Analisis

Ramadhan: Totalitas Ketaatan

Puasa Ramadhan, juga aturan-aturan lain yang Allah syariatkan untuk manusia, pada hakikatnya bertujuan untuk membentuk manusia menjadi hamba-hamba-Nya yang bertakwa. QS al-Baqarah ayat 21 yang berbicara tentang ibadah, QS a-Baqarah ayat 179 yang berbicara tentang pidana, QS al-Baqarah ayat 183 yang berbicara tentang puasa,  Qs al-An’am ayat 153 yang berbicara tentang jalan yang lurus dan menyimpang, QS al-Baqarah ayat 63 dan QS al-A’raf ayat 71 yang berbicara tentang umat terdahulu, semuanya diakhiri dengan firman-Nya:

لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

Agar kamu bertakwa.

 

Ada tiga level ketakwaan. Level paling dasar bisa diperoleh seseorang jika dia sanggup menjaga hati dan anggota tubuh dari semua dosa dan perkara-perkara haram. 1  Tidak hanya selama Ramadhan. Namun, di semua bulan. Tidak hanya dalam hal ibadah, namun dalam semua hal. Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

اتَّقِ اللهِ حَيْثُمَا كُنْتَ

Bertakwalah engkau kepada Allah kapan pun, dimana pun dan dalam kondisi bagaimana pun.”2

 

Hanya saja, kita sekarang menjumpai banyak kontradiksi. Ketakwaan seolah-olah hanya dituntut saat Ramadhan saja. Itu pun dibatasi pada jam-jam tertentu. Pada jam lain  seolah-olah tidak perlu ketakwaan lagi.3 Juga hanya di  bidang tertentu. Di bidang lain seperti pidana, ekonomi, politik dan pemerintahan  justru ketakwaan dianggap berbahaya.

 

Sekularisme: Akar Kontradiksi

Semua kontradiksi yang terjadi bermuara pada paham sekularisme yang masih kuat tertancap di tengah masyarakat. Sekularisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama. Agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan. Adapun hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.4

Dari sisi konsep saja sudah kontradiksi. Bagaimana mungkin seseorang mengaku beriman dan yakin bahwa Allah Mahatahu, Mahaadil, hukum Allah dia anggap yang terbaik; namun di sisi lain dia menolak hukum Allah dalam bidang sosial kemasyarakatan? Seolah-olah Allah hanya tahu urusan privat, namun bodoh dalam urusan publik?

Tidak hanya level individu. Sekularisme sudah menjadi haluan negara. Ini diperparah dengan sepak terjang elit politik sekuler radikal (radical secularists) yang menurut Rand Corporation memiliki ciri-ciri: berpandangan bahwa poligami itu dilarang, hukum pidana Islam adalah kekeliruan karena itu tidak boleh dilegitimasi, jilbab adalah simbol keterbelakangan sehingga wanita seharusnya tidak usah memakainya, agama dipandang sebagai kekuatan kemunduran (retrograde) dalam masyarakat dan harus dihapuskan, dst.5

Karena itu tidak aneh ketika dalam tes wawancara pegawai KPK ditanya ‘bersedia lepas jilbab?’ Jika tidak bersedia, akan dianggap egois.6 Dengan alasan seragam, 21 sekolah di Bali melarang jilbab.7 Lalu dengan alasan seni, foto Tara Basro tanpa busana dianggap sah-sah saja.8 Mengapa hal ini terjadi? Jawabnya: sekularisme! Tuhan dianggap tidak berhak mengurus urusan publik. Manusia dianggap lebih pintar dalam mengatur hidup mereka sendiri.

 

Hakikat Ramadhan

Ketakwaan yang ingin diwujudkan dalam ibadah puasa Ramadhan dan juga ibadah lain –sebagaimana kami sampaikan sebelumnya –bukanlah sekadar dalam aspek ritual, tetapi mencakup seluruh aspek; sosial, ekonomi, budaya, politik, hukum, pemerintahan, dll. Ini karena perintah dan larangan Allah SWT memang mencakup semua aspek tersebut. Bukti keimanan seseorang adalah tidak akan memilih-milih: yang dirasa berat, ditinggalkan; yang mudah dan menguntungkan dilaksanakan. Allah SWT berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ ٣٦

Tidaklah patut bagi laki-laki Mukmin maupun perempuan Mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (QS al-Ahzab [33]: 36).

 

Pada akhir ayat, Allah SWT menegaskan:

وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلٗا مُّبِينٗا  ٣٦

Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata (QS al-Ahzab [33]: 36).

 

Puasa melatih seseorang untuk taat kepada perintah Allah tanpa menimbang untung rugi, tanpa protes, tanpa manipulasi. Bagaimana tidak? Wanita haid, walau hanya  semenit sebelum matahari terbenam, tetap batal puasanya tanpa protes atau merasa dirugikan. Orang yang puasa juga tidak akan memanipulasi puasanya, misalnya dengan menggeser waktunya ke waktu malam; misalnya dari matahari terbenam sampai terbit, asal jumlah jam dan menitnya sama.

Karena itu mestinya dalam hal di luar puasa pun demikian. Apa yang Allah haramkan akan ditinggalkan tanpa ditawar-tawar. Apa yang Dia wajibkan akan dilaksanakan sekuat kemampuan.

 

Kebutuhan Akan Khilafah

Ketakwaan, yakni ketaatan secara total pada syariah Allah SWT merupakan bukti keimanan dan manifestasi kecintaan kepada-Nya. Takwa juga merupakan kebutuhan manusia itu kepada Allah SWT. Sebaliknya, Allah sama sekali tidak membutuhkan ketaatan makhluk-Nya. Imam Ibnu al-Qayyim menyatakan:

[وَالْحَاجَة (إِلَى الشَّرِيْعَة أَشَدُّ مِنَ الْحَاجَةِ) إِلَى التَنَفُّسِ فَضْلًا عَنْ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ]

Kebutuhan manusia pada syariah lebih besar daripada kebutuhan pada bernafas, apalagi daripada sekadar makan dan minum.9

 

Hal itu karena bencana yang terjadi tanpa bisa bernafas, makan dan minum hanyalah kematian fisik. Sebaliknya, tanpa syariah bencana yang terjadi menimpa fisik dan hati sekaligus adalah bencana permanen.

Hanya saja, pelaksanaan hukum syariah secara kâffah, hanya bisa terwujud dengan adanya Khilafah/Imamah. Ini karena ada hukum, semisal hudûd, yang bukan kapasitas individu untuk menerapkannya. Imam ar-Razi menyatakan:

وأجمعت الأمة على أنه ليس لآحاد الرعية إقامة الحدود على الجناة، بل أجمعوا على أنه لا يجوز إقامة الحدود على الأحرار الجناة إلا للإمام

Umat telah berijmak (berkonsensus) bahwa tidak ada hak bagi individu rakyat untuk menegakkan hudûd terhadap pelaku kriminal. Bahkan mereka berijmak bahwa tidak boleh menegakkan hudûd terhasdap pelaku kriminal yang merdeka kecuali Imam. 10

 

Imam dalam ungkapan di atas adalah Khalifah. Muhammad Najib al-Muthî’i dalam takmilah (catatan pelengkap) yang ia buat untuk kitab Al-Majmû’ Syarh Al-Muhadzdzab  menyatakan:

والامامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة، والمراد بِهَا الرِّيَاسَةُ العامة في شئون الدين والدنيا

Imamah, Khilafah dan Imaratul Mukminin adalah sinonim. Yang dimaksud dengan istilah itu adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan agama dan dunia.11

 

Karena itu pula Imam Ibnu Katsir (w. 774) menyatakan tidak boleh ada dua imam atau lebih:

فَأَمَّا نَصْبُ إِمَامَيْنِ فِي الْأَرْضِ أَوْ أَكْثَرَ فَلَا يَجُوزُ

Adapun pengangkatan dua imam atau lebih di muka bumi maka hal itu tidak boleh.12

 

Ini menegaskan bahwa ungkapan imam tersebut bermakna khalifah.

Karena hajat pada syariah lebih penting daripada bernafas, juga karena kewajiban ini tidak akan terlaksana sempurna tanpa adanya Imam/Khalifah, maka adanya Khilafah adalah kewajiban mendesak agar hukum syariah bisa diterapkan secara kâffah.

 

Ramadhan Era Rasulullah saw. dan Khilafah

Pada era Rasulullah saw. dan Khilafah Islam, Ramadhan bukanlah bulan bagi kaum Muslim untuk bermalas-malasan. Sebaliknya, mereka makin meningkatkan aktivitas ketaatan, termasuk dalam jihad fi sabilillah.

Pada 17 Ramadhan tahun 2 H, saat pertama kali kaum Muslim menjalankan ibadah puasa wajib, tiga ratusan tentara Islam berhasil melibas seribuan kekuatan kaum kafir dalam Perang Badar al-Kubra.

Pada Ramadhan tahun ke 8 H, Rasulullah saw. juga membawa 10 ribu kaum Muslim menempuh perjalanan 450-an km  dari Madinah menuju Makkah dalam rangka berjihad. Lalu terjadilah penaklukan Kota Makkah. Ibnu Abbas ra. berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ فِي رَمَضَانَ مِنَ الْمَدِينَةِ وَمَعَهُ عَشَرَةُ آلَافٍ، وَذَلِكَ عَلَى رَأْسِ ثَمَانَ سِنِينَ وَنِصْفٍ مِنْ مَقْدَمِهِ الْمَدِينَةَ، فَسَارَ هُوَ وَمَنْ مَعَه مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَى مَكَّة يَصُومُ وَيَصُومُونَ حَتَّى بَلَغَ الْكَدِيدَ وَهُوَ مَاء بَيْنَ عُسْفَانَ وَقُدَيْدٍ أَفْطَر وَأَفْطَرُوا

Sungguh Nabi saw. pernah keluar pada bulan Ramadhan dari Madinah bersama sepuluh ribu orang. Itu terjadi pada tahun kedelapan setengah sejak beliau tiba di Madinah. Beliau berangkat bersama kaum Muslim menuju Makkah dalam keadaan beliau dan mereka berpuasa.  Sesampainya di daerah al-Kadid, yakni sumber mataair antara ‘Usfan dengan Qudaid, beliau dan mereka berbuka.13

 

Di era Khilafah, pada Ramadhan tahun 91 H, kaum Muslim melakukan penaklukan daerah semenanjung Liberia, yaitu Spanyol dan Portugis yang dulu lebih dikenal sebagai Andalusia.

Pada Ramadhan tahun 584 H, Shalahuddin dan pasukannya mengusir pasukan salib.

Pada Ramadhan tahun 658 H, Malik Mudzaffar mengalahkan Tatar dalam Perang ‘Ain Jalut.

Puasa tidak menjadi alasan bagi mereka untuk meninggalkan aktivitas jihad ini. Memang sebagian mereka boleh berbuka dan membatalkan puasa jika kondisinya menuntut demikian. Namun, sabda Nabi saw. ini justru melecut semangat mereka:

مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيل الله بَعَّدَ الله وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا

Siapa saja yang berpuasa satu hari dalam perang di jalan Allah,14 niscaya Allah menjauhkan dirinya dari neraka selama tujuh puluh tahun. 15

 

Ramadhan adalah bulan al-Quran. Al-Quran adalah kitab terbaik yang diturunkan kepada Nabi terbaik lewat parantaraan malaikat terbaik. Al-Quran akan menjadikan umat ini menjadi umat terbaik jika umat mau menerapkan dan mendakwahkan isinya.  Qatadah menceritakan bahwa suatu ketika Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. sedang melakukan ibadah haji. Ia melihat adanya gejala hidup santai dan kehidupan yang menyenangkan pada manusia. Lalu beliau membacakan firman Allah SWT:

كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ ١١٠

Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, melakukan amar makruf nai mungkar, dan mengimani Allah (QS Ali Imran [3]: 110).

 

Kemudian beliau berkata:

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَكُون مِنْ هَذِه الْأُمَّة فَلْيُؤَدِّ شَرْطَ الله فِيهَا

Siapa yang ingin dirinya termasuk golongan umat terbaik ini, hendaklah ia menunaikan syarat yang ditetapkan oleh Allah di dalamnya.16

 

Karena itu, saat hukum-hukum al-Quran ini tidak diterapkan, selayaknya umat Islam tidak mencukupkan diri dengan shalat, puasa dan tadarus al-Quran. Umat punya tanggung jawab mengamalkan dan mendakwahkan al-Quran agar dapat betul-betul diterapkan dalam kehidupan. Mencukupkan diri dengan menghapal dan tadarrus, jika lalai dari mengamalkannya, menurut Imam Ghazali, itu adalah salah satu bentuk ketertipuan yang layak mendapatkan sanksi. 17 Na’ûdzu bilLâh. [Muhammad Taufik NT]

 

Catatan kaki:

1        Ibnu al-Qayyim Al-Jauziyah, Al-Fawâid, Cet. II. (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1973), h. 31-32.

2        Abu Isa Muhammad bin Isa bin Sauroh At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Pentahkik. Ahmad Muhammad Syakir dan Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Cet. III. (Mesir: Musthafa al-Bâbi, 1975), Juz 4, h. 355; Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal As-Syaibani, Musnad Al-Imam Ahmad Bin Hanbal, Pentahkik. Syu’aib al-Arnauth dkk (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2001), Juz 35, h. 284; ’Athiyyah bin Muhammad Salim, Syarh Al-Arba’in an-Nawawiyyah (Maktabah Syamilah, t.th), Juz 42, h. 8, حيثما/ : ‡‏ç‏ى‏ژ‏ ك‏à‏ن‏ـ‏ژ‏ه‏، ي‏—‏ـ‏î‏ه‏ ك‏à‏°‏م‏ژ‏ه‏ …  ي‏ƒ‏َ‏ہ‏ژ‏ غ‏ô‏ش‏ن‏ژ‏ غ‏è‏–‏ ƒ‏ٌ‏: ث‏à‏ً‏ ƒ‏َ‏”‏ £‏ژ‏ك‏”‏.

3        “Aturan Buka Tutup Tempat Hiburan Malam Selama Ramadhan 2021 Di Batam, Tutup 3 Hari Di Awal – Tribunbatam.Id,” diakses 7 March 2022, https://batam.tribunnews.com/2021/04/12/aturan-buka-tutup-tempat-hiburan-malam-selama-ramadhan-2021-di-batam-tutup-3-hari-di-awal.

4        “FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 Tentang PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA,” 28 July 2005, h. 97.

5        Cheryl Benard, Civil Democratic Islam: Partners, Resources, and Strategies (Santa Monica, CA: RAND, National Security Research Division, 2003), h. 9-11.

6        “Pegawai KPK Ditanya ‘Bersedia Lepas Jilbab?’, Jika Tidak Dianggap Egois,” diakses 16 October 2021, https://news.detik.com/berita/d-5561671/pegawai-kpk-ditanya-bersedia-lepas-jilbab-jika-tidak-dianggap-egois.

7        “Demi Seragam, 21 Sekolah Di Bali Larang Jilbab | Republika Online Mobile,” diakses 25 January 2021, https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/n1t3kd.

8        “Menkominfo: Foto Tara Basro Tanpa Busana Tak Langgar UU ITE | Republika Online,” diakses 7 March 2022, https://www.republika.co.id/berita/q6psnm414/menkominfo-foto-tara-basro-tanpa-busana-tak-langgar-uu-ite.

9        Ibnu al-Qayyim Al-Jauziyah, Miftâh Dâr Al-Sa’âdah (Riyadh: Dâr Ibnu ’Affân, 1996), Juz 2, h. 318.

10      Fakhr al-Dîn Mu%ammad ibn »Umar Al-Râzî, Mafâtîh Al-Ghaib (Tafsîr al-Kabîr), Cet. III. (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, 1420), Juz 11, h. 356.

11      Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab (Ma’a Takmilah al-Subki Wa al-Muthi’i) (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), Juz 19, h. 191.

12      Abu al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsîr Al-Qur’ân al-Adzîm (Dâr Thayyibah, 1999), Juz 1, h. 222.

13      Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Pentahkik. Muhammad Zuhair bin Nashir, Cet. I. (Dâr Tûq al-Najâh, 1422), Juz 5, h. 146; As-Syaibani, Musnad Al-Imam Ahmad Bin Hanbal, Juz 5, h. 208.

14      Yakni jika orang tersebut kuat berpuasa dan tidak memudharatkan dengan puasanya itu, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Cet. II. (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, 1392), Juz 8, h. 33.

15      Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 4, h. 26; Muslim bin Hajjâj, Shahih Muslim, Pentahkik. Muhammad Fuad Abd al-Baqi (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, t.th), Juz 2, h. 808.

16      Katsir, Tafsîr Al-Qur’ân al-Adzîm, Juz 2, h. 103.

17      Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ ’Ulumiddin (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th), Juz 3, h. 401–402.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

15 + sixteen =

Back to top button