Mereka pun membangunkan keluarga mereka untuk shalat dan berzikir  hingga terbit matahari (Lihat: Hadis al-Bukhari no. 2247 dan Muslim no. 1174).

Demikianlah gambaran Rasulullah dan para sahabat dalam menyambut dan mengisi Ramadhan demi meraih kemuliaan Ramadhan yang hakiki. Itulah yang harus kita teladani dalam menyambut Ramadhan dan menghidupkan ibadah di dalamnya.

 

Mengawali dan Mengakhiri Puasa Ramadhan dengan Ru’yatul-Hilâl

Allah SWT telah mewajibkan puasa Ramadhan kepada kaum Muslim sejak diturunkan ayat 183 dari surat al-Baqarah. Syariah bukan hanya menjelaskan status hukum puasanya sebagai wajib ‘ain atas seluruh umat Muslim. Syariah juga menetapkan cara mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan, yaitu dengan melihat hilal (ru’yatul-hilâl).

Di antara hukum syariah seputar mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan adalah:  Pertama, perintah dan larangan berpuasa dikaitkan dengan ru’yatul hilâl (Lihat: Hadis al-Bukhari no. 1776, 1773; Muslim no. 1795; dan an-Nasai no. 2093).

Berdasarkan dua hadis di atas, para fuqaha berkesimpulan bahwa penetapan awal dan akhir puasa Ramadhan didasarkan pada ru’yatul hilâl. Hadis pertama memerintahkan mulai puasa dengan ru’yatul hilâl dan menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari jika hilal tidak terlihat. Hadis ini juga memerintahkan berbuka (Idul Fitri) dengan melihat hilal dan menyempurnakan bulan Ramadhan 30 hari jika hilal tidak terlihat. Hadis kedua melarang puasa Ramadhan sebelum melihat hilal atau sebelum menyempurnakan Sya’ban 30 hari.2

Kedia, terdapat larangan puasa 1 hari atau 2 hari mendahului Ramadhan, karena termasuk hari syakk (meragukan) kecuali hal itu terbiasa berpuasa (Lihat: Hadis Abu Dawud no. 1982, an-Nasa’i, 1/302; at-Tirmidzi, 1/133; al-Hakim 1/425).

Ketiga, jika tidak terlihat hilal secara langsung, tetapi ada salah seorang Muslim yang adil bersaksi melihatnya, maka kesaksiannya diterima. (Lihat: Hadis Imam yang lima, disahihkan oleh Khuzaimah dan Ibnu Hiban dari Ibnu Abbas).

Keempat, ru’yatul hilâl secara global yang dipakai.  Jumhur ulama tidak menganggap adanya perbedaan penentuan awal dan akhir puasa Ramadhan karena perbedaan mathla’. Abdurrahman al-Jazari menyatakan, “Jika hilal telah terlihat pada suatu wilayah maka wajib berpuasa seluruh wilayah, tanpa ada perbedaan antara dekat dan jauh jika informasi telah sampai padanya, dan tidak dianggap adanya perbedaan mathla’ hilal secara mutlak.”3 

Adapun hisâb falakî (astronomi), berbeda dengan ru’yatul hilâl. Bukan berarti tidak boleh menggunakan hisab astronomi. Justru hisab sangat membantu pelaksanaan ru’yatul hilâl seperti membantu menentukan kapan dilaksanakan ru’yatul hilâl, posisi dan arah bulan. Semua itu sebatas membantu, bukan penentu awal dan akhir puasa Ramadhan.4

 

Seputar Puasa Ramadhan

Puasa (shawm/shiyâm) secara bahasa adalah menahan (imsâk), yaitu menahan diri dari apa saja, termasuk tidak bicara (QS Maryam [19]: 26). Adapun menurut syariah, puasa adalah menahan diri dari makan, minum dan jimak dari terbitnya fajar shâdiq hingga terbenamnya matahari.5

Puasa Ramadhan hukumnya wajib atas setiap Muslim mukallaf dan mampu (fardhu ‘aîn). Kewajiban ini berdasarkan QS al-Baqarah [2]: 183, hadis riwayat al-Bukhârî tentang rukun Islam serta Ijmak Sahabat tentang kewajiban puasa Ramadhan. Maka dari itu siapa saja dari kalangan Muslim, baligh, berakal, sehat, muqîm (tidak sedang musafir) serta suci dari haid dan nifas khusus wanita, maka wajib berpuasa Ramadhan di siang hari.

