Disintegrasi: Akar Masalah dan Solusinya
Beberapa pekan terakhir ini masyarakat Indonesia disuguhi berita yang menyesakkan dada, yakni tentang disintegrasi. Sebagian saudara kita ingin melepaskan diri dari Indonesia, salah satu negeri kaum Muslim. Gerakan disintegrasi semakin menunjukkan jati dirinya. Kerusuhan yang diakibatkan oleh gerakan disintegrasi terjadi sangat masif. Beberapa gedung dibakar. Fasilitas umum dirusak. Bahkan korban jiwa telah berjatuhan. Sayang, Pemerintah terkesan sangat lamban dalam menangani masalah ini. Bahkan cenderung cuek, tidak peduli. Sebuah sikap yang berbeda 180 derajat jika ditujukan kepada umat Islam; terkesan sangat garang seperti singa yang sedang kelaparan.
Bendera Bintang Kejora telah berkibar dimana-mana. Namun, aparat terkesan diam saja. Melihat bendera itu dikibarkan di depan batang hidung mereka, mereka membisu. Bahkan terkesan melindungi. Masyarakat bertanya-tanya: Pemerintah sebenarnya tak peduli atau tak berdaya?
Pemerintah bukannya segera menyelesai-kan persoalan yang membara dan mengambil tindakan secara cepat dan tepat. Pemerintah justru menyibukkan diri dengan perkara lain yang remeh-temeh. Saat kerusuhan membara, Presiden malah sedang asyik menonton wayang kulit di Alun-alun Purworejo Jawa Tengah. Tertawa terbahak-bahak menyaksikan berbagai lawakan.
Padahal disintegrasi merupakan masalah yang sangat serius. Jika gerakan disintegrasi dibiarkan dan akhirnya berhasil memisahkan diri, maka daerah-daerah lain juga akan melakukan hal yang sama. Jika Papua dibiarkan disintegrasi, masyarakat daerah lain akan berpikir, “Kami juga menghendaki kemerdekaan seperti Papua?” Jika berbagai daerah lepas dari Indonesia, Indonesia bisa jadi tingal nama.
Akar Persoalan Disintegrasi
Mengapa suatu daerah ingin memerdekakan diri dari negara induknya? Apa yang mendorong mereka melakukan hal tersebut? Penyebabnya mungkin bukan hanya faktor tunggal, tetapi kombinasi dari banyak faktor. Pemahaman akar persoalan atau penyebab disintergrasi ini sangat penting agar kita mengetahui solusi yang harus diambil. Jika solusi diberikan tidak sesuai dengan penyebabnya, hal itu tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah. Berikut ini beberapa penyebab disintegrasi: ikatan yang rapuh, ketidakadilan, ketidaksejahteraan, intervensi asing, oligarki politik dan persepsi rasialisme.
- Ikatan yang rapuh: Nasionalisme.
Persatuan memang bisa terjadi karena kesamaan bangsa (nasionalisme). Namun, nasionalisme juga dapat membuat konflik dengan orang/bangsa yang berbeda. Lihatlah konflik antarsuku. Itu semua adalah karena nasionalisme. Ada yang mengatakan nasionalisme sangat luas, bahkan jauh lebih luas dibanding dengan sukuisme. Pertanyaannya, seluas apa? Seluas Tanah Jawa? Seluas Kalimantan? Seluas Papua? Seluas Indonesia? Seluas Asia? Seluas apa? Siapa yang mendefinisikan luasnya nasionalisme? Jika orang Jawa dapat bersatu dengan orang Papua, mengapa orang Jawa tidak boleh bersatu dengan orang Papua Nugini yang ada di sebelahnya? Saat kita lihat peta, pasti akan muncul banyak pertanyaan: mengapa dalam satu pulau kadang ada banyak negara dan kadang ada satu negara dengan banyak pulau?
