Analisis

Makna Hakiki Maulid Nabi saw.

Alhamdulillah, Peringatan Maulid Nabi saw telah menjadi tradisi sangat baik yang dilakukan oleh kaum Muslim di seluruh pelosok negeri. Ragam syair seperti Maulid Barjanzi, Shalawat Diba’i, Simthu Dhurar (Maulid Habsyi) dilantunkan dengan merdu. Semua menghiasi ceramah-ceramah seputar tentang kelahiran, keagungan dan rasa syukur lahirnya Nabi Muhammad saw. Semua itu pun sekaligus sebagai wujud nyata agar benar-benar diakui menjadi umat Rasulullah saw., agar kelak pada Hari Kiamat mendapat syafaat dari Beliau saw.

 

Tak Berdampak Secara Politik

Sebetulnya ada yang terasa kurang dari rangkaian Peringatan Maulid Rasulullah saw. selama ini, yakni tak berdampak secara politik.  Peringatan Maulid Rasulullah saw. selama ini belum sepenuhnya menumbuhkan kesadaran untuk menerapkan seluruh syariah Islam yang dibawa oleh beliau.

Padahal secara politik kaum Muslim wajib menjalani seluruh aspek kehidupan mereka dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah saw., yakni al-Quran dan as-Sunnah.

Seharusnya saat kita mengenang kelahiran Baginda Rasulullah saw., saat kita benar-benar ingin diakui sebagai umat beliau, tumbuh kesadaran politik Islam. Kesadaran politik Islam bermakna bahwa seluruh aspek kehidupan—ibadah, rumah tangga, ekonomi, sosial, tata negara, hukum dll—harus diatur oleh syariah Islam, yang semuanya telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. sebagai suri teladan. Singkatnya, kita diwajibkan untuk mengamalkan dan menerapkan syariah Islam secara total dan menyeluruh. Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ  ٢٠٨

Wahai orang-orang yang beriman, masuklah (kalian) ke dalam Islam secara menyeluruh. Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian (QS al-Baqarah [2]: 208).

 

Akibat Sekularisme      

Peringatan Maulid Rasulullah saw. selama ini pada akhirnya terjebak pada ritual semata. Kebiasaan tahunan ini tidak memiliki efek dan spirit untuk meneladani Rasulullah saw. dalam seluruh aspek kehidupan.  Sosok Rasulullah saw. hanya dirasakan dan diresapi secara individual dalam sektor-sektor ibadah mahdhah. Itu pun keadaannya kian menipis dan terkisis.

Di sisi kehidupan lain, teladan Rasul saw. dilupakan. Keteladanan beliau dalam mempraktikan ekonomi, pendidikan, pergaulan sosial, pemerintahan dan politik Islam seolah masih terasa asing. Bahkan di dunia politik, masih nyaring suara yang menyatakan, “Jangan bawa-bawa agama (Islam) ke dalam dunia politik.”  Selalu saja banyak arus yang menentang “politik identitas”. Yang mereka maksud adalah politik dengan membawa jatidiri agama sebagai identitas politik. Seolah jika Muslim, baik secara individu maupun kelompok, harus membuang identitas keislamannya saat melakukan aktivitas politik.

Pangkal dari persoalan ini adalah paham sekularisme yang ada di tengah-tengah masyarakat. Sekularisme adalah paham yang memisahkan agama (Islam) dari kehidupan. Sekularisme meniscayakan bahwa aturan agama hanya berlaku pada ranah individu, khususnya ibadah mahdhah saja.  Sebaliknya, aturab-aturan agama harus dijauhkan dari ranah sosial, politik, pemerintahan, hukum, ekonomi dll.

Format berpikir sekuler itu juga terintegrasi saat bagaimana memahami Rasululullah saw. sebagai sosok pembawa risalah Islam.  Rangkaian Maulid Rasul saw. hanya menyentuh bagaimana aktivitas beliau secara individual. Jika pun diluaskan sosok beliau dalam aspek ekonomi, politik, budaya, sosial, pendidikan dan lainnya, keberadaannya tetap dibatasi pada aspek individu. Bukan bagaimana Rasululullah saw. menerapkan syariah Islam secara kaffâh dalam seluruh aspek kehidupan.

