Baiti Jannati

Menumbuhkan Jiwa Berkorban Pada Anak

Allah SWT berfirman:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡيَ قَالَ يَٰبُنَيَّ إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلۡمَنَامِ أَنِّيٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Tatkala anak itu sampai (pada umur yang cukup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Anakku, sungguh aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Karena itu pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab, “Ayah, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar (QS ash Shaffat [37]: 102).

 

Ayat ini mengingatkan kita pada pelaksanaan ibadah kurban.  Nabi Ibrahim  as. yang sudah sekian lama mendambakan hadir-nya keturunan. Ia akhirnya dikaruniai seorang putra bernama Ismail. Namun, setelah sang putra mencapai usia remaja, Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim as. untuk menyembelihnya. Keduanya segera bergegas melaksanakan perintah Allah. Tak tampak sama sekali keraguan. Apalagi keengganan atau penolakan. Keduanya dengan ikhlas menunai-kan perintah Allah SWT meski harus mengorbankan sesuatu yang paling dia cintai. Ibrahim rela kehilangan putranya. Ismail tak keberatan kehilangan nyawanya.

Kemudian Allah SWT menurunkan tanda kebesaran-Nya dengan menggantikan Nabi Ismail dengan seekor kibas yang besar. Allah SWT telah menyaksikan ketaatan dan kesabaran kedua nabi agung ini.  Peristiwa agung ini pun diabadikan  agar menjadi teladan bagi manusia sepanjang masa.

Ketundukan, pengorbanan dan keberhasilan mereka seharusnya menjadi teladan bagi kita. Sebagaimana Nabi Ibrahim as., kita pun menerima berbagai kewajiban yang harus dikerjakan. Siapa pun yang bersedia tunduk dan patuh menjalankan kewajiban itu, mereka adalah orang-orang yang selamat dan sukses. Sebaliknya, mereka yang membangkang adalah orang-orang yang gagal dan celaka.

Sungguh keberadaan ujian dan pengorbanan merupakan hal yang niscaya dalam setiap amal. Hanya saja, kita sebagai umat Muhammad sudah seharusnya memilih amal shalih, aktivitas yang bernilai pahala, baik ringan ataupun berat.  Jika amal tersebut merupakan kewajiban, kita harus menunaikannya walaupun berat. Rasulullah saw. dan para sahabatnya pun ketika menunaikan perintah Allah SWT tidak luput dari ujian dan dituntut adanya pengorbanan dalam menunaikannya.   Di sinilah keimanan dan ketaatan kita justru diuji. Apakah kita termasuk orang yang rela berkorban untuk menjalankan perintah-Nya atau orang yang enggan berjuang sambil mencari dalih pembenar.

Sejak dakwah digulirkan Rasulullah saw. hingga berdiri sebuah negara di Madinah, beliau memerlukan waktu sekitar 13 tahun. Selama itu pula beliau tak mengenal lelah untuk menyampaikan dakwah. Mulai dari akidah hingga kewajiban tunduk terhadap syariah. Demikian juga para sahabat. Dalam berdakwah, mereka juga kerap menerima berbagai ujian, fitnah dan tekanan, baik fisik maupun mental. Namun, semua itu tak pernah membuat mereka surut dan gentar. Mereka tetap tegar menyerukan kebenaran Islam.

Abu Dzarr al-Ghifari, misalnya, ketika mendakwahi kaum Quraisy justru mendapat siksaan yang berat. Beliau dipukuli hingga pingsan. Abdullah bin Mas’ud juga dikeroyok beramai-ramai oleh kafir Quraisy ketika membacakan al-Quran di kerumunan massa. Perlakuan yang tidak jauh berbeda juga diterima oleh para sahabat yang lain. Tidak sedikit pula yang gugur dalam berjuang, seperti Yasir dan istrinya.

Kegigihan dan pengorbanan mereka dalam berjuang pun menuai hasil. Allah SWT  mengganjar mereka dengan pahala, surga dan ridha-Nya. Mereka pun mendapat anugerah kemenangan di dunia, yakni tegaknya Daulah Islamiyyah di Madinah. Dari sanalah kemudian Islam menyebar ke seantero dunia. Kemuliaannya menerangi kehidupan. Dalam waktu singkat, manusia berbondong-bondong memasuki agama Islam.

Demikianlah   contoh  generasi terbaik umat ini pada masa lalu. Mereka bukan saja orang-orang yang siap dan rela berkorban, tetapi generasi yang selalu merindukan dan bahkan menikmati pengorbanan di jalan Allah lebih daripada mencintai diri mereka sendiri.

Bagaimana dengan kita dan generasi kita saat ini? Sudahkah kita mempertaruhkan kehidupan kita di jalan Allah?  Sudahkah kita mempersiapkan anak-anak kita menjadi generasi tangguh yang siap untuk berkorban untuk tegaknya Islam?

Jelaslah, Islam membutuhkan pengorbanan kita dan anak-anak kita sebagai generasi penerus. Semakin banyak kita berkorban, semakin dekat kita pada kemenangan. Sebaliknya, semakin sedikit kita berkorban, semakin jauh pula kita meraih kemenangan.  Sikap pengorbanan yang dilandasi keimanan dan ketaatan kepada Allah inilah yang harus kita tanamkan kuat pada diri kita dan keluarga kita, terutama anak-anak kita dan generasi muda saat sekarang. Di tangan merekalah sesungguhnya tergenggam masa depan umat sehingga lahir generasi-generasi harapan yang siap untuk terjun dalam perjuangan tegaknya kembali syariah Islam di muka bumi ini.

 

Mengajarkan Nilai Pengorbanan pada Anak

Keluarga merupakan pendidikan pertama bagi anak-anak sejak mereka mengenal dunia. Anak tumbuh dan berkembang pertama kali sebelum mengenal dunia luar di lingkungan keluarga. Karena itu, keluarga terutama orangtua, sebagai sekolah pertama bagi anak, memiliki peran penting dalam membentuk jiwa pengorbanan pada anak, yang dilandasi ketaatan kepada Allah.  Beberapa upaya yang dapat kita lakukan untuk menumbuhkan jiwa pengorbanan pada anak.

 

  1. Menanamkan aqidah atau nilai-nilai keimanan yang kuat pada anak.

Dari kisah pengorbanan keluarga Nabi Ibrahim, kita dapat mengambil banyak pelajaran. Salah satunya dalam mengajari anak untuk menjadi orang yang memiliki jiwa pengorban yang tinggi.  Nabi Ismail, pada usia belia, mampu mempersembahkan dirinya untuk disembelih ayahnya semata-mata untuk mentaati perintah Allah.  Ketaatan Nabi Ismail as. tentu tidak datang secara kebetulan. Itu lahir dari gemblengan ayah dan ibunya.  Penanaman akidah atau nilai-nilai keimanan yang kuat pada Ismail inilah yang memunculkan ketaatan dan melahirkan sikap untuk rela mengorbankan apapun, termasuk jiwanya, untuk Allah.  Inilah yang harus senantiasa kita tanamkan kepada anak-anak kita. Iman kepada Allah di atas segalanya sehingga hanya taat dan patuh pada apa yang diperintahkan oleh Allah.  Keimanan yang kuat menjadi pondasi yang kuat sehingga melahirkan jiwa pengorbanan yang kokoh.

 

  1. Memperkuat keyakinan tentang qodho dan qodar dalam jiwa anak.

Keyakinan yang kuat akan segala ketentuan dan ketetapan Allah akan membawa seseorang pada kepasrahan yang sempurna akan takdir Allah, tetapi tetap terus berusaha dan berkorban.  Ia yakin pengorbanan yang telah dikeluarkan akan membawa kebaikan selama berada di jalan-Nya.  Ia akan dengan ikhlas mengorbankan waktu, harta kesenangan bahkan jiwanya hanya untuk Allah serta siap untuk menanggung risiko apapun yang akan dipikulnya demi berjuang di jalan Allah.

 

  1. Sering menceritakan kisah teladan para nabi, Rasulullah Saw, sahabat, dan orang-orang saleh dalam berkorban. 

Peristiwa pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail merupakan kisah yang sangat nyata dan mudah dipahami oleh anak-anak kita.  Akan sangat mengena  jika kita sampaikan secara detil bagaimana fakta yang terjadi pada masa dulu.  Demikian halnya dengan ujian dan pengorbanan yang dialami oleh Rasulullaah saw. serta para shahabat Rasulullah saw.

Bisa juga menceritakan kisah  Sultan Salahuddin al-Ayyubi, generasi yang lebih belakangan. Begitu cintanya berkorban di jalan Allah, ia lebih menikmati kehidupan di kemah di tengah-tengah padang pasir ketimbang hidup enak di istana. Para sejarahwan menulis, “Setiap pembicaraan Sultan selalu berkisar di seputar jihad dan mujahidin. Ia selalu mengamati senjatanya dan lebih senang hidup di kemah di tengah-tengah padang pasir.”

Dengan kita sering menceritakan kisah-kisah teladan ini, akan tumbuh jiwa berkorban pada diri anak.

 

  1. Memberi keteladanan kepada anak.

Orangtua adalah orang yang paling dekat dengan anak. Ia adalah pendidik pertama bagi anak. Karena itu anak akan sering mengikuti apa yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya.  Karena itu pula orangtua memiliki peran penting dalam memberikan contoh yang baik bagi anak, termasuk pengorbanan. Diawali dengan memberikan penjelasan tentang pengorbanan itu apa, nilai-nilai pengorbanan seperti apa, bagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah dan sahabatnya sehingga anak memahami mengapa  seorang Muslim harus menghiasi dirinya dengan sikap mulia ini.

Yang penting juga adalah selalu memberikan contoh kepada anak tentang sikap berkorban, misalnya bersedekah, menunaikan kurban, membantu tetangga dan sebagainya. Dengan melihat contoh yang baik di hadapannya, pada akhirnya anak-anak memiliki dorongan kuat untuk selalu rela berkorban semata-mata karena ketaatannya kepada Allah.

 

  1. Mengajak anak untuk berkorban dalam kehidupan nyata.

Hal terakhir yang dapat dilakukan orangtua adalah mengajak anak untuk melakukan perilaku berkorban bersama-sama. Banyak hal yang bisa dilakukan dan bisa dimulai dari hal yang sederhana. Misalnya berbagi makanan dengan tetangga atau teman-teman.  Bersedekah atau mengorbankan barang yang disayangi atau uang tabungan yang dimiliki untuk diberikan pada pada orang lain yang lebih membutuhkan.  Dengan terus melatih jiwa berkorban dari hal-hal kecil dan terus menguatkan keimanannya, insya Allah anak-anak akan terbiasa dan rela untuk berkorban apapun karena ketaatan kepada Allah SWT.

Semoga kita diberi kemudahan untuk mendidik anak-anak kita menjadi Ismail-Ismail yang rela mengorbankan nyawa demi ketaatan kepada Allah SWT. Amin. [Najmah Saiidah]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

17 − 10 =

Back to top button