Arah Perjuangan Umat Islam
Hingga tahun 2020 ini kondisi negeri-negeri Islam masih terpuruk di bawah hegemoni negara-negara penjajah. Baik penjajahan secara fisik melalui kekuatan militer maupun penjajahan secara ekonomi dan politik.
Negara-negara penjajah tersebut telah menjadikan kekayaan yang dikeruk dari negeri-negeri Islam untuk memperkuat perekonomian dan militer negaranya. Hasil pemeringkatan yang dilakukan oleh US News and World Report 2019 menunjukkan bahwa Amerika Serikat, Rusia, Cina, Inggris dan Jerman merupakan 5 negara terkuat di dunia. Peringkat tersebut didasarkan pada pengaruh politik dan ekonomi serta kekuatan militer tiap negara.
Faktanya kelima negara tersebut itulah yang saat ini mencengkeram negeri-negeri Islam khususnya di Timur Tengah. Semakin kuat negara tersebut, akan semakin kuat pula cengkeramannya. Tidak ada yang diperoleh dari negara penjajah itu selain kesengsaraan yang semakin menghimpit masyarakat di negeri-negeri Islam tersebut.
Akar Krisis Dunia Islam
Keterjajahan negeri-negeri Islam tersebut tentu tidak dapat dilepaskan dari keruntuhan Khilafah Ustmaniyah. Sebab pasca keruntuhan Khilafah itulah dunia Islam yang sebelumnya membentang sangat luas menjadi tersekat-sekat dan terjajah. Bahkan kini negeri-negeri Islam terpecah-belah menjadi lebih dari 50 negara-bangsa (nation-state).
Nation-state awalnya tumbuh di Eropa pasca Perjanjian Damai Westphalia (Peace of Westphalia) tahun 1648, sebagai perlawanan terhadap sistem feodal atau monarki di Eropa saat itu. Setelah Revolusi Prancis (1789) dan Revolusi Amerika (1776), konsep nation-state turut menjadi penentu struktur geopolitik Eropa. Bersama dengan ide demokrasi, liberalisme dan sekularisme, konsep nation-state kemudian diekspor keluar Eropa, termasuk ke Dunia Islam melalui jalan penjajahan.
Dunia Islam di bawah kepemimpinan Khilafah Utsmaniyah saat itu sedang dalam kondisi lemah secara internal. Khilafah saat itu digelari “The sick man of Europe”. Melalui berbagai konspirasi Inggris dan Prancis serta para agennya, akhirnya Khilafah runtuh pada tahun 1924 pasca Perang Dunia I. Negara penjajah kemudian memecah wilayah kesatuan Khilafah Ustmaniyah itu menjadi puluhan nation-state melalui Perjanjian Sykes-Picot antara Inggris dan Prancis.
Pada berbagai negeri pecahan Khilafah Ustmaniyah tersebut Inggris dan Prancis kemudian menciptakan pemimpin lokal sebagai bonekanya. Hal tersebut untuk memperkuat dan melanggengkan hegemoninya di negeri itu. Misalnya Inggris mendukung upaya Syarif Husain dari Makkah untuk melepaskan diri dari Khilafah Ustmaniyah.
Prosesnya saat itu dilakukan melalui korespondensi komisioner tinggi Inggris Henry McMahon yang berkedudukan di Mesir dengan Syarif Husain. Hasilnya, Syarif Husain kemudian dinobatkan menjadi raja di Hijaz. Putranya, Faisal, menjadi penguasa di Suriah. Seperti itu pula yang dilakukan terhadap Yordania, Mesir, Irak, Kuwait, Bahrain, Qatar, Oman, dan sebagainya. Konsep nation-state tersebut kini terbukti menjadi racun yang mematikan bagi umat Islam.
Jadi akar krisis di Dunia Islam itu adalah penjajahan Barat yang berlangsung sejak runtuhnya Khilafah Islamiyah hingga saat ini. Keberlangsungan penjajahan tersebut tidak lepas dari para pengusa boneka yang menjadi agen penjajah. Melalui agen itulah penjajah memaksakan ideologi Kapitalisme untuk diterapkan di negeri-negeri Islam terutama dalam aspek hukum, ekonomi dan politik.