Akibat nyata dari semua ini, syariah Rasulullah saw. dilupakan dalam banyak aspek kehidupan, misalnya dalam menata sistem ekonomi. Meski mereka banyak membaca shalawat, mereka tidak merasa berdosa dan bersalah saat melakukan dan menjalankan sistem perekonomian dengan sistem ribawi. Shalat terus, namun maksiat dan korupsi tetap jalan.

Saat berpolitik yang dipakai adalah prinsip-prinsip demokrasi liberal. Aturan diambil dan dibuat oleh manusia yang bernama rakyat. Bahkan prinsip-prinsip politik Macheavelly pakai. Tidak pernah menilai perbuatan dengan standar halal dan haram. Menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politik. Tidak ada kawan yang sejati. Yang ada adalah kepentingan abadi.

Paham sekularisme pula yang menjadikan interaksi antar remaja dilepas dari nilai-nilai Islam. Yang menjadi arus justru gaya hidup permisif (serba boleh tanpa mengenal halal dan haram) dan gaya hidup hedonis (ingin enak dan sanangnya saja). Jadilah kebebasan berperilaku yang menimbulkan berbagai persoalan terjadi di remaja. Pacaran, hubungan seks di luar nikah, hingga tidak sedikit remaja yang terjerumus dalam kehidupan dunia malam, narkoba, aborsi dan penyakit masyarakat lainnya.

Pendek kata, Peringatan Maulid Rasul saw. secara tradisi memang selalu diselanggarakan. Namun, akibat paham sekularisme yang merasuki masyarakat, tradisi Peringatan Maulid Rasul saw. tersebut terjebak pada kegiatan ritual semata. Tidak banyak memberikan efek positif atas perbaikan kehidupan bermasyarakat. Kondisi ekonomi, politik, pendidikan dan hukum tetap suram. Pasalnya, momentum Peringatan Maulid Rasul saw. hanya terbatas mengenang beliau sebagai sosok mulia secara pribadi, sementara syariah yang beliau bawa tidak diterapkan dalam banyak sisi kehidupan.

 

Makna Hakiki Mencintai Nabi saw.

Merayakan Maulid Rasulullah saw. adalah wujud kerinduan dan kecintaan kita kepada beliau, juga pada ajaran yang beliau bawa. Tentu karena beliau bukan sekadar sebagai sosok manusia paling sempurna, namun sekaligus pembawa ajaran yang  sempurna.  Para Sahabat radhiyalLaahu ‘anhum sungguh telah memberikan contoh yang sempurna akan kecintaan kepada Baginda Rasul saw. dan syariah yang beliau bawa.

Dalam Shahiih al-Bukhaarii diriwayatkan: Umar bin al-Khaththab ra. pernah berkata kepada Nabi saw., “Sungguh engkau, wahai Rasulullah, adalah orang yang paling aku cintai daripada segala sesuatu selain diriku sendiri.” Rasul saw. bersabda, “Tidak. Demi Zat Yang jiwaku ada di Tangan-Nya, hingga aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri.” Umar ra. pun berkata kepada beliau, “Sekarang ini engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Nabi saw. pun bersabda, “Sekarang (telah sempurna kecintaanmu [imanmu] kepadaku, wahai Umar.” (HR al-Bukhari).

Karena itu siapa saja yang kecintaannya kepada Nabi saw. belum sampai pada tingkat ini, maka belumlah sempurna imannya. Ia pun belum bisa merasakan manisnya iman hakiki, sebagaimana yang disabdakan Nabi saw., “Ada tiga perkara yang jika dimiliki oleh seseorang, niscaya dia akan merasakan manisnya iman, yaitu: kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada selain keduanya…” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Kecintaan kita kepada Allah SWT dan kepada Baginda Rasulullah saw. harus dibuktikan dengan mengikuti segala ajaran beliau dan menerapkan semua syariah Islam yang beliau bawa. Allah SWT berfirman:

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ  ٣١

Katakanlah, “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imran [3]: 31).

 

Saat Baginda Rasulullah saw. secara fisik telah lama tiada, bukti nyata kecintaan kita kepada beliau adalah dengan benar-benar mengamalkan seluruh ajaran beliau dan menerapkan semua syariah yang beliau bawa.

