Menjawab Tudingan Terhadap Khilafah
Di antara ajaran Islam yang menjadi objek penyesatan kaum liberal adalah Khilafah dan politik Islam. Berbagai syubhat pun sumbang digaungkan demi menjauhkan umat dari syariah Islam dan Khilafah. Gerakan dakwah Hizbut Tahrir yang gigih berdakwah melanjutkan kembali kehidupan Islam dalam sistem Khilafah pun kerap difitnah. Mereka melakukan penyesatan dengan menggunakan kaidah daf’ al-mafâsid, konsensus nasional, hingga tuduhan Khilafah HT berbeda dengan Khilafah menurut ulama. Bagaimana menjawab seluruh syubhat tersebut?
Menyalahgunakan Kaidah Daf’ al-Mafasid
Salah satu syubhat dalam isu Khilafah, adalah fatwa haram menegakkan Khilafah berdasarkan kaidah:
دَفْعُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menolak berbagai kerusakan (kemadaratan) didahulukan daripada mewujudkan berbagai kemaslahatan.
Kaidah ini memang kaidah syar’iyyah. Namun demikian, penggunaannya wajib terikat pada kaidah-kaidah dan batasan-batasan yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul. Tidak ada kaidah ‘sapu jagad’ yang bisa diterapkan secara serampangan. Kaidah ini berlaku jika kerusakan dan kemaslahatan berkumpul, lalu kerusakannya lebih besar daripada kemaslahatannya. Hal ini sebagaimana petunjuk dalam QS l-Baqarah [2]: 219. Dalam ayat ini digambarkan bahwa khamr dan judi memiliki manfaat, namun kerusakan dan kemadaratannya lebih besar. Allah SWT pun mengharamkan keduanya sebagaimana diutarakan oleh Sulthanul Ulama, Imam al-‘Izz bin Abdissalam (w. 660 H), “Allah mengharamkan keduanya karena kerusakan keduanya lebih besar daripada manfaatnya.” (Qawâ’id al-Ahkâm, I/83).
Adapun jika kemaslahatannya lebih besar maka mewujudkan kemaslahatan diutamakan, Ini sejalan dengan penjelasan Imam as-Subki (w. 771 H) dalam Al-Asybâh wa an-Nazhâ’ir (I/105). Contohnya, kasus Amar bin Yasir ra. yang demi memilih menjaga kemaslahatan nyawanya terpaksa mengucapkan perkataan kufur (dengan kalbu yang tetap dalam keimanan) di bawah paksaan dan ancaman kaum Musyrik Qurays.
Di sisi lain, ukuran kemaslahatan dan kerusakan tersebut ditentukan berdasarkan tolak ukur syariah, bukan hawa nafsu.
Penyimpangan penggunaan kaidah ini pun semakin jelas berdasarkan argumentasi:
Secara yuridis, pengangkatan khalifah dan penegakkan Khilafah termasuk bagian dari ajaran Islam yang hukumnya fardhu. Khilafah adakah metode syar’i dalam menegakkan syariah Islam secara kâffah dalam kehidupan. Penerapan Islam di dalamnya jelas mengundang keberkahan, mewujudkan kemaslahatan hakiki sekaligus menolak berbagai kerusakan:
وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ
Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) sehingga Kami menyiksa mereka akibat perbuatan mereka (QS al-A’raf [7]: 96).
Diperjelas oleh dalil QS al-Baqarah [2]: 216 dan QS al-Anbiya’ [21]: 107 yang menjadi dalil kaidah syar’iyyah:
حَيْثُمَا يَكُونُ الشَّرْعُ تَكُوْنُ الْمَصْلَحَةُ
Di mana tegak syariah maka di situ ada maslahat.
Dalam tataran praktis, menerapkan dan menjaga Islam relevan dengan salah satu fungsi Imam (Khalifah) yang digambarkan Rasulullah saw.:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Sungguh Imam (Khalifah) itu perisai; (orang-orang) akan berperang mendukung dia dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya (Muttafaqun ’alayh).
Hadis ini mengandung pujian yang sangat kuat terhadap sosok Khalifah. Pasalnya, maksud dari al-Imâm adalah al-Khalîfah. Ini ditegaskan al-Mulla al-Qari (w. 1041 H) (Mirqât al-Mafâtîh, VI/2391ý). Pujian tersebut, dalam ilmu balaghah, ditunjukkan oleh dua hal: ungkapan qashr (pengkhususan) dan tasybîh mu’akkad (penyerupaan tegas) yang menyerupakan Khalifah sebagai perisai kaum Muslim.