Arah Perjuangan
Arah perjuangan umat Islam sudah semestinya bertumpu pada akar krisis tersebut, yakni melenyapkan hegemoni negara penjajah dan ideologi Kapitalismenya di negeri-negeri Islam. Artinya, problematika utama (al-qadhiyah al-mashiriyah) umat Islam saat ini adalah menegakkan kembali Khilafah Islamiyah untuk menerapkan hukum syariah secara kaffah. Hanya dengan itulah umat Islam akan mampu melakukan perubahan hakiki, yakni melepaskan diri dari jeratan ideologi Kapitalisme yang menyengsarakan itu.
Tanpa Khilafah, terbukti saat ini kondisi umat Islam di seluruh dunia terjajah, terzalimi, terpuruk dan tertindas. Sebaliknya, dengan Khilafah umat Islam akan bisa dipersatukan dan memperoleh kemuliaannya kembali, sekaligus akan menghapus segala bentuk kezaliman dan ketertindasan di bawah hegemoni negara penjajah.
Negeri-negeri Islam yang kelak akan disatukan dalam negara Khilafah tersebut, di samping memiliki potensi SDM dan SDA, juga menempati posisi strategis. Misalnya, benua Afrika, Timur Tengah, Laut Mediterania, Teluk Persia, Semenanjung India, Selat Gibraltar, Terusan Suez, Selat Hormuz dan Selat Malaka berada dalam wilayah negeri Islam. Kawasan tersebut memiliki nilai geopolitik yang sangat penting di dunia, baik sebagai rute perdagangan dan perekonomian maupun sebagai basis pertahanan dan keamanan.
Dengan demikian nanti ketika Khilafah tegak, dengan menguasai kawasan strategis tersebut serta didukung oleh potensi SDM, militer, ekonomi, demografi dan ideologi, maka dalam waktu singkat Khilafah akan menjelma menjadi negara adidaya baru di dunia. Sebagaimana dulu, Khilafah akan menjadi kunci kegemilangan peradaban Islam. Sebuah peradaban yang terbukti memberikan tinta emas dalam perjalanan kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya. Kemajuan ilmu pengetahuan hingga kesejahteraan masyarakat berhasil mencapai titik gemilang ketika peradaban Islam dulu tegak di muka bumi.
Para sejarahwan Barat yang obyektif telah mencatat berbagai kegemilangan di masa Khilafah tersebut. Misalnya terkait jaminan keamanan, lapangan kerja dan pendidikan Will-Durant mengatakan, ”Para khalifah telah berhasil memberikan perlindungan yang ideal terhadap kehidupan dan tenaga kerja; senantiasa membuka peluang bagi setiap bakat; menciptakan kemakmuran selama tiga sampai enam abad di wilayah yang dulunya tidak begitu makmur; mendorong dan mendukung perkembangan pendidikan, sastra, sains, filsafat dan seni hingga membuat Asia Barat selama lima abad, menjadi wilayah paling beradab di dunia.” (The Story of Civilization, 4/227).
Berbeda dengan negara Barat yang berorientasi menjajah, politik luar negeri Khilafah justru dalam rangka mendakwahkan kemuliaan ajaran Islam. Khilafah melindungi semua warga negaranya termasuk pula yang non-Muslim. Sejarahwan Kristen, Thomas W. Arnold, menulis: “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Khilafah Turki Utsmani—selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa.” (The Preaching of Islam: A History of Propagation of the Muslim Faith, 134).
Kemajuan pendidikan pada masa Khilafah itu bahkan menjadi rujukan peradaban lain. Tim Wallace-Murphy menerbitkan buku berjudul, “What Islam Did for Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization” (London: Watkins Publishing, 2006). Buku tersebut memaparkan fakta tentang transfer ilmu pengetahuan dari Dunia Islam ke Barat pada Abad Pertengahan. Disebutkan pula bahwa Barat telah berutang kepada Islam dalam hal pendidikan dan sains. Utang tersebut tidak ternilai harganya dan tidak akan pernah dapat terbayarkan sampai kapan pun.