Nasionalisme bisa jadi memang dapat menyatakan suatu bangsa, tetapi nasionalisme juga bisa jadi pemecah-belah. Fakta yang tak terbantahkan bahwa Timor Timur lepas dari Indonesia karena nasionalisme yang dimiliki oleh orang Timor Timur. Mereka merasa sebagai bangsa yang berbeda dari bangsa Indonesia. Memang ada banyak faktor lain yang mendorong mereka lepas dari Indonesia. Saat ini Papua juga ingin lepas dari Indonesia. Salah satunya karena merasa sebagai bangsa yang berbeda.
Konon, katanya, di Indonesia terdiri lebih dari 300-an suku bangsa seperti bangsa Jawa, Sunda, Batak, Madura, Betawi dan lain sebagainya. Jika yang digembar-gemborkan isu sektarian seperti nasionalisme, bisa jadi bangsa-bangsa yang ada bangkit rasa nasionalisme terhadap bangsanya sendiri-sendiri.
Jadi, nasionalisme sebetulnya merupakan pemersatu yang lemah, bahkan bisa jadi menjadi pemecah-belah. Semua bergantung pada tafsiran masing-masing. Karena itu diperlukan titik pemersatu yang lebih kokoh.
- Ketidakadilan.
Setiap orang yang diperlakukan dengan tidak adil pasti merasa kecewa. Jika kekecewaan ini dirasakan oleh masyarakat pada daerah tertentu, apalagi dalam waktu yang lama, mereka akan merasa bahwa bergabung atau bersatu pada negara tertentu tidak ada manfaatnya sama sekali. Akhirnya, mereka berpikir untuk disintegrasi dari suatu negara.
Hal ini terjadi di mana pun dan pada zaman kapan pun. Ketidakadilan adalah sumber perpecahan. Ketidakadilan dapat terjadi dalam hal hukum, ekonomi, politik, pendidikan, dan lain sebagainya. Semuanya berpotensi menimbulkan disintegrasi. Hukum yang tidak adil, misalnya, jika yang bersalah adalah kelompoknya maka didiamkan, tetapi jika yang bersalah adalah lawannya maka penanganannya dipercepat, bahkan dicari-cari pasal yang memberatkan, pasti manimbulkan kekecewaan dan pada tahap tertentu menimbulkan perasaan disintegrasi. Pada gilirannya hal demikian dapat mengantarkan pada tindakan disintegrasi.
Ketidakadilan dalam hal ekonomi juga mengantarkan pada kekecewaan yang dapat berakhir pada disintegrasi. Misalnya, Papua merupakan daerah yang sangat kayaraya dengan sumberdaya alam. Namun, kekayaan tersebut dikuasai oleh para kapitalis, pemilik modal besar. Rakyat Papua tidak dapat apa-apa. Secara alamiah, hal itu memunculkan gelombang kekecewaan dan berakhir dengan disintegrasi.
Sayang, pihak-pihak yang sedang berkuasa sering tidak pernah menyadari hal ini. Bisa juga menyadari, tetapi kesadarannya tidak berkorelasi dengan tindakan dan kebijakannya. Ketidakadilan terus dipertontonkan dalam segala aspek kehidupan. Oleh karena itu, disintegrasi sebenarnya lebih banyak dipicu oleh faktor internal kekuasaan, yang tidak adil kepada rakyat.
- Ketidaksejahteraan.
Dalam kondisi sejahtera, meskipun diperlakukan tidak adil, kemungkinan munculnya sikap untuk disintegrasi lebih kecil. Jika ketidakadilan dibarengi dengan ketidaksejahteraan, cikal-bakal disintegrasi akan tumbuh sangat subur.
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Se-Indonesia (DPP-AMPTPI) Januarius Lagowan menuturkan, selama 53 tahun Papua menjadi bagian dari NKRI, mereka merasakan tidak ada perubahan dari sisi kesejahteraan. Rakyat Papua hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Sebaliknya, kata dia, justru ada upaya pemusnahan etnis Papua secara perlahan-lahan. “Lonceng kematian rakyat Papua-Melanesia semakin nyata. Pelan dan pasti bahwa rakyat Papua ada dalam dunia kepunahan ‘terancam’ akibat dari biasnya kebijakan Pemerintah di Tanah Papua sejak 1 Mei 1963.”