Para ulama juga menjelaskan bahwa penegakan Islam dalam kehidupan tak akan sempurna kecuali dengan adanya Khalifah dan tegaknya sistem Khilafah. Karena itu menegakkan keduanya fardhu. Ini sesuai dengan kaidah syar’iyyah yang dinukil para ulama. Di antaranya Imam al-Naisaburi (w. 850 H) dalam Gharâ’ib al-Qur’ân (V/148) dan Imam al-Razi (w. 606 H) dalam Mafâtîh al-Ghayb (XXIII/313) yakni:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Selama suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu pun hukumnya wajib.
Wajar jika Al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H) dalam tafsirnya menegaskan: “Ia (Imamah) merupakan fondasi dari fondasi-fondasi agama ini yang dengan itulah tegak fondasi kaum Muslim.” (Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, I/264ý).
Jadi pada sisi mana tegaknya syariah Islam secara kâffah dalam kehidupan dalam sistem Khilafah akan menimbulkan kerusakan?
Jelas, penggunaan kaidah ini sudah salah dari asasnya (takalluf). Jika mereka konsisten seharusnya bukan dakwah penegakan Islam yang ditolak, melainkan sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi neo liberalistik yang jelas menimbulkan berbagai mafsadat bagi kehidupan umat; dari persoalan politik hingga ekonomi; menjerumuskan ke dalam krisis penghidupan (lihat: QS Thaha [20]: 124).
Perubahan ke Arah yang Lebih Baik
Perubahan ke arah yang lebih baik termasuk hal positif yang didorong oleh al-Quran dan as-Sunnah. Visi perubahan yang diemban Rasulullah saw. merupakan teladan terbaik. Beliau mampu membangkitkan suatu kaum yang tadinya terbelakang dalam kubangan sistem jahiliah menjadi kaum penegak peradaban agung yang memikul tanggung jawab. Rasulullah saw dan para sahabatnya menjadikan akidah Islam sebagai fondasi peradaban. Mereka membangun peradaban dengan menegakkan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Bangunan agung ini pun kelak akan tegak kembali sebagaimana busyra Rasulullah saw. dalam hadisnya, dari Hudzaifah bin al-Yaman ra.:
ثُمَّ تَكُوْنُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
Kemudian akan ada kembali Khilafah di atas manhaj kenabian (HR Ahmad).
Hadis ini mengisyaratkan bahwa perubahan adalah keniscayaan yang tak bisa dipungkiri. Inilah yang menjadi esensi dari perjuangan HT selama ini: visi dakwah perubahan melanjutkan kembali kehidupan Islam.
Karena itu ironis jika visi dakwah agung yang diemban HT dibenturkan secara zalim oleh orang yang tak bertanggung jawab dengan isu “konsensus nasional”, Pancasila dan UUD 1945.
Padahal dalam catatan sejarah, rumusan Pancasila dan UUD 1945 itu sendiri mengalami berbagai amandemen. Hal itu menunjukkan adanya persepsi umum bahwa perubahan bukan hal yang tabu dan menjadi keniscayaan. Dalam perumusannya, Pancasila mengalami pasang surut dan perdebatan yang cukup alot. Pada tataran implementasi dari masa ke masa kepemimpinan rezim negeri ini, Pancasila ditafsirkan beragam sesuai kehendak penguasa; dari masa kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi; dari corak Nasakom, kapitalistik hingga neo-liberalistik.
Kemerdekaan atas kolonialisme diraih sebagai berkah perjuangan para ulama dan kaum Muslim. Karena itu ironi jika kemerdekaan tersebut dikhianati dengan menjadikan Pancasila sebagai alat gebuk bagi gerakan-gerakan Islam yang hendak melanjutkan estafeta perjuangan para ulama pahlawan, yakni membebaskan negeri ini dari imperialisme politik dan ekonomi neo liberalistik. Ini yang pertama.
Kedua: Dalam paradigma mendasar Islam, al-Quran dan as-Sunnah jelas merupakan pedoman hidup yang wajib diposisikan sebagai konstitusi tertinggi. Ia merupakan pedoman utama kaum Muslim selain Ijmak Sahabat dan Qiyas Syar’iyyah. Keagungannya relevan karena bersumber dari Al-Khaliq Al-Mudabbir (QS al-An’am [6]: 61).
