100 Tahun Dunia Islam Tanpa Khilafah
Islam adalah risalah dengan seperangkat perkara yang harus diyakini atau aqidah dan seperangkat peraturan atau syariah yang harus diterapkan. Ketika syariah itu diterapkan, dijanjikan oleh Allah SWT, akan membawa manusia, Muslim maupun non-Muslim, pada kehidupan yang ideal; penuh rahmat, damai, aman tenteram, adil sejahtera, kemajuan di segala bidang; selalu diwarnai ketaatan dan kesucian; jauh dari kezaliman, keangkaramurkaan, ketidakadilan, penindasan dan hal-hal buruk lainnya.
Sebagai risalah, Islam pernah membawa dunia ini ke peradaban yang agung berbilang abad lamanya, yang dipenuhi dengan semua kebaikan dan jauh dari segala keburukan tadi. Para sejarahwan menyebut era itu sebagai the golden age, abad keemasan Islam. Membentang lebih dari 700 tahun lamanya. Boleh disebut inilah titik kulminasi atau puncak dari keagungan risalah ini secara faktual.
Tapi kini, peradaban agung itu tak lagi ada. Yang bersisa hanyalah tapak-tapak kehebatannya yang sebagiannya terungkap dalam lembaran-lembaran buku sejarah atau kitab-kitab tarikh. Sebagiannya lagi terlihat dalam bentuk bangunan-bangunan di berbagai wilayah, seperti di Istanbul – Turki, yang pernah menjadi pusat terakhir dari peradaban Islam itu.
++++
Mengapa peradaban Islam—yang agung, hebat, bertumpu dari risalah yang haq dan penah kokoh berdiri berbilang abad itu—bisa runtuh? Selalu saja ada dua faktor: Pertama, faktor internal yang datang dari tubuh umat. Kedua, faktor eksternal yang datang dari musuh-musuh Islam.
Musuh-musuh Islam memang sejak awal risalah ini disebarkan oleh Nabi Muhammad saw. tidak pernah ridha hingga kita mengikuti millah mereka. Tujuannya agar kita sama dengan mereka. Sama aqidah atau agamanya. Jika sudah sama, kita tentu tidak akan menjadi penghalang dari segala apa yang mereka inginkan.
Maka dari itu, segala daya dilakukan untuk membuat kita sama dengan mereka. Bila tidak mungkin sama agamanya, mereka berusaha agar kita sama pemikiran dan perilakunya dengan mereka. Bila karena ajaran agama kita, keinginan mereka itu terhambat, maka ajaran agama kita itu diserang. Lalu aneka fitnah disemburkan, seperti bahwa al-Quran itu buatan Nabi Muhammad saw., untuk meragu-ragukan (tasykik) keyakinan kita.
Bila karena institusi politik dan kepemimpinan yang melindungi kita, yakni Khilafah, tujuan mereka terhambat, maka institusi politik dan kepemimpinan itulah yang diserang. Di sinilah kita bisa melihat, bagaimana usaha keras mereka yang dilakukan untuk menghancurkan institusi politik Islam sejak berabad sebelumnya akhirnya mencapai keberhasilannya. Khilafah Utsmani, yang berpusat di Turki, yang lebih dari 400 tahun menaungi dan melindungi dunia Islam, akhirnya bisa diruntuhkan, para bulan Rajab 1342 H, tepat 100 tahun lalu dalam penanggalan Hijrah
Namun, usaha keras musuh-musuh Islam itu sesungguhnya tidak akan berhasil jika umat Islam tetap kokoh memegang jatidirinya sebagai Muslim. Keberhasilan makar mereka itu bukan karena musuh hebat, tetapi karena umat Islamlah yang lemah. Ibarat penyakit, jika tubuh kita sehat dan memiliki daya imun yang tinggi, berbagai penyakit yang mencoba menyerang tidak akan mudah melemahkan apalagi menghancurkan tubuh kita.
Sejarah keruntuhan Khilafah telah memberikan pelajaran atau ibrah. Salah satunya, kita sebagai umat memang tidak boleh lengah atau kendor sedetikpun. Pasalnya, musuh-musuh Islam tidak pernah tinggal diam. Sejak awal dulu hingga saat ini dan sampai nanti. Mereka akan selalu berusaha untuk meruntuhkan kita hingga kita mengikuti tunduh, patuh dan mengikuti semua kemauan mereka.
Bila faktor eksternal itu bersifat laten, yang tidak bisa kita cegah karena memang mau mereka seperti itu, maka berpulang kepada kita: Apakah kita akan tetap membiarkan diri kita lemah, tak berdaya, atau kemudian bangkit dan berjuang agar kita menjadi kuat dan berjaya kembali?
Di sinilah, kegiatan seperti muktamar, konferensi, seminar, diskusi atau kajian dan bentuk kegiatan lain, yang mengupas seputar Khilafah—keagungan dan keruntuhannya—menjadi penting.
Pertama: Untuk menumbuhkankembang-kan kesadaran historis islami. Umat harus melek sejarah. Mereka pun harus memandang sejarah dari sudut pandang Islam.
Sejarah adalah realitas masa lampau. Nilai pentingnya sangat dipengaruhi oleh cara pandang pembacanya, apakah mendasarkan pada Islam ataukah selain Islam. Sejarah Khilafah dari dari awal berdiri hingga mencapai kegemilangan dan berakhir dengan keruntuhannya itu harus dipandang penting oleh umat Islam.
Faktanya, cukup banyak dari umat yang tidak menyadari betapa pentingnya momen penghapusan Khilafah yang terjadi pada bulan Rajab 100 tahun lalu itu. Memang umat di seluruh dunia masa itu memberikan reaksi keras, termasuk di negeri ini. Beberapa bulan, setelah penghapusan Khilafah, tepatnya pada bulan Oktober 1924, lebih dari 500 tokoh umat dari lebih dari 30 organisasi—di antara Muhammadiyah