Pihaknya juga menyoroti bahwa keberadaan Freeport tidak memberikan dampak signifikan pada kesejahteraan rakyat Papua. Freeport hanya menyejahterakan pihak asing dan para pejabat korup.
Fasilitas publik di sana seperti jalan, rumah sakit, sekolahan juga sangat terbatas. Dari sini wajar jika mereka memperjuangkan disintegrasi bagi Papua. Namun, ketiadaan kesejahteraan sebetulnya bukan hanya terjadi pada rakyat Papua, tetapi terjadi merata hampir di seluruh Indonesia. Pemerintah hanya berpihak kepada para kapitalis/para pemilik modal. Rakyat secara umum tidak mendapat apa-apa. Oleh karena itu sebenarnya Pemerintah sendiri yang menumbuhsuburkan disintegrasi.
- Intervensi asing.
Dalam suatu proses disintegrasi, intervensi asing kadang tidak bisa dinafikan. Daerah yang kaya dengan sumberdaya alam sudah sewajarnya menjadi rebutan berbagai pihak, termasuk bangsa-bangsa asing. Oleh karena itu, ada berbagai pihak yang menghendaki negara lain pecah. Dengan itu mereka mudah mendapatkan sumberdaya alamnya yang melimpah.
Papua termasuk daerah yang sangat kaya. Di sana terdapat tambang emas dan lain sebagainya. Karena itu dapat diduga bahwa pihak asing sangat berkepentingan terhadap Papua. Dalam sejarah yang panjang, pengaruh Amerika terhadap Papua sangat tinggi. Jadi, bukan hal yang mustahil jika saat ini pihak asing terlibat pada berbagai isu disintegarsi Papua.
- Oligarki politik.
Dalam sistem politik demokrasi machiavelis, politisi lebih banyak memikirkan diri sendiri, bukan berpikir mensejahterakan rakyat. Dalam demokrasi, politik dilakukan hanya untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Dengan kekuasaan, diperoleh semua kenikmatan dunia. Harta yang melimpah ruah, rumah yang super megah, kendaraan yang paling mewah, fasilitas yang serba wah, penghormatan dari semua kalangan dan lain sebagainya. Singkatnya, dengan kekuasaan, semua nafsu dapat terlampiaskan.
Saat berkuasa, kebijakan yang dilakukan biasanya sangat tak berpihak kepada rakyat. Dengan sadis dan tak kenal kasihan, penguasa menaikkan harga BBM, TDL dan tarif-tarif lain. Semua demi menyenangkan para kapitalis. Kata mereka, subsidi membebani anggaran negara dan menyebabkan negara kolaps. Sebaliknya, untuk membiayai semua fasilitas mereka yang sangat mewah, untuk foya-foya para pejabat, tak ada istilah membebani negara, apalagi menyebabkan negara kolaps.
Dengan demikian rakyat jadi muak. Jika masyarakat pada suatu daerah muak, maka salah satu ekspresi kemuakannya adalah keinginan dan aktivitas untuk diistegrasi.
- Persepsi rasialisme.
Disintegrasi dari suatu daerah juga dapat dipicu oleh sikap rasialis. Dalam kasus Papua saat ini, misalnya, salah satunya dipicu oleh tindakan rasialis. Sehari sebelum Perayaan Kemerdekaan Indonesia ke-74, terjadi pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Peristiwa tersebut diawali oleh demonstrasi sebuah organisasi masyarakat yang menduga telah terjadi perusakan Bendera Merah Putih oleh mahasiswa asal Papua. Kalimat bernada rasial yang diteriakkan sejumlah demonstran kemudian memicu unjuk rasa di kota-kota besar di Papua dan Papua Barat. Mereka mengangkat perdebatan yang selama ini terpendam: masalah rasisme terselubung di antara masyarakat Indonesia.