Ketika menafsirkan QS al-An’am [6]: 57, Imam asy-Syaukani (w. 1250 H) menjelaskan: Inil-hukmu illâ lilLâh, yakni tidak ada hukum dalam hal apapun kecuali hak Allah SWT, maksudnya hukum yang memisahkan antara kebenaran dan kebatilan.” (Fath al-Qadîr, II/139).
Artinya, kedaulatan adalah milik Asy-Syâri’ (Allah SWT). Hal ini pun mengingatkan kita pada wasiat agung yang mulia Rasulullah saw.:
يَأَيَّهَا النَّاسُ إِنِّيْ قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوْا أَبَدًا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةِ نَبِيِّهِ
Wahai umat manusia, sungguh aku telah meninggalkan bagi kalian apa yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan lainnya).
Khilafah ala Hizbut Tahrir Sama dengan Khilafah Menurut Ulama Mu’tabar
Di antara tuduhan keji lainnya bahwa Khilafah yang diperjuangkan HT berbeda dengan Khilafah yang dijelaskan para ulama dalam turats mereka. Itu semua hanya klaim semata. Mereka tak mampu membuktikan tuduhannya.
Siapapun yang mengkaji konsepsi khilafah menurut HT akan mendapati bahwa HT telah berhasil merumuskan konsepsi praktis dari poin-poin prinsip yang ditegaskan para ulama, yang seluruhnya menunjukkan keistimewaan karakteristik sistem pemerintahan dalam Islam (Khilafah). Kesamaan konsepsi tersebut mencakup persoalan-persoalan prinsipil:
Pertama, HT sama seperti para ulama mu’tabar yang menegaskan Khilafah sebagai institusi politik Islam, berdiri di atas asas akidah Islam dan menjadi institusi penegak syariah Islam kâffah dalam seluruh aspek kehidupan. Imam al-Mawardi al-Syafi’i (w. 450 H) menegaskan:
الْإِمَامَةُ : مَوْضُوْعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا
Al-Imâmah diposisikan sebagai khilâfah al-nubuwwah (pengganti kenabian) dalam memelihara urusan agama ini dan mengatur urusan dunia (Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, I/15).
Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H), misalnya, menganalogikan Islam dan kekuasaan (kepemimpinan) sebagai saudara kembar. Lalu Al-Ghazali pun menegaskan: “Al-Dîn itu asas dan penguasa itu penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki asas akan roboh dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang.” (Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, hlm. 128).
Kepemimpinan dengan ruh Islam ini menunjukkan keistimewaannya. Ini berbeda dengan sistem sekular yang mengundang malapetaka. Bahkan para ulama, termasuk Al-’Allamah Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan esensi Khilafah sebagai: “kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.”
Kedua, HT mengadopsi pendapat tentang kewajiban mengangkat khalifah dan menegakkan sistem Khilafah sebagai tuntutan syariah berdasarkan dalil-dalil naqliyyah. Ini sama dengan yang diadopsi oleh para ulama mu’tabar dalam turats mereka (Lihat: Al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H), Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (I/264); al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra (w. 458); Imam al-Mawardi al-Syafi’i (w. 450 H), Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah (I/15); Al-Hafizh an-Nawawi al-Syafi’i, Rawdhah ath-Thâlibîn wa ‘Umdat al-Muftîn (X/42); dan lain sebagainya).
Karena itu tidak aneh jika Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) menegaskan: para imam mazhab telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) hukumnya fardhu (Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, V/366).
Ketiga, HT pun mengadopsi pendapat para ulama mu’tabar tentang kewajiban mewujudkan kesatuan kepemimpinan di bawah seorang khalifah. Ini sama dengan yang ditegaskan ulama Syafi’iyyah semisal Imam al-Mawardi asy-Syafii (w. 450 H) dalam dua karya masterpiece-nya, Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah dan Adab al-Dunyâ’ wa ad-Dîn, dan para ulama mu’tabar lainnya.
Seluruhnya menguatkan apa yang ditegaskan oleh para ulama HT sebagai empat pilar politik Islam dalam sistem Khilafah. Jadi pada sisi mana Khilafah yang diperjuangkan HT berbeda dengan Khilafah yang dipahami para ulama mu’tabar dalam turats mereka?
WalLâhu a’lam bi ash-shawab. [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I; (Dosen, Peneliti di Raudhah Tsaqafiyyah Jawa Barat)]