 

Pembatal Shaum Ramadhan

Secara umum, pembatal puasa adalah semua hal yang dapat menyebabkan tidak terpenuhi rukun dan syarat puasa seperti murtad, hilang akal, berniat membatalkan, datangnya haid dan nifas, serta apa saja yang masuk ke perut dengan sengaja.

Secara khusus, pembatal puasa dapat dikategorikan menjadi dua: Pertama, wajib mengganti (qadhâ’) tanpa denda (kaffârah). Termasuk kategori ini: (a) menelan apa saja yang tidak lazim dimakan seperti kerikil dan bebijian, (b) sengaja mengeluarkan mani baik dengan tangan, mencium, memegang, membayangkan, dsb; (c)  berobat seperti obat tetes yang sampai ke kerongkongan, obat suntik injeksi, berobat dengan uap atau asap yang sampai tenggorokan termasuk merokok, memasukkan obat lewat dubur (lubang depan) atau qubul (lubang belakang); (d) lalai dan ketidaktahuan tentang puasa seperti; makan dan minum atau jimak dengan anggapan belum terbit fajar, padahal sudah masuk fajar, begitu juga berbuka sebelum maghrib karena mengira sudah maghrib; (e) ada sebab syar’i seperti sakit, musafir, hamil, menyusui, lanjut usia, tidak kuat menahan lapar dan minum serta dipaksa berbuka.6

Kedua, wajib mengganti (qadhâ’) dan membayar denda (kaffârah). Termasuk kategori ini: (a) makan dan minum dengan sengaja tanpa ada alasan syar’i; (b) sengaja dan sadar melakukan jimak; (c) sengaja mengubah niatnya, maka puasanya batal dan harus menggantinya serta membayar kaffârah.7

Selain itu ada perkara yang dapat menghapus pahala puasa namun puasanya sah seperti; berdusta (membuat hoax), menyebarkan fitnah, berkata kotor dan sia-sia, gosip, menipu, sumpah palsu, korupsi, melakukan perbuatan keji dan berbagai bentuk maksiat lainnya. Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لله حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Siapa saja yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan (HR al-Bukhari).

 

Hal-hal yang Tidak Membatalkan Puasa

Perkara yang dibolehkan selama berpuasa (tidak membatalkan puasa) adalah: makan, minum dan jimak dalam kondisi khilaf; masuknya debu, nyamuk, asap ketenggorokan tanpa disengaja dan tidak bisa mengelak; air mata masuk ke tenggorokan lewat bibir asalkan tidak banyak; menelan ludah sendiri; mencium aroma masakan; berkumur saat sedang berpuasa secara hati-hati; keluar darah dari luka secara tidak sengaja; muntah tanpa sengaja seperti sakit atau mabuk perjalanan; pingsan jika sempat sadar di siang hari; keluar sperma tanpa sengaja seperti bermimpi. Semua itu menjadikan puasa sah.8

Adapun perkara yang dimakruhkan adalah seperti: mencicipi sesuatu tanpa alasan, mencicipi susu dan madu, mengunyah makanan untuk anak, bercumbu dan segala yang menghantarkan terjadinya jimak (pendahuluan jimak), berlebihan dalam berkumur-kumur dan menghirup air pada saat berwudhu.9

 

Sunah-sunnah Puasa

Beberapa amalan yang dianjurkan dan disunnahkan dalam berpuasa, yaitu:

  • Sahur dan mengakhirkan waktunya (Lihat: Hadis al-Bukhari no. 1923; Muslim no. 1095; Ahmad, 5/147).
  • Menyegerakan berbuka jika telah tiba waktunya dan dianjurkan berbuka dengan ruthab (kurma basah), tamr (kurma kering), makanan yang manis-manis, air zam-zam atau air minum biasa (Lihat: Hadis Abu Dawud no. 2356 dan Ahmad 3/164 dari Abu Dzar di atas).
  • Memperbanyak doa pada waktu sahur dan menjelang berbuka puasa (HR Ibnu Majah, 1/557).
  • Menyibukkan diri dengan ibadah seperti tilawah, berzikir, bersedekah, shalat sunnah, berdakwah dan sebagainya, serta menjauhi segala bentuk kemaksiatan seperti berbohong atau menyebarkan hoax, menfitnah, provokasi dan sebagainya (HR al-Bukhari no.1903).

