Agar Anak Tak Materialistis
Generasi materialistis atau masyarakat biasa menyebut generasi matre. Mereka adalah anak-anak muda yang menjadikan materi sebagai ukuran kebahagiaan dan kesuksesannya. Lihatlah tren flexing mereka di berbagai media sosial. Berfoto dengan barang-barang mewah, sharing gambar liburan di berbagai tempat wisata, pamer pakaian dan aksesori bermerk, atau kulineran di berbagai tempat jajan.
Orientasi hidup materialis membuat anak-anak muda ini menjadikan tujuan hidupnya semata-mata mencari uang. Mereka sekolah, kuliah, hanya agar bisa mendapat kerja dan mencari uang. Sebagian mereka mencari jalan mendapat uang tanpa mau bekerja keras. Banyak di antara mereka menempuh jalan yang mudah seperti menjadi youtuber, selebgram, gamer, atau artis. Tak segan mereka membuat konten-konten yang bisa menarik banyak viewers, termasuk membuat konten-konten yang menyimpang seperti prank, makan babi baca basmalah, atau konten vulgar yang jauh dari akhlak Islam.
Yang lebih parah, tidak sedikit yang tergiur iming-iming investasi bodong dan judi online. Jika rugi atau kalah, mereka menutupnya dengan pinjaman online. Akhirnya, mereka terjerat dengan bunga berbunga dari pinjol. Bahkan beberapa waktu lalu, kasus pembunuhan mahasiswa UI oleh kakak kelasnya sendiri ternyata motifnya adalah mengambil harta korban untuk membayar pinjol setelah pelaku mengalami kerugian dalam investasi kripto.
Ayah dan Bunda, tentu kita tidak ingin anak-anak kita bergaya hidup materialistis seperti ini. Sebagai seorang Muslim, tujuan hidup kita adalah beribadah kepada Allah, mencari ridha-Nya (QS adz Dzariyat [51]: 56-58). Hal ini juga yang kita inginkan menjadi tujuan hidup anak-anak kita. Karena itu kita harus memahami mengapa gaya hidup materialis ini bisa melanda generasi muda dan bagaimana kita bisa menghindarkan anak-anak kita darinya.
Munculnya Gaya Hidup Materialistis
Materialistis merupakan sikap seseorang yang memandang kebahagian atau pencapaian dari sisi materi semata. Sikap ini lahir dari penerapan sistem kapitalisme di dunia. Kapitalisme, yang menjadikan kebebasan individu sebagai asasnya, telah membebaskan manusia untuk memiliki harta dan menggunakan hart aitu sekehendak hatinya. Paham ini juga menolak agama turut campur dalam kehidupan sehingga pengelolaan harta adalah murni urusan individu manusia.
Ayah dan Bunda, paham materialistik bertentangan dengan Islam. Sebagai agama yang sempurna Islam telah mengatur bagaimana cara memperoleh harta dan bagaimana pembelanjaannya. Keduanya harus mengambil jalan yang halal. Misalkan memperoleh harta dengan berdagang, bekerja, kerjasama bisnis, waris, hibah dan hadiah adalah halal. Sebaliknya, mencuri, menipu, korupsi, suap, riba, merampok dan sejenisnya adalah haram. Dalam hal pemanfaatan harta, kita dilarang membelanjakan pada yang haram seperti membeli minuman keras dan narkoba, berjudi serta bermewah-mewahan.
Gaya hidup materialistis ternyata juga berbahaya bagi kesehatan mental Ananda. Dalam sebuah hasil penelitian terbaru yang dirilis oleh Prof. Aric Rindfleisch dari Illinois State University AS, terungkap bahwa sifat materialistik atau terlalu berlebihan dalam mencintai harta akan memberikan sejumlah efek negatif.
Rindfleisch menyatakan bahwa orang-orang yang materialistis, ketika berhadapan dengan persoalan kehidupan yang parah, seperti ketidaksesuaian rencana dengan hasil yang didapat, maka mereka akan cenderung lebih sulit menerima kenyataan dan mudah stres. Kondisi ini mengakibatkan orang tersebut untuk melakukan “maladaptive consumption”, yaitu ketidakrasionalan pola konsumsi. Misalnya, dengan membeli barang yang tidak perlu atau tidak dibutuhkan, maupun mengkonsumsi barang dan jasa yang mengancam kehidupannya. Kesabaran terhadap tekanan hidup menjadi berkurang. Ia akan memiliki kecenderungan untuk menjadi paranoid, terutama terhadap kematian. Rasa takut akan mati sangat menghantui dirinya.
Dengan kata lain, perilaku materialisme akan menyebabkan ketidaktenangan hidup. Orang akan lebih mudah gelisah dan resah karena tidak pernah merasa cukup dengan apa yang dia miliki.
Karena itu, Ayah dan Bunda, bagaimana kita mendidik Ananda agar tidak terseret arus materialistik? Berikut beberapa tipsnya.
- Bangun orientasi hidup yang benar.
Membangun orientasi hidup anak yang benar merupakan kunci dari pendidikan. Jelaskan bahwa kita hidup adalah dalam rangka beribadah kepada Allah dan mencari keridhaan-Nya semata. Ajarkan kepada anak setiap hendak melakukan sesuatu, ia selalu mempertimbangkan mana yang membuat Allah ridha? Bukan keuntungan materi saja yang harus dipertimbangkan.
- Membentuk cara pandang yang benar terhadap harta.
Anak harus kita pahamkan bahwa harta bukanlah tujuan hidup maupun standar kebahagiaan. Harta tidak lain hanya sarana yang Allah berikan untuk kita menjalankan ibadah dengan sebaik-baiknya. Bagaimana dengan harta kita bisa membayar zakat, menunaikan haji dan umrah, bersedekah kepada orang yang membutuhkan, mencari pahala yang terus mengalir dari sedekah jariyah, memberi nafkah keluarga, menjaga diri agar tidak meminta-minta, dan meraih berbagai kebaikan lainnya di dunia dan sebagai bekal di akhirat.
Ingatkan anak akan hadis berikut:
مَن كَانَ يُرِيدُ الحَيَاة الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَيُبْخَسُونَ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي اْلأَخِرَة إِلا النَّارَ وَحَبِطَ مَاصَنَعُوا فِيهَا وَباطِل مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ
Rasulullah saw. pernah bersabda, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau menyangka karena banyak harta, orang menjadi kaya?” Saya (Abu Dzar) menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Engkau menyangka, karena harta sedikit, orang menjadi miskin?” Saya (Abu Dzar) berkata, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya kekayaan adalah kecukupan dalam hati. Kemiskinan adalah miskin hati.” (HR Hakim dan Ibnu Hibban).
Allah SWT mengancam orang-orang yang lebih mementingkan dunia dalam firman-Nya:
مَن كَانَ يُرِيدُ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيۡهِمۡ أَعۡمَٰلَهُمۡ فِيهَا وَهُمۡ فِيهَا لَا يُبۡخَسُونَ ١٥ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَيۡسَ لَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ إِلَّا ٱلنَّارُۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَٰطِلٞ مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ١٦
Siapa saja yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami beri mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Hud [11]: 15-16).
Nabi saw. juga memperingatkan, “Siapa saja yang menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya maka Allah akan membuat perkaranya berantakan, kemiskinan berada di depan kedua matanya dan dunia tidaklah datang, kecuali yang telah ditentukan bagi dirinya saja. Siapa saja yang menjadikan akhirat (sebagai) niatnya, niscaya Allah akan memudahkan urusannya dan menjadikan rasa kecukupan tertanam dalam hatinya dan dunia akan mendatanginya dan dunia itu remeh” (HR Ibnu Majah).
Dengan demikian, Ayah dan Bunda harus mengajarkan kepada anak cara-cara yang halal untuk mendapatkan harta serta bagaimana pengelolaan yang diperbolehkan syariah.
- Membangun iman terhadap rezeki Allah.
Seorang manusia lahir dengan rezeki yang sudah Allah tetapkan bagi dirinya. Rezekinya tidak mungkin salah atau tertukar dengan orang lain. Rasulullah saw. bersabda, “Kemudian diutuslah Malaikat kepada dia untuk meniupkan ruh di dalamnya. Dia pun diperintahkan untuk menulis empat hal; yaitu menuliskan rezekinya, ajalnya, amalnya serta celaka atau bahagianya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Beliau pun bersabda, “Kalaulah anak Adam lari dari rezekinya sebagaimana ia lari dari kematian, niscaya rezekinya akan mengejar dia sebagaimana kematian itu mengejar dirinya.” (HR Ibnu Hibban).
Beliau pun bersabda, “Andai seluruh manusia bersepakat untuk menghalangi rezeki yang telah Allah SWT tetapkan untuk Anda, maka pastilah mereka akan gagal. Sebaliknya, sekarang andai seluruh manusia bersepakat untuk memberi Anda sesuatu yang tidak Allah SWT tetapkan untuk Anda, maka pastilah mereka tidak akan mampu melakukan demikian. Ya Allah, tidak ada satu pun yang mampu mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak pula ada satupun yang mampu memberi sesuatu yang Engkau cegah.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hadis-hadis ini memastikan bahwa rezeki kita sudah ditetapkan. Karena itu kita hanya dituntut menjalankan apa yang menjadi sebab datangnya rezeki, yaitu bekerja, dengan pekerjaan yang halal, yang tidak menghalangi kita untuk menunaikan kewajiban kita kepada Allah.
- Memberikan keteladanan.
Ayah dan Bunda, tentu anak tidak bisa menjauh dari sikap materialistik jika orangtua justru mencontohkan demikian. Karena itu Ayah dan Bunda harus menahan diri untuk tidak bermewah-mewah. Jangan sampai selalu mengiming-imingi anak dengan hadiah yang bersifat materi atas prestasinya. Seperti ketika anak puasa Ramadhan, jangan janjikan uang sekian ribu perhari. Namun, sampaikan bahwa puasa itu balasannya dari Allah langsung. Allahlah Yang akan berikan balasan terbaik dan terbesar bagi anak. Ayah dan Bunda boleh jadi tidak bermaksud menjadikan anak materialistis. Namun, kebiasaan menjanjikan hadiah ini bisa membentuk jiwa materialistik pada anak.
- Mengajarkan pengendalian diri atas hawa nafsunya.
Ayah dan Bunda harus bisa membedakan mana permintaan anak yang harus segera dipenuhi dan mana yang bisa ditunda. Jangan sampai semua keinginan anak dituruti. Sumber utama penyakit materialistik adalah ketidakmampuan diri untuk mengendalikan hawa nafsu dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Untuk itu, jiwa anak harus dilatih agar memiliki kemampuan pengendalian diri yang baik. Salah satunya adalah melalui momentum ibadah puasa pada bulan suci Ramadhan dan puasa-puasa sunnah.
- Ajarkan anak bersyukur dan berbagi.
Jelaskan kepada anak bahwa harta kita adalah rezeki dari Allah dan selayaknya kita besyukur dengan anugerah-Nya. Cara bersyukur terbaik adalah menjadikan harta yang tersebut menambah ketaatan kita kepada Allah dan bermanfaat bagi kita dan bagi orang lain, bagi dunia kita dan akhirat kita.
Penutup
Inilah beberapa cara yang bisa Ayah dan Bunda tempuh untuk menjauhkan anak dari sikap materialistik. Tentu masih banyak yang lain seperti pengontrolan media sosial, pendidikan berbasis akidah Islam, dan penerapan sistem sanksi.
Karena itulah dalam hal ini, keluarga tetap membutuhkan pada institusi yang lebih besar yang mampu memberikan penjagaan secara semurna dengan penerapan syariah secara kaaffah. Institusi tersebut tentu Negara Khilafah Islamiyah. [Arini Retna]