Melawan Imperialisme Barat
Adi Victoria (Penulis dan Aktivis Dakwah)
Tahun 1992, bertempat di American Enterprise Institute, seorang ilmuwan politik bernama Samuel P. Huntington menyampaikan pidato yang dalam paparannya tersebut. Ia menjelaskan tentang teori Benturan Peradaban atau Clash of Civilizations (CoC). Teori ini menyatakan bahwa identitas budaya dan agama seseorang akan menjadi sumber konflik utama di dunia pasca Perang Dingin.
Setahun kemudian, yakni ditahun 1993, teori tersebut kemudian dikembangkan menjadi sebuah artikel Foreign Affairs yang berjudul, “The Clash of Civilizations?” Artikel ini merupakan tanggapan atas buku karya mahasiswanya, Francis Fukuyama, yang berjudul The End of History and the Last Man (1992). Huntington kemudian mengembangkan tesisnya dalam bukunya yang berjudul, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996).
Dalam tesisnya tersebut, Huntington mengelompokkan negara-negara bukan berdasarkan sistem politik-ekonominya, namun berdasarkan budaya dan peradaban. Huntington mengindentifikasi ada 9 peradaban kontemporer yakni peradaban Barat, Cina, Jepang, Amerika Latin, Afrika, Hindu, Budha, Islam dan Kristen Ortodoks. Benturan yang paling keras menurut Huntington akan terjadi antara kebudayaan Kristen Barat dan Kebudayaan Islam.
Pasca keruntuhan ideologi Sosialis-Komunisme internasional, tampak Barat dan para pengikut mereka di negeri-negeri Islam meyakini tesis Samuel Huntington (1996) tersebut. Tesis ini menyatakan bahwa era berikutnya yang harus dihadapi Barat adalah era perbenturan budaya dengan Timur. Kekuatan Timur yang paling ditakuti adalah Islam.
Barat memang tidak pernah berhenti melakukan segala upaya untuk mencegah kebangkitan umat Islam. Bangkitnya umat Islam yang bersatu dalam naungan Khilafah Islam merupakan lonceng kematian bagi Barat. Oleh karena itu, mereka akan mengerahkan segenap kemampuan serta kekuasaan yang mereka miliki untuk mencegah kebangkitan umat Islam tersebut. Salah satunya dengan cara mengadu domba umat Islam.
Akibatnya, Barat yang seharusnya menjadi common enemy (musuh bersama) bagi seluruh umat Islam malah tidak tampak menjadi musuh. Sebaliknya, sebagian kelompok umat Islam menganggap kelompok umat Islam lainnya sebagai musuh. Bahkan keberadaan kelompok selain kelompok mereka tersebut, menurut mereka, harus dilenyapkan.
Inilah yang seharusnya disadari oleh umat Islam. Mereka harus menyadari bahwa mereka memiliki musuh bersama, yakni Barat yang menjadi pengusung ideologi Kapitalisme-sekular yang telah bercokol bertahun-tahun di negeri ini. Kesadaran ini penting. Dengan adanya kesadaran tersebut, diharapkan umat akan semakin waspada terhadap cara-cara Barat dalam mengaburkan musuh sejati mereka, yakni Barat sebagai pengusung utama ideologi Kapitalis-sekularisme.
Ideologi ini telah terbukti menjadikan negeri ini terpuruk di berbagai sisi. Tentu yang menjadi korban utamanya adalah umat Islam sebagai penduduk mayoritas negeri ini. Umat Islam kini menderita akibat kemiskinan, pengangguran, harga-harga mahal, biaya pendidikan dan kesehatan tinggi, pajak yang makin meningkat, daya beli yang makin menurun, dsb.
Di sisi lain, segelintir orang, terutama asing dan aseng, menikmati sebagian besar kekayaan negeri ini. Tentu aneh dan ironis jika kemudian ada kalangan dari umat Islam—yang sebetulnya juga menjadi korban—yang membela asing dan aseng tersebut, termasuk mendukung sistem sekular-kapitalis-liberal yang menjadi biang atas segala persoalan yang terjadi negeri ini.
Langkah-Langkah Pengaburan oleh Barat
Ada beberapa langkah yang digunakan Barat dalam upaya menggiring pemahaman umat Islam terkait siapa musuh mereka.
- Memainkan isu terorisme dan radikalisme.
Pasca Peristiwa 9/11, Amerika Serikat (AS) melalui Presidennya kala itu, George Walker Bush, menyatakan, “Either you are with us or with terrorist. If you are not with us, you are againts us (Apakah Anda bersama kami atau bersama teroris. Jika Anda tidak bersama kami, berarti Anda menantang kami).”
AS menggiring opini bahwa cuma ada dua pilihan: bersama dengan Amerika memerangi terorisme atau, jika tidak, berarti bersama teroris melawan AS.
AS menjadi pemain utama dalam kampaye global War On Terorisme (WTO). Siapa teroris yang dimaksud oleh Barat AS? Tidak lain adalah umat Islam. Artinya, War On Terorism sejatinya bermakna War On Islam. Hal ini terbukti dengan data yang ada dalam situs resmi Pemerintah AS tentang daftar FTO (Foreign Terrorist Organizations) yang sebagian besarnya atau sekitar 90% adalah kelompok-kelompok Islam (Lihat juga: http://www.state.gov/j/ct/rls/other/des/123085.htm).
Lebih khusus lagi, AS menggiring opini bahwa teroris itu adalah mereka yang juga memperjuangkan Khilafah. Dalam transkrip pernyataan George Walker Bush yang dilansir oleh situs washingtonpost.com pada 5 September 2006 dikatakan, “This caliphate would be a totalitarian Islamic empire encompassing all current and former Muslim lands, stretching from Europe to North Africa, the Middle East and Southeast Asia (Khilafah ini akan menjadi Imperium Islam totaliter yang meliputi semua negeri Muslim saat ini, yang dulunya adalah negeri-negeri Muslim yang membentang dari Eropa hingga Afrika Utara dari Timur Tengah hingga Asia Tenggara).”
Selain terorisme, AS juga memainkan isu radikalisme. Mengapa? Karena terorisme lebih khusus terkait perbuatan secara fisik. Adapun perjuangan atau aktivis yang tidak menjurus ke arah fisik tidak bisa dimasukkan ke dalam tindakan terorisme. Karena itulah mereka juga menggunakan isu radikalisme. Radikalisme berkaitan dengan siapapun—seseorang atau sebuah kelompok—yang memiliki pemahaman untuk mewujudkan kembali Kekhilafahan Islam.
Henry Kissinger, Asisten Presiden AS untuk urusan Keamanan Nasional 1969-1975, dalam sebuah wawancara November 2004, mengungkapkan pandangannya, “…What we call terrorism in the United States, but which is really the uprising of radical Islam against the secular world, and against the democratic world, on behalf of re-establishing a sort of Caliphate (…Apa yang kita sebut sebagai terorisme di Amerika Serikat, tetapi sebenarnya adalah pemberontakan Islam radikal terhadap dunia sekular, juga terhadap dunia yang demokratis, atas nama pendirian semacam Kekhalifahan).”
- Memecah-belah umat Islam.
Pada tahun 2003, lembaga think-tank (gudang pemikir) AS, yakni Rand Corporation, mengeluarkan sebuah kajian teknis yang berjudul, “Civil Democratic Islam”. Secara terbuka Rand Corp membagi umat Islam menjadi empat kelompok Muslim: Fundamentalis, Tradisionalis, Modernis dan Sekularis.
Kelompok fundamentalis mereka sebut sebagai kelompok yang menolak nilai-nilai demokrasi dan budaya Barat serta menginginkan sebuah negara otoriter yang puritan yang menerapkan hukum Islam yang ekstrem (baca: Khilafah). Kelompok tradisionalis adalah kelompok yang menginginkan suatu masyarakat yang konservatif. Kelompok modernis mereka identifikasi sebagai kelompok yang menginginkan Dunia Islam menjadi bagian modernitas global. Mereka ingin memodernkan dan mereformasi Islam serta menyesuaikan Islam dengan perkembangan zaman. Adapun kelompok sekular adalah kelompok yang menginginkan Dunia Islam dapat menerima paham sekular dengan cara seperti yang dilakukan negara-negara Barat yang membatasi agama pada lingkup pribadi saja.
Setelah dilakukan pengelompokan umat Islam, langkah Barat berikutnya adalah melakukan politik belah bamboo; mendukung satu pihak dan menjatuhkan pihak lain serta membenturkan antar kelompok. Caranya? Yakni dengan melakukan empat hal :
- Mendukung kelompok modernis dengan mengembangkan visi mereka tentang Islam sehingga mengungguli kelompok tradisionalis.
- Mendukung kelompok tradisionalis sebatas untuk mengarahkan mereka agar berlawanan dengan kelompok fundamentalis dan untuk mencegah pertalian yang erat di antara mereka; menerbitkan kritik kaum tradisionalis atas kekerasan dan ekstremisme yang dilakukan kaum fundamentalis; mendorong perbedaan antara kelompok tradisionalis dan fundamentalis; mendorong kerjasama antara kaum modernis dan kaum tradisionalis yang lebih dekat dengan kaum modernis; juga mendorong popularitas dan penerimaan atas sufisme.
- Mendukung kelompok sekularis secara kasus-perkasus; mendorong pengakuan fundamentalisme sebagai suatu musuh bersama; mendorong ide bahwa agama dan negara dapat dipisahkan.
- Memusuhi kelompok fundamentalis dengan menunjukkan kelemahan pandangan keislaman mereka; mendorong para wartawan untuk mengekspos isu-isu korupsi, kemunafikan dan tidak bermoralnya kaum fundamentalis, pelaksanaan Islam yang salah dan ketidakmampuan mereka dalam memimpin dan memerintah.
Pada tahun 2007, Rand Corporation juga menerbitkan sebuah dokumen setebal 217 halaman, terdiri atas 10 bab yang berjudul: Building Moderate Muslim Networks.
Dalam dokumen tersebut, Rand Corp mengungkapkan peta jalan (road map) bagaimana membangun jaringan Muslim moderat. Kerena itu mereka mulai memberikan prioritas bantuannya kepada pihak-pihak yang dinilai paling cepat memberikan dampak dalam perang pemikiran yakni: (1) akademisi dan intelektual Muslim yang liberal dan secular; (2) mahasiswa muda religius yang moderat; (3) komunitas aktivis; (4) organisasi-organisasi yang mengkampanyekan persamaan gender; (5) wartawan dan penulis moderat.
- Melakukan monsterisasi dan stigma negatif terhadap ide Khilafah.
Ketika ISIS memproklamirkan pendirian “Khilafah” pada 2014, Barat menjadikan itu sebagai sebuah momentum baru untuk melakukan monsterisasi terhadap ide Khilafah. Berbagai video eksekusi tawanan perang oleh ISIS menjadi alat propaganda Barat kepada dunia, termasuk kaum Muslim. Ini menjadi salah satu opini buruk bagi dakwah penegakkan syariah dan Khilafah. Seolah-olah Barat ingin mengatakan, “Jika ingin Khilafah, lihatlah apa yang dilakukan oleh ISIS.” Padahal “Khilafah” yang dideklarasikan oleh ISIS tidak memenuhi syarat-syarat sah sebagai sebuah Khilafah.
Mereka juga membuat stigma negatif terhadap Khilafah. Beberapa waktu lalu Mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry, menyebut ISIS di Irak dan Suriah telah melakukan genosida terhadap kelompok minoritas Kristen, Syiah, Yazidi dan lainnya.
Menghadapi Barat
Setelah sadar bahwa musuh sejati umat Islam saat ini adalah Barat sebagai pengusung utama ideologi Kapitalisme-sekularisme, tidak ada pilihan lain bagi umat Islam selain bersama-sama berjuang untuk menghadapi upaya-upaya jahat Barat tersebut.
Minimal umat harus paham bahwa sedang ada upaya nyata dari Barat untuk mengaburkan pemahaman umat Islam terkait siapa musuh mereka. Umat harus sadar bahwa Barat tengah membenturkan umat Islam satu sama lain.
Untuk membangun kesadaran ini harus melalui penyadaran politik. Pasalnya, yang dihadapi oleh umat adalah bagian dari politik luar negeri Barat terhadap umat Islam di negeri-negeri Muslim, termasuk di Indonesia, sebagai negara dengan penduiduk Muslim terbesar.
Melihat siapa musuh sebenarnya harus berdasarkan pandangan Islam. Jelas, umat Islam bukanlah musuh bagi umat Islam yang lain. Bahkan sebaliknya, sesama Muslim adalah bersaudara. Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
Sungguh kaum Mukmin itu bersaudara. Karena itu damaikanlah di antara kedua saudara kalian dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian dirahmat (QS al-Hujurat [49]: 10).
Karena itu tidak layak dan tidak boleh ada permusuhan antarkelompok umat Islam.
Kaum kafir Baratlah yang menjadi musuh sejati umat Islam. Mereka melakukan imperialisme terhadap negeri-negeri umat Islam. Mereka Bahkan membunuhi penduduknya sebagaimana yang terjadi di Irak, Afganistan, Suriah, Libya dan negeri Muslim lainnya. Merekalah musuh yang nyata. Demikian sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا
Sungguh kaum kafir itu adalah musuh kalian yang nyata (QS an-Nisa’ [4]: 101).
Oleh karena itu, umat Islam harus bersatu-padu untuk melawan Barat yang terus berusaha melakukan penindasan terhadap umat Islam. Persatuan tersebut harus dalam satu kekuatan politik global. Itulah Khilafah. Hanya Khilafah yang mampu menghentikan hegemoni Barat atas Dunia Islam. Khilafah yang dimaksud adalah Khilafah ar-Râsyidah ‘ala minhâj an-nubuwwah (Khilafah yang berdasarkan metode kenabian). Itulah Khilafah sebagaimana yang dipraktikkan oleh Khulafaur Rasyidin dulu.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []