Analisis

Mewaspadai Perang Istilah

Peperangan antara haq dan batil telah berlangsung sejak zaman Adam sampai saat ini dan akan terus berlangsung hingga berakhirnya kehidupan dunia ini. Dalam peperangan ini musuh-musuh Allah (kaum kuffar) menggunakan banyak cara dari cara yang kasar (hard power) sampai cara yang halus (soft power).  Salah satu uslub yang ditempuh oleh kaum kuffar adalah apa yang disebut dengan Harb al-Musthalahat (Perang Istilah).

Rasulullah saw. telah mengingatkan kita akan fenomena Perang Istilah ini. Beliau pernah bersabda:

لَيَشْرَبُ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرِ يَسُمُّوْنَهَا بِغَيْرِ اِسْمِهَا

Akan ada sekelompok orang dari umatku yang meminum khamr dan menyebut khamar dengan nama lain (HR Ahmad dan Abu Dawud).

 

Menyebut khamar dengan istilah lain adalah bagian dari Perang Istilah.

Menurut Dr. Ahmad Ibrahim Khidr  dalam makalahnya, “Al-Islam wa Harb al-Musthalahat,” perang istilah dilakukan dengan dua hal: Pertama, Taqbih al-Hasan, yaitu mencitraburukkan perkara yang baik di dalam Islam. Ketika kaum kuffar ingin memerangi jihad (baca: menjauhkan jihad dari kehidupan kaum Muslim), misalnya, mereka menyamakan jihad dengan terorisme, pembantaian dan kesan-kesan buruk lainnya.  Akhirnya, kaum Muslim terpengaruh. Banyak dari kaum Muslim yang merasa jengah dan khawatir ketika menyebut kata jihad. Ayat-ayat tentang jihad dihindari dari pengkajian dan pembahasan. Jihad identik dengan kekerasan dan krimininal. Pelakunya disebut teroris, ekstremis atau sebutan lainnya yang menyeramkan.

Padahal jihad adalah ibadah yang mulia di dalam Islam. Bahkan Nabi saw. Menyebut jihad dengan Dzirwah Sanam al-Islam (Puncak Amal Tertinggi dalam Islam). Jihad adalah ibadah yang tidak bisa ditandingi oleh amal apa pun.

Demikian pula dengan istilah khilafah. Khilafah merupakan ajaran Islam yang mendatangkan rahmat. Khilafah adalah pemersatu kaum Muslim serta penjaga harta, jiwa dan kehormatan umat. Khilafah adalah kewajiban terbesar dalam agama (ahamm al-wajibat). Namun kemudian, Khilafah mereka identikkan dengan hal-hal buruk. Khilafah dikesankan dengan dinasti otoriter dan penuh dengan kekerasan. Khilafah digambarkan dengan kekuasaan haus darah dan memecah-belah. Jika khilafah berdiri maka yang terjadi adalah perpecahan dan pertumpahan darah.

Kedua, Tahsin al-Qabih, yakni menilai baik hal-hal yang sebetulnya buruk dalam Islam. Riba yang dimurkai Allah disebut dengan istilah fa’idah (manfaat) atau bunga. Dengan nama baru ini akhirnya kaum Muslim tidak takut lagi dengan dosa riba. Bahkan ada kecenderungan tidak mau melepaskan riba karena riba itu berfaedah, indah dan menguntungkan, bermanfaat seperti bunga.

 

Mendudukkan Istilah

Islam adalah agama yang khas, berbeda dengan agama lain. Salah satu kekhasan Islam adalah terkait dengan pengaturan Istilah.  Untuk menjelaskan suatu perkara agar berbeda dengan perkara yang lain, agar tidak tercampur-aduk, digunakanlah istilah dengan makna tertentu. Untuk membedakan pemeluk agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan pemeluk agama lain ditetapkanlah istilah Islam dan kufur, Muslim dan kafir.

Para ulama membagi istilah dalam Islam menjadi dua bagian. Pertama: Istilah atau nama sesuatu yang digunakan dalam nas al-Quran dan as-Sunnah.  Istilah ini disebut ism[un] syar’i atau al-musthalah asy-syar’iyyah (istilah syariah). Ism[un] syar’i atau istilah syariah ini merupakan istilah yang mengikat dan harus digunakan serta dimaknai sesuai dengan kehendak Asy-Syari’ (Allah dan Rasul-Nya). Istilah syariah tidak boleh diganti dengan sebutan lain yang tidak dinyatakan di dalam nas. Pasalnya, penetapan istilah atau sebutan tertentu di dalam nas memiliki tujuan dan makna yang tidak bisa diwakili oleh sebutan atau istilah lain. Penyebutan tentang keuntungan yang diperoleh dari menghutangkan, misalnya, disebut dengan riba. Istilah riba ini tidak bisa diganti dengan sebutan lain, seperti fa’idah (baca: bunga) atau ar-ribhu (keuntungan). Allah SWT berfirman:

ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ

Para pemakan riba tidak akan bangun kecuali seperti bangunnya orang yang dijungkalkan oleh setan (sempoyongan) karena disuap setan. Siksa itu karena (ketika di dunia) mereka mengatakan bahwa sesungguhnya jual-beli itu seperti riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan telah mengharamkan riba (QS al-Baqarah [2]: 275).

 

Dalam ayat ini orang-orang yang selalu bermuamalah dengan riba ingin menyamakan riba dengan jual-beli. Mereka bahkan menggunakan tashbih maqlub (penyerupaan yang dibalik). Seharusnya mereka mengatakan riba itu halal seperti jual beli. Namun, mereka  mengatakan jual-beli itu halal seperti riba. Ini dilakukan karena mereka sangat mengahalalkan riba sehingga seolah-olah riba itu lebih halal dari jual-beli. Dengan ungkapan itu mereka ingin  mengganti penyebutan keuntungan dari meminjamkan dengan istilah ar-ribhu sebagimana keuntungan jual-beli.

Contoh lain: Nabi saw. melarang kita menyebut orang munafik dengan kata sayyid. Dengan kata lain, istilah munafik tidak boleh diganti dengan istilah sayyid. Beliau bersabda:

لاَ تَقُولُوا لِلْمُنَافِقِ سَيِّدٌ فَإِنَّهُ إِنْ يَكُ سَيِّدًا فَقَدْ أَسْخَطْتُمْ رَبَّكُمْ عَزَّ وَجَلَّ

Jangan katakan ‘sayyid’ (tuan) kepada orang munafik. Sebab jika dia menjadi sayyid berarti kalian telah membuat murka Tuhan kalian (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi).

 

Kedua:  Istilah baru yang belum digunakan dalam nas (al-mushthalahat al-haditsah). Jika istilah baru ini mengandung makna yang diakui oleh syariah dan tidak bertentangan dengan syariah maka kita diperkenankan menggunakan istilah baru ini. Misal, istilah dustur yang maknanya undang-undang dasar atau qanun yang berarti undang-undang.

Dalam istilah-istilah para fuqaha banyak terdapat istilah baru, yang kemudian disebut dengan istilah syariah, karena istilah ini digunakan untuk menunjuk makna yang diakui syariah. Imam al-Bajuri dalam Hasyiah Ibnu Qasim (1/20) mengatakan:

وَقَدْ يَسْتَعْمِلُ أَهْلُ الْعِلْمِ في التَّعْرِيْفِ بِبَعْضِ الْمُصْطَلَحَاتِ الْحَادِثَةِ كَلِمَةَ الْمُصْطَلَحِ الشَّرْعِي، وَيُرِيْدُوْنَ بِهِ أَنَّهُ مِنْ كَلاَمِ الْفُقَهَاءِ مَثَلاً وَهُوَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَتَلَقّىً منَ الشَّرْعِ إِلاَّ أَنَّهُ اِصْطَلاَحُ حَمْلَةِ الشَّرْعِ

Kadang para ulama, ketika mendefinisakan beberapa istilah baru, menggunakan kata “istilah syar’i”. Padahal yang mereka maksudkan adalah perkataan fuqaha, misalnya. Istilah ini meski tidak diterima dari syariah (baca: berasal dari nas), ia merupakan istilah para pengemban syariah.

 

Jika istilah baru ini bertentangan dengan nas atau memiliki makna yang bertentangan dengan nas maka istilah ini tidak boleh digunakan. Misal, istilah demokrasi digunakan untuk menyebut musyawarah. Pasalnya, demokrasi—yang subtansinya adalah kedaulatan rakyat—adalah  istilah khas yang memiliki makna yang bertentangan dengan Islam.

 

Tiga Jenis Makna

Para ulama telah membagi istilah syariah menjadi tiga bagian:

 

  1. Haqiqah Lughawiyah.

Haqiqah Lughawiyah adalah kata/istilah yang digunakan berdasarkan makna bahasanya, yaitu makna yang dibuat oleh orang Arab sejak awal. Misal: kata shalat dimaknai dengan berdoa; zakat dimaknai dengan menyucikan; riba dimaknai pertumbuhan; jihad dimaknai denagn bersungguh-sungguh; dsb.

Haqiqah Lughawiyah bisa digunakan dengan syarat tidak bertentangan dan tidak mengeliminasi haqiqah syar’iyyah. Al-Quran sendiri sering menggunakan haqiqah lughawiyah dari beberapa kata/istilah. Misalnya dalam firman Allah SWT:

وَإِن جَٰهَدَاكَ لِتُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَآۚ ٨

Jika keduanya memaksa kamu menyekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak kamu mengerti maka jangan kamu menaati keduanya (QS al-ankabut 29]: 8).

 

Kata jahadaka dalam ayat ini, yang merupakan akar kata dari jihad, dimaknai dengan makna bahasanya, yaitu bersungguh-sungguh (dalam memaksa kamu).

 

  1. Haqiqah ‘Urfiyyah.

Haqiqah ‘Urfiyah adalah suatu lafal/istilah yang digunakan berdasarkan makna ‘urf (tradisi, konvensi)-nya, yakni makna yang biasa digunakan oleh bangsa Arab). Makna ini berbeda dengan makna secara bahasa. Contohnya kata ad-dabbah. Secara lughawiyyah maknanya adalah setiap hewan yang melata. Adapun secara ‘urfiyyah maknanya adalah hewan yang berkaki empat.

 

  1. Haqiqah Syar’iyah.

Haqiqah Syar’iyah adalah suatu kata/istilah yang digunakan berdasarkan makna yang ditetapkan syariah, berdasarkan nas-nas syariah baik secara mantuq ataupun mafhum. Contohnya kata shalat. Secara lughawiyyah kata shalat ini diartikan berdoa. Kemudian kata shalat digunakan untuk menunjuk pada makna shalat sebagimana yang biasa kita lakukan, yakni aktivitas ibadah ritual yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Dengan demikian kata shalat dengan makna baru ini (yakni makna syariah) disebut dengan haqiqah syar’iyyah.

Ketika kita menemukan istilah syariah baik di dalam al-Quran maupun as-Sunnah, maka yang pertama harus kita cari dan kita gunakan adalah makna syariahnya. Kita tidak boleh beralih dari makna syariah ke makna bahasa kecuali jika ada qarinah (indikator) yang mengharuskan penggunaan bahasa. Kata jihad, misalnya, harus dimaknai sebagai haqiqah syar’iyyah, yaitu berperang di jalan Allah, baik secara langsung atau tidak langsung. Semua kata jihad di dalam ayat-ayat madaniyah adalah haqiqah syar’iyyah. Maknanya adalah perang.

Jika kita tidak mungkin mengartikan jihad dengan makna perang di jalan Allah, baru kita maknai jihad dengan makna bahasanya, yaitu bersungguh-sungguh untuk meraih suatu tujuan. Semua kata jihad dan derivatnya di dalam ayat-yata makiyah adalah haqiqah lughawiyyah. Jihad dalam ayat-ayat tersebut dimaknai secara bahasa karena sebelum hijrah dari Makkah ke Madinah belum ada perintah berperang.

 

Mendudukkan Istilah Kafir

Kata kafir adalah istilah syariah yang termaktub di dalam nas syariah dan telah dijelaskan madlul (makna)-nya dengan gamblang dan jelas, tidak ada perbedaan. Kata kafir termasuk kata yang muhkam, bukan mutasyabih yang membuka peluang berbeda penafsiran. Allah dan Rasul-Nya sendiri menyebut orang yang memeluk agama selain Islam dengan  sebutan kafir secara konsisten baik ketika di Makkah maupun di Madinah.

Dalam ayat Makiyyah pada Surah al-Kafirun Allah SWT berfirman:

قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡكَٰفِرُونَ  ١

Katakanlah (hai Muhammad), “Wahai  orang-orang kafir.” (QS al-Kafirun [109]: 1).

 

Dalam Surat al-Bayinnah Allah SWT berfirman:

إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمۡ شَرُّ ٱلۡبَرِيَّةِ  ٦

Sungguh orang-orang kafir dari kalangan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan kaum musyrik (kaum paganis) pasti berada di Neraka Jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Mereka adalah sebutuk-buruknya makhluk (QS al-Bayyinah [98]: 6).

 

Menurut jumhur mufassir surah ini adalah Makiyyah.

Dalam Surat al-Maidah ayat 72 dan 73 Allah SWT berfirman:

لَقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡمَسِيحُ ٱبۡنُ مَرۡيَمَۖ ٧٢

Sungguh telah kafir orang-orang yang mengatakan bahwa Allah itu adalah al-Masih putra Maryam (QS al-Maidah [5]: 72).

لَّقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ ثَالِثُ ثَلَٰثَةٖۘ ٧٣

Sungguh telah kufur orang-orang yang mengatakan bahwa Allah itu adalah salah satu dari tiga unsur (tuhan) (QS al-Maidah [5]: 73).

 

Karena itu sungguh sangat aneh hamba yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya jika enggan menggunakan istilah yang telah dipopulerkan oleh Allah dan Rasul-Nya, kemudian lebih cenderung pada istilah baru yang diada-adakan, tidak jelas dalil dan wajh al-istinbanth-nya.

Adapun terkait dengan panggilan atau seruan kepada orang kafir saat berkomunikasi, kita bisa menyebut mereka dengan panggilan kafir sebagai mana dalam Surat al-Kafirun; menyebut mereka dengan sebutan agama mereka secara spesifik seperti, “Wahai, Ahlul Kitab”; menyebut kabilah mereka seperti sebutan Yahudi Bani Auf, Yahudi Bani Najar, dll; menyebut mereka dengan jabatan kebesaran mereka, seperti dalam surat Nabi saw. kepada Heraqlius.

Meski demikian, sebutan-sebutan itu bukan berarti kita melegalkan dan membenarkan atau membiarkan kekafiran mereka.

 

Menghadapi Perang Istilah

Untuk menghadapi perang istilah, kaum Muslim harus melakukan setidaknya tiga perkara: Pertama, memiliki kesadaran bahwa pihak musuh akan selalu berupaya agar kaum Muslim jauh dari Islam dan mengikuti agama serta perilaku mereka (QS al-Baqarah [2]: 120). Meraka akan selalu berupaya dengan berbagai cara agar umat Islam kembali pada kekufuran. Peperangan tidak akan berhenti; akan terus-menerus berlangsung sepanjang masa (QS al-Baqarah [2]: 117).

Kedua, memahami masalah penggunaan istilah dan makna-maknanya. Beristilah (menggunakan istilah tertentu dan memaknainya) adalah bagian dari agama. Istilah yang ditetapkan oleh Islam melalui nas harus menjadi istilah yang dipopulerkan oleh umat Islam, tidak boleh diganti dengan istilah lain.

Ketiga, berjuang secara serius untuk mewujudkan institusi penjaga agama dari para perusak, yakni Khilafah Islamiyah. Khilafah, sebagaimana didefinisikan oleh Imam al-Mawardi, adalah instistusi pengganti kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia. Khilafah tidak akan membiarkan istilah-istilah asing tersebar yang ditujukan untuk menggantikan istilah-istilah syar’i karenabisa menjadi bahaya besar yang akan mengancam keberlangsungan dakwah dan penegakkan syariah.

WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Yasin Muthohar]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

15 − 7 =

Back to top button