Karena itu, saat sistem sekularisme nyata-nyata menjadikan ajaran Rasulullah saw. dan syariahnya disingkirkan, maka wujud kecintaan kita kepada beliau adalah dengan memperjuangkan agar ajaran dan syariahnya kembali hadir dalam kehidupan.  Justru terasa aneh bahkan dusta jika kita menyatakan cinta kepada Rasulullah saw., sementara kita rela ajaran beliau dan syariah Islam yang beliau bawah dipinggirkan dan tidak dipakai dalam kehidupan?

Dengan demikian wujud kecintaan kita yang hakiki kepada Rasulullah saw. adalah dengan cara memperjuangkan kembali ajaran dan syariah beliau itu secara sempurna. Inilah jalan dakwah. Jalan hidup yang juga ditempuh oleh para nabi Allah.

Apalagi banyaknya persoalan yang telah dan sedang menimpa umat Islam dan peradaban dunia saat ini sesungguhnya adalah akibat ajaran dan syariah yang Rasulullah saw. bawa tidak diterapkan secara menyeluruh dalam kehidupan. Kaum Muslim saat ini mengimani dan mengambil sebagian dari ajaran dan syariah Islam, kemudian mengesampingkan yang lainnya (sesuai dengan prinsip sekularisme). Semua ini hanyalah akan berujung pada kehinaan hidup di dunia, sementara di akhirat kelak akan kita akan mendapat azab yang pedih. Allah SWT berfirman:

أَفَتُؤۡمِنُونَ بِبَعۡضِ ٱلۡكِتَٰبِ وَتَكۡفُرُونَ بِبَعۡضٖۚ فَمَا جَزَآءُ مَن يَفۡعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمۡ إِلَّا خِزۡيٞ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰٓ أَشَدِّ ٱلۡعَذَابِۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ  ٨٥

Apakah kalian mengimani sebagian dari al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lain? Tidaklah balasan bagi siapa saja yang berperilaku demikian  kecuali kehinaan kehidupan di dunia dan pada Hari Kiamat kelak akan dikembalikan pada siksa yang pedih. Allah tidak pernah lalai (mencatat dan mengetahui) atas segala apa yang kalian lakukan (QS al-Baqarah [2]: 85).

 

Termasuk hakikat mencintai Rasulullah saw. adalah dengan mencintai para  pewaris nabi yang memperjuangkan ajaran agamanya.  Menghormati perjuangan mereka, membantu dan menyokong segala upaya mereka dalam menjaga dan memelihara dan terus berupaya memberlangsungkan ajaran Rasulullah saw. yang mulia.  Mereka tiada lain adalah para ulama yang ikhlas, yang berada di garda terdepan dalam memperjuangan syariah Rasulullah saw. ini. Sungguh mereka adalah satu-satunya pewaris (risalah) para nabi. Rasul saw. bersabda:

وَ إِنَّ الْعُلَمَاء وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يٌوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَه أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Siapa saja mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak (HR Abu Dawud).

 

Kecintaan yang hakiki terhadap Rasulullah saw. sejatinya akan menumbuhkan kepedulian atas kondisi umat beliau. Kita semua melihat dan menyaksikan bahwa kondisi umat Rasulullah saw. saat ini tidak dalam keadaan baik-baik saja. Mayoritas dari umat tersisih dari berbagai sisi kehidupan. Kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi, juga ragam persoalan lainnya sangat menghiasai kondisi umat Rasulullah saw. saat ini. Bahkan secara fisik, sebagian kondisi mereka diusir dan terlunta-lunta. Palestina adalah potret nyata kondisi umat Rasulullah saw. yang masih dalam kungkungan penjajahan secara fisik.

Sekali lagi kami tegaskan bahwa ragam persoalan yang menimpa umat Islam saat ini adalah karena ajaran dan syariah Islam tidak diterapkan dalam berbagai sisi kehidupan untuk menyelesaikan ragam persoalan kaum Muslim yang bersifat sistemik.

Karena itu puncak dari kecintaan kita kepada Baginda Rasulullah saw. adalah berupaya bersungguh-sungguh memperjuang-kan tegaknya ajaran dan syariah Islam secara sempurna dalam kehidupan. Jalan satu-satunya, metode baku yang diajarankan beliau, adalah dengan menegakkan Khilafah Islamyah ‘ala Minhâj Nubuwwah. Insya Allah.

WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Luthfi Hidayat]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

19 + 4 =

Back to top button