Sejarahwan W.E. Hocking juga turut menjelaskan tentang kegemilangan Khilafah yang telah mempengaruhi kemajuan Eropa. Misalnya dia mengatakan, ”Sungguh dapat dikatakan bahwa hingga pertengahan abad ketigabelas, Islamlah pembawa segala apa yang tumbuh yang dapat dibanggakan oleh dunia Barat (The Spirit of World Politics, hlm. 461).
Abad ketigabelas tersebut merupakan Abad Keemasan Khilafah.
Optimisme 2020
Saat ini terdapat sejumlah indikasi optimisme terkait arah perjuangan umat Islam tersebut. Pertama, pada tahun 2020 ini diprediksi oleh Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (National Inteligent Council/NIC) akan berdiri Khilafah. Sebagaimana diketahui pada Desember 2004 NIC merilis hasil kajiannya berjudul, “Mapping the Global Future: Report of the National Intelligence Council’s 2020 Project”. Dokumen ini berisikan prediksi tentang empat skenario kondisi dunia tahun 2020. Salah satunya adalah berdirinya “A New Chaliphate” yang mereka sebut sebagai pemerintahan global Islam yang diprediksi mampu melawan dan menantang nilai-nilai Barat.
NIC merupakan institusi think-tank berpengaruh di Amerika Serikat sehingga hasil kajiannya patut dipertimbangkan. Namun, terlepas apakah prediksi tersebut benar terjadi atau tidak di 2020 ini, hasil kajian empiris NIC itu telah menunjukkan bahwa tegaknya kembali Khilafah merupakan sesuatu yang faktual (bukan mitos) yang akan segera terjadi. Mereka juga meyakini bahwa Khilafahlah yang akan menghentikan hegemoni Kapitalisme Barat atas dunia, khususnya dalam masalah politik dan ekonomi.
Kedua, saat ini ideologi Kapitalisme sedang berada di tepi jurang keruntuhannya. Ideologi ini sedang berjuang sekadar untuk memperpanjang masa eksistensinya. Berbagai gejolak politik global terakhir ini akan menjadi rangkaian fase kejatuhan ideologi Kapitalisme. Pada konteks perang peradaban (clash civilization), kondisi ini sangat menguntungkan bagi umat Islam yang sedang berjuang mengembalikan ideologi Islam ke pentas kehidupan melalui berdirinya kembali negara Khilafah.
Prediksi keruntuhan peradaban Barat tersebut juga dinyatakan oleh para pemikir mereka. Di antaranya adalah Jean Ziegler, seorang ilmuwan di bidang sosial dan politik Eropa. Ziegler dalam bukunya The Black Book of Capitalism menggambarkan kapitalisme ekonomi global sebagai komunitas pembunuh yang akan dilawan dan diruntuhkan oleh masyarakat dunia. Oswald Spengler, ilmuwan Jerman, telah menerbitkan buku berjudul The Decline of the West. Di antaranya Oswald memprediksi dekatnya kematian peradaban Barat setelah larut dalam berbagai peperangan global.
Patrick J. Buchanan, anggota tim penasihat utama pemerintahan Amerika, menyatakan hal yang sama dalam bukunya The Death of the West: How Dying Populations and Immigrant Invasions Imperil Our Culture and Civilization. Dia berpendapat bahwa peradaban Barat saat ini sedang sekarat dan akan segera runtuh. Hal ini ditandai dengan terjadinya berbagai kemerosotan ekonomi, sosial dan politik di Eropa dan Amerika.
Faktanya dalam konteks global, di semua negara yang menganut sistem Kapitalisme telah tercipta kemiskinan dan kesenjangan sosial. Pada tahun 2018 tercatat bahwa 82 persen kekayaan dunia hanya dikuasai oleh 61 orang terkaya di dunia. Sebaliknya, sebanyak 3.5 miliar orang miskin di dunia hanya memiliki aset kurang dari US$ 10 ribu. Oxfam International (oxfam.org, 22/01/2018) menyebut fenomena ini sebagai gejala sistem ekonomi yang gagal. Kondisi di Indonesia sendiri, seperti yang dilaporkan ADB, saat ini terdapat 22 juta rakyat menderita kelaparan (republika.co.id, 07/11/2019).
Ketiga, secara internal kesadaran umat Islam untuk membangun kembali institusi Khilafah kini semakin menguat. Hal tersebut tentu terkait dengan semakin meningkatnya pemahaman umat terhadap ide Khilafah sebagai ajaran Islam. Ini diperkuat oleh kenyataan bahwa kondisi keterjajahan dan keterpurukan umat Islam saat ini memang membutuhkan institusi Khilafah sebagai kekuatan global untuk menyelesaikannya.
Misalnya kasus genosida terhadap Muslim Uighur di wilayah Xinjiang Cina yang tidak mampu dicegah dan dihentikan oleh negara-negara Muslim yang ada saat ini. Demikian juga yang terjadi di Palestina, Suriah, dan negeri-nengeri Islam lainnya. Sudah ada ratusan resolusi yang dikeluarkan PBB untuk Palestina dan Suriah. Namun tebukti, resolusi tersebut tidak menyelesaikan masalah bahkan justru makin memperpanjang penderitaan umat Islam di sana.
Pada sisi lain, rezim lokal di negeri-negeri Islam kini semakin tidak dipercaya oleh umat. Pasalnya mereka terbukti represif terhadap umat Islam dan bahkan menjadi perpanjangan tangan penjajah. Misalnya pada kasus genosida terhadap Muslim Uighur tersebut, para penguasa di negeri-negeri Islam hanya diam tanpa melakukan apa pun untuk menghentikannya. Mereka tidak berani karena disinyalir akan membahayakan hubungan ekonomi mereka dengan Cina. Khususnya terkait proyek Belt dan Road Initiative (BRI) Cina atau proyek One Belt One Road (OBOR).
Banyak negara di Asia Tengah dan Timur Tengah menjadi bagian dari BRI-Cina tersebut. Proyek ini mencakup utang dari Cina yang di antaranya diterima oleh Malaysia, Pakistan, Indonesia, dan sebagainya. Seperti yang dilansir CNBC Indonesia (13/05/2019) Cina akan menggelontorkan dana sebesar US$ 150 miliar atau setara Rp 2.137,6 triliun pertahun untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia. Tentu utang sebesar itu akan semakin memperkuat cengkeraman Cina terhadap Indonesia.
Ini merupakan fakta kelemahan dan keterpurukan umat Islam akibat terpecah-belah ke dalam nation-state. Kondisi makin parah karena rezim di negeri-negeri Islam justru bersahabat dengan negara penjajah dan represif kepada umat Islam. Berbagai fakta empiris ini tentu akan semakin memperkuat keinginan umat Islam untuk segera menegakkan kembali Khilafah sebagai satu kekuatan dan pelindung umat di dunia internasional.
Penutup
Selain kondisi optimisme tersebut, kekuatan lainnya yang ada pada diri umat Islam adalah keyakinannya bahwa tegaknya kembali Khilafah Rasyidah itu merupakan janji Allah dan Rasul-Nya. Ini merupakan sikap i’tiqadi yang wajib bagi setiap Muslim untuk meyakininya. Allah SWT berfirman:
وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسۡتَخۡلِفَنَّهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ كَمَا ٱسۡتَخۡلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ ٥٥
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa (QS an-Nur [24]: 55).
Rasulullah saw. juga telah memberikan kabar gembira (bisyarah) kembalinya Khilafah Rasyidah setelah masa mulkan jabriy-yan (kekuasaan diktator) sebagaimana dalam sabda beliau:
ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ نُبُوَّةٌ
Kemudian akan datang masa Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah (HR Ahmad).
WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Dr. Muhammad K. Sadik]