Tokoh separatis Papua Benny Wenda menyatakan tindakan rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya menjadi pemantik kemarahan dan menyulut api ketidakadilan yang dialami rakyat Papua selama lebih dari 50 tahun. “Diskriminasi rasis terhadap orang-orang Papua Barat adalah percikan yang telah menyalakan api lebih dari 50 tahun sentimen terhadap ketidakadilan,” kata Benny.
Solusi
Munculnya diistegrasi itu menandakan bahwa ada permasalahan dalam persatuan yang sedang terjadi. Persatuan, di mana pun dan kapan pun, harus ada titik yang menyatukan. Jika tidak ada yang menyatukan, persatuan pasti akan lenyap. Yang menyatukan bisa saja berupa figur tokoh tertentu, kesamaan kepentingan, kesamaan nasib, kesamaan bangsa, atau kesamaan pemahaman tertentu tentang kehidupan (ideologi).
Jika persatuan disatukan oleh figur maka saat figur meninggal, selesai pula persatuan. Jika persatuan karena nasib yang sama, begitu nasib sudah berbeda, persatuan juga akan hilang. Jika persatuan karena kepentingan maka jika kepentingannya tidak tercapai, akan hancur persatuan, dan yang muncul adalah perang untuk memperebutkan kepentingannya. Namun, jika persatuan karena pemahaman tentang kehidupan (ideologi), maka mereka akan tetap bersatu meskipun kepentingannya, nasibnya dan bangsanya berbeda-beda.
Di dunia ini ada tiga ideologi: Kapitalisme, Sosialisme dan Islam. Dua ideologi (Kapitalisme dan Sosialisme) digagas oleh manusia yang penuh dengan kepentingan pribadi, kelompok dan bangsanya. Hanya ideologi Islam yang datang dari Tuhan pencipta alam.
Dalam Islam, orang tak akan pusing tentang siapa yang menjadi pemimpin, apapun bangsanya. Yang penting pemimpin itu amanah, memiliki kapabilitas, serta menjalankan kepemimpinan seperti ajaran yang mereka pahami, yaitu Islam. Ini persis seperti saat kita shalat. Kita tak peduli mereka orang mana, bangsa apa dan lain-lain. Yang penting, selama sang imam menjalankan syarat rukunnya, maka kita tetap akan menjadi makmum yang baik.
Saat Islam diterapkan, insya Allah keadilan dan kesejahteraan akan terealisasi. Para pemimpin di dalam Islam juga akan sekuat tenaga bekerja untuk rakyat. Sebab mereka memahami bahwa kekuasaan mereka akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Dalam Islam, rasialisme juga dibuang jauh-jauh. Semua orang hakikatnya sama di hadapan Allah. Semua manusia sama. Tidak lebih. Tidak kurang. Yang membedakan manusia hanyalah karena ketakwaannya kepada Allah SWT.
Jadi, dengan Islam, insya Allah, berbagai daerah tidak akan ada niat apalagi bertindak disintegrasi. Yang terjadi, berbagai daerah yang belum menjadi bagiannya, justru akan berintegrasi, bukan disintegrasi.
Sebaliknya, saat Islam tidak diterapkan, seperti saat ini, yang ada hanya kepentingan. Jika kepentingan mendominasi, keadilan dan kesejahteraan akan hilang. Yang ada hanya kepentingan dan rasialisme. Saat itu disintegrasi pasti tumbuh subur.
Jadi, agenda jangka panjang adalah menerapkan Islam dalam kehidupan agar keadilan, kesejahteraan dan persatuan benar-benar terwujud.
Adapun agenda jangka pendek, umat harus menolak berbagai upaya disintegarsi. Sebab, disintegrasi itu menyebabkan negeri kaum Muslim jadi terkoyak. Umat harus berada di garda terdepan melawan disintegrasi.
WalLahu a’lam. [Abu Syamil]