 

Seputar Zakat Fitrah

Zakat menurut bahasa an-namâ’ (tumbuh), az-ziyâdah (bertambah), ash-shalâh (perbaikan), ash-shafwah (menjernihkan sesuatu dan sesuatu yang dikeluarkan dari pemilik untuk menyucikan dirinya). Adapun kata Fithr sendiri berasal dari kata ifthâr, artinya berbuka (tidak puasa). Zakat disandarkan pada kata fithri karena fithri adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut. Sebagian ulama menyebut zakat ini dengan sebutan “fithrah”, yang berarti fitrah/naluri. Adapun menurut istilah, zakat fitri berarti zakat yang diwajibkan karena berkaitan dengan waktu ifthar (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan. 10

Zakat fitrah hukumnya wajib atas setiap Muslim tanpa kecuali, laki-laki atau wanita, anak-anak atau dewasa, bayi atau lanjut usia, sehat atau sakit, merdeka atau budak, kaya atau miskin dan siapa saja selama dinyatakan hidup dan mampu sebelum imam naik mimbar (Lihat: Hadis Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984).

Zakat fitrah wajib dikeluarkan sejak matahari terbenam di malam hari raya idul fitri. Boleh pula dikeluarkan pada akhir-akhir Ramadhan, tetapi tidak boleh dikeluarkan jika imam telah menyampaikan khutbahnya. Jika hal ini terjadi maka itu hanya sebagai sedekah biasa, bukan zakat fitrah. Orang yang berkewajiban mengeluarkan zakat fitrah adalah kepala keluarga untuk dirinya dan orang yang berada di bawah tanggungannya.

Zakat yang dibayarkan berupa makanan pokok yang dimakan sehari-hari seperti gandum, kurma, keju, kismis, beras, kacang-kacangan dan semacamnya. Ukuran yang harus dikeluarkan sebesar 1 shâ’ (empat genggam ukuran sedang) atau setara dengan 2,176 kg.11 Karena itu sah jika kita membayar zakat fitrah dengan beras sebanyak 2,5 kg. Demikian juga boleh dibayar dengan nilai mata uang seperti rupiah.12

Zakat fitrah disalurkan ke 8 golongan (ashnâf) sebagaimana disebutkan dalam QS at-Taubah ayat 60, namun sebagian menganggap lebih diutamakan ke fakir miskin berdasarkan HR Abu Dawud, no. 1609. Penyalurannya dapat disalurkan di negeri tempat seseorang mendapatkan kewajiban zakat fitrah, yaitu saat ia mendapati waktu fitri (tidak berpuasa lagi). Sebab kewajiban zakat fitrah ini berkaitan dengan sebab kewajiban yaitu bertemu dengan waktu fithri.

WalLâhu ahkam wa a’lam bishshawâb. [AH]

 

Catatan kaki:

1        Ibnu Rajab, Lathâif al-Ma’ârif fîmâ limawâsim al-âm min al-wazhâif, Dâr Ibnu Hazm, Cet.I, 2004, hal.148

2        Al-Mausûah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Pasal; ru’yatul hilâl, Kuwait; Dâr as-Salâsil, Cet.II. 1427H.

3        Abdurrahmân al-Jazarî, Al-Fiqhu ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, Kairo; al-Maktab ats-Tsaqâfî, Juz 1, hal.422

4        Mahmûd Abdul Lathîf U’waidhah, al-Jâmi’ li Ahkâm ash-Shiyâm,  Cet.II, 2005, hal.40

5        Muhammad rawwâs qal’ah jî, Mu’jam lughah al-fuqahâ’, Dâr an-Nafâis, cet.II, 1988, hal.278.

6        Al-mausûah al-fiqhiyyah al-kuwaitiyyah, pasal; ru’yatul hilâl, Kuwait; Dâr as-Salâsil, Cet.II. 1427H.

7        Al-Mausûah al-fiqhiyyah al-kuwaitiyyah, pasal; ru’yatul hilâl, Kuwait; Dâr as-Salâsil, Cet.II. 1427H.

8        Al-Mausûah al-fiqhiyyah al-kuwaitiyyah, pasal; ru’yatul hilâl, Kuwait; Dâr as-Salâsil, Cet.II. 1427H.

9        Al-mausûah al-fiqhiyyah al-kuwaitiyyah, pasal; ru’yatul hilâl, Kuwait; Dâr as-Salâsil, Cet.II. 1427H.

10      Mahmûd Abdur Rahmân Abdul Mun’im, Mu’jam Musthalahât al-Fiqhiyyah wa al-Alfâzh, Dâr al-Fadhîlah, juz II, hal.206

11      Abdul Qadîm Zallûm, al-Amwâl fî Daulah al-Khilâfah, Bairût; Dâr al-Ummah, Cet.III, 2004, hal.61

12      Mahmûd Abdul Lathîf U’waidhah, al-Jâmi’ li Ahkâm ash-Shiyâm,  Cet.II, 2005, hal.390

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four × 1 =

Back to top button