Menyegarkan Kembali Agenda Perjuangan Umat
Pada Pemilu 14 Februari 2024, banyak pihak menduga telah terjadi kecurangan yang massif, sistematis dan terstruktur. Dugaan seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Hanya pengulangan yang sifatnya periodik perlima tahunan. Kecurangan massif, sistematis dan terstruktur juga terjadi pada periode sebelumnya. Hanya lakonnya saja yang berganti. Pihak yang dulu merasa dicurangi kini diam seribu bahasa. Apakah karena menjadi bagian kecurangan itu?
Semua fakta ini sejatinya menegaskan wajah asli demokrasi. Demokrasi merupakan turunan ideologi Kapitalisme di bidang politik. Asas Kapitalisme adalah pemisahan agama dari kehidupan (fashl ad-diin ‘an al-hayaah), termasuk kehidupan politik. Demokrasi secara terstruktur dan sistematis menjadikan para politisi dan parpol bebas melakukan trik dan intrik untuk meraih tujuan politik. Tak peduli halal-haram. Sikut-menyikut hingga jilat-menjiat dilakukan. Tak ada kawan atau lawan abadi. Yang ada kepentingan abadi.
Orientasi pada kemenangan yang diukur dari banyaknya raihan suara berdampak pada pragmatisme politik. Virus bernama pragmatisme politik menjangkiti politisi dan parpol yang jargonnya mengusung perubahan. Mereka begitu mudah berpindah kubu. Hanya untuk kepentingan sesaat. Kawan bisa jadi lawan dan sebaliknya. Hanya dalam waktu yang singkat. Jika pun ada yang “konsisten” pada perubahan dan perbaikan, wacananya masih berkutat pada sistem kapitalisme-demokrasi yang ada. Kampanye Islam sebagai poros perubahan dan perbaikan nyaris tak terdengar. Padahal jika mau jujur, jika bukan dengan Islam lantas perubahan macam apa yang diharapkan.
Sejak Pemilu pertama (tahun 1955) kita sudah merasakan perubahan pemimpin dan pola kepemimpinan. Namun, hal itu ternyata tidak membawa perbaikan pada negeri ini. Ibarat mobil tua yang sakit-sakitan. Siapa pun sopirnya akan berujung mogok di jalan. Karena itu perubahan hakiki sejatinya adalah ganti mobil sebagai tamsil dari ganti sistem sekaligus ganti sopir yang amanah (memiliki integritas) dan kafaa’ah (memiliki kapasitas).
Virus pragmatisme politik tidak hanya terjadi pada kalangan politisi. Sebagian rakyat pemilih juga terjangkiti. Mereka sengaja menantikan serangan fajar. Sampai ada yang berkata, “Ada uang ada lobang.” Ada juga yang berkata, “Mereka para politisi menipu kita, sekarang saatnya kita menipu mereka.” Miskin iman, miskin ilmu dan miskin ekonomi menjadikan masyarakat pemilih bersikap pragmatis. Kemiskinan ini memang dijaga, dirawat dan dilestarikan dalam alam demokrasi. Masyarakat dijauhkan dari Islam sebagai aturan hidup. Akidahnya dibiarkan dangkal. Akses ekonomi dibuat timpang. Itu semua agar dapat dimanfaatkan setiap kali pesta demokrasi.
Urgensi Kesadaran Ideologis
Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Setiap umat atau bangsa menginginkan perubahan. Perubahan untuk menjadi lebih baik. Perubahan hanya akan terwujud dengan kesadaran. Namun, bukan sembarang kesadaran. Bukan kesadaran yang parsial (bagian-bagian tertentu). Bukan perubahan pada perkara cabang (tidak mendasar). Perubahan yang hakiki adalah perubahan yang mendasar (asasi) dan menyeluruh (kâmil). Perubahan yang mendasar dan menyeluruh hanya akan terwujud jika muncul kesadaran ideologis. Sebabnya, hanya ideologi yang memiliki konsep yang mendasar dan menyeluruh.
Ideologi, atau dalam Bahasa Arab disebut mabda’, adalah akidah yang rasional yang memancarkan sistem kehidupan. Inilah yang dimaksud dengan kesadaran ideologis (mabda’i). Hanya saja, tidak semua ideologi layak dijadikan dasar kesadaran (kebangkitan). Ideologi Sosialisme tak layak mendari dasar kebangkitan. Ideologi ini batil karena menafikan adanya Tuhan yang Maha Pencipta (Al-Khâliq). Jelas, Sosialisme tidak sesuai dengan fitrah manusia. Ideologi Kapitalisme juga batil. Sebabnya, Kapitalisme menjadikan tuhan hanya layak berperan di ruang-ruang privat. Ideologi ini menafikan peran tuhan dalam ruang publik. Ini pun tidak dengan sesuai fitrah manusia. Satu-satunya ideologi yang layak menjadi dasar kesadaran (kebangkitan) adalah ideologi Islam. Islamlah agama sekaligus mabda’ yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan menenteramkan jiwa.
Kesadaran Islam sebagai ideolgi inilah yang mesti menjadi agenda umat saat ini. Kesadaran ini akan menjadikan parpol, politisi Muslim dan masyarakat pemilih tidak lagi pragmatis. Mereka berjuang untuk memenangkan Islam. Menjadikan Islam sebagai tujuan, dasar perjuangan serta batasan bagi aktivitas politiknya. Tidak tergoda dengan bujuk rayu. Tidak takut ancaman. Tetap lurus di garis perjuangan. Kesadaran ini menjadikan keridhaan mereka hanya pada Islam. Aktivitas politiknya sesuai dengan syariah Islam. Puncak perjuangannya adalah tegaknya syariah Islam.
Masa Depan Politik Umat
Masa depan politik umat Islam pada masa mendatang sesungguhnya tak cukup dibaca hanya melalui realitas politik saat ini. Lalu tunduk dan menyerah pada realitas dengan menyatakan: “umat Islam tidak mungkin bersatu”, “umat Islam tidak mungkin menang”, “kita harus menerima apa adanya realitas politik yang ada”.
Dulu para Sahabat tidak menjadikan realitas yang mereka lihat saat itu sebagai penentu. Mereka sepenuhnya percaya dengan informasi (khabar) dan janji (wa’d) dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Para Sahabat dulu pernah dikepung oleh sepuluh ribu (10.000) pasukan koalisi (ahzaab). Saat itu kaum munafik dan orang-orang yang memiliki penyakit di dalam hati mereka meragukan dan menganggap khabar dan janji Allah hanya tipuan. Namun, kaum Muslim justru bertambah yakin dan tunduk (taslîm) dengan janji Allah SWT dan Rasul-nya. Hal ini terekam jelas dalam firman-Nya:
وَلَمَّا رَءَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلۡأَحۡزَابَ قَالُواْ هَٰذَا مَا وَعَدَنَا ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَصَدَقَ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥۚ وَمَا زَادَهُمۡ إِلَّآ إِيمَٰنٗا وَتَسۡلِيمٗا ٢٢
Tatkala kaum Mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, “Inilah yang telah Allah dan rasul-Nya janjikan kepada kita.” Benarlah Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan (QS al-Ahzab [33]: 22).
Allah SWT dan Rasulullah saw. menjanjikan kepada kita bahwa setelah fase mulk[an] jabriyyat[an] (penguasa diktator) adalah fase Khilaafah ‘alaa minhaaj an-Nubuwwah (HR Ahmad No. 17680 dari Nu’man bin Basyir). Allah SWT pun telah menjanjikan bahwa umat Islam yang beriman dan beramal shalih akan menjadi pemimpin dunia (QS an-Nur [24]: 55). Ada yang mengatakan janji ini khusus untuk para Sahabat. Untuk menanggapi opini ini, cukuplah kami kutipkan penjelasan Imam asy-Syaukani dalam kitab tafsirnya:
وَهُوَ وَعْدٌ يَعُمُّ جَمِيْعَ اْلأُمَّةِ. وَقِيْلَ: هُوَ خَاصٌ بِالصَّحَابَةِ، وَلاَ وَجْهَ لِذَلِكَ، فَإِنَّ اْلإِيْمَانَ وَعَمَلَ الصَّالِحَاتِ لاَ يُخْتَصُ بِهِمُ، بَلْ يُمْكِنُ وُقُوْعُ ذَلِكَ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ …
Janji ini berlaku umum untuk semua umat (Islam). Dikatakan: Janji ini hanya khusus untuk Sahabat. Pendapat ini tidak beralasan. Pasalnya, iman dan amal shalih tidak khusus ada pada mereka (Sahabat Nabi saw.). Namun, hal itu mungkin terjadi pada setiap generasi dari umat ini (Asy-Syaukani, Fath al-Qadiir, 5/241).
Nabi kita pun telah menjanjikan bahwa kekuasaan umatnya akan mencapai seluruh bagian timur dan barat bumi ini (HR Muslim No. 5144 dari Tsauban). Umat Islam akan menaklukkan Romawi Barat (HR. Ahmad No. 6358 dari Abdullah ibn ‘Amr).
Berdasarkan sejumlah khabar di atas, jelas masa depan politik umat Islam adalah Kekhilafahan yang mengikuti metode kenabian. Khilafah inilah yang akan menjadikan umat Islam menjadi one ummah, menerapkan syariah secara kaaffah, menegakkan dakwah dan jihad di penjuru dunia, menaklukkan Roma dan termasuk membebaskan Palestina.
Jebakan Demokrasi
Sejumlah politisi Muslim berpandangan, demokrasi adalah alat yang dapat digunakan untuk menerapkan Islam. Tahapannya: bentuk parpol, berkontestasi dalam Pemilu, kuasai Parlemen, lalu legislasi Undang-Undang yang sesuai Islam. Benarkah semudah itu?
Kenyataannya tidak semudah itu. Untuk lolos sebagai parpol terlibat dalamn kontestasi politik, satu persoalan. Meraih suara sekadar mencapai syarat minimal untuk melenggang ke Senayan, persoalan lain. Hingga tulisan ini dibuat, PPP masih kejar-kejaran dengan PSI. Jika pun berhasil menguasai Parlemen, apakah demokrasi membiarkan dirinya diganti dengan sistem yang akan meruntuhkan pilar-pilar demokrasi. Pilar demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat. Ini bertantangan dengan Islam yang menempatkan kedaulatan di tangan syariah. Tidakkah apa yang terjadi pada FIS di Aljazair dulu menjadi pelajaran berharga, bahwa demokrasi dan para penganutnya tidak akan pernah ridha Islam berkuasa?
Jika benar demokrasi adalah jalan yang dapat menghantarkan penegakkan syariah Islam, mengapa George W. Bush menyatakan: “Jika kita ingin melindungi negara kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan adalah menyebarkan kebebsan dan demokrasi.”
William Blum (pakar anti-mainstream dari AS di bidang kebijakan luar negeri) menulis sebuah buku yang berjudul America’s Deadliest Export Democracy (Demokrasi Ekpor Amerika Paling Mematikan). Jika demikian kenyataannya, demokrasi tidak lain hanyalah jebakan yang melenakan. Demokrasi hanya memberikan harapan palsu. Demokrasi tidak akan pernah memberikan jalan bagi tegaknya Islam secara sempurna.
Apalagi jalan musyaarakah atau telibat dalam sistem kufur tidak dicontohkan oleh panutan kita, Nabi Muhammad saw. Ketika beliau ditawari kekuasaan dari sistem jahiliyah hingga dikatakan kepada beliau, “Jika engkau menginginkan kemuliaan, kami akan angkat engkau sebagai pemimpin kami. Kami tidak akan memutus perkara apapun tanpa dirimu. Jika engkau menginginkan kekuasaan, kami akan angkat engkau sebagai raja kami.” Namun, beliau menolak tawaran tersebut (Ibnu Hisyam, Siirah Ibn Hisyaam, 1/292).
Rasulullah saw. menempuh jalan dakwah sendiri. Lantas bagaimana road map (peta jalan) dakwah Nabi saw.?
Peta Jalan Dakwah Nabi saw.
Setidaknya ada dua alasan mengapa kita mesti meniti jalan (tharîqah) dakwah Rasulullah saw. Pertama: Meniti dakwah dengan metode yang dicontohkan Rasulullah saw. akan berbuah pahala, dicintai oleh Allah SWT dan Rasulullah saw., serta diampuni dosa. Terdapat ayat al-Quran dan Hadis Nabi saw. yang secara jelas menginformasikannya. Kedua: Metode dakwah Rasulullah saw. terbukti sukses mewujudkan kehidupan Islam di bawah institusi Daulah Islamiyah di Madinah.
Rasulullah saw. memulai dakwahnya dengan membina kader dakwah dalam tatsqiif murakazah (pembinaan intensif) hingga terbentuklah kader dakwah yang tangguh, yang siap terjun ke medan dakwah. Kemudian beliau membentuk jamaah dakwah yang disebut dengan Hizb Rasul. Di dalam Hizb Rasul ini potensi dakwah dioptimalkan untuk melakukan dua aktivitas utama: menambah anggota jamaah dakwah dan terjun ke masyarakat untuk mewujudkan opini Islam di tengah-tengah masyarakat. Aktivitas terjun ke masyarakat ini bertujuan agar masyarakat tidak lagi percaya pada sistem jahiliyah dan mengalihkan kepercayaannya pada sistem Islam.
Karena itulah sistem jahiliyah wajib dibongkar kebobrokannya. Dalam konteks saat ini sistem jahiliyah ini berupa ideologi Sosialisme dan ideologi Kapitalisme dengan segala turunannya: demokrasi dan isme-isme sesat lainnya. Sistem jahiliyah ini wajib dijelaskan kebatilannya dari sisi filosofis-normatif, historis hingga empirik. Selanjutnya ditawarkan sistem Islam sebagai solusi. Islam sebagai mabda’ (ideologi) yang memiliki akidah rasional serta sistem kehidupan mampu menyelesaikan problem kehidupan mesti terus diopinikan. Targetnya, masyarakat memahami, mengamalkan, menginginkan dan menuntut penerapan Islam dalam seluruh aspek.
Penerepan Islam sebagai sistem kehidupan menicyakan adanya negara. Kenyataannya, tidak satu ideologi pun kecuali diterapkan oleh negara. Islam pun telah mengatur sistem ketatanegaraan ini, yaitu sistem Imamah atau Khilafah.
Selain membangun opini umum di tengah umat, Rasulullah saw. juga menggalang dukungan dakwah dari pemilik kekuatan (thalab an-nushrah). Belasan kali aktivitas ini beliau lakukan tanpa bergeser sedikit pun. Akhirnya, beliau mendapatkan nushrah (dukungan dakwah) dari suku kuat di Madinah (‘Aus dan Khazraj). Dukungan ini secara riil dinyatakan dalam Baiat Aqabah II yang berisi komitmen jaminan keamanan kepada Nabi saw. meski harus kehilangan harta dan tokoh. Atas izin Allah, pasca baiat ini Rasulullah saw. dan para Sahabat hijrah ke Madinah. Hijrah ini bukan hanya berpindah tempat, namun juga membangun peradaban. Berpindah dari negara kufur saat itu (Makkah) dan membangun Negara Islam di Madinah.
Demikianlah secara ringkas peta jalan dakwah Nabi saw. Peta jalan ini pula yang mestinya ditempuh oleh jamaah dakwah, parpol Islam, politisi Muslim dan aktivis dakwah. Dalam dakwah yang berubah hanya wasiilah (sarana) dan uslûb (cara). Adapun tharîqah (metode) dakwah tidak berubah.
WalLaahu ta’ala a’lam bi ash-shawaab. [Wahyudi Ibnu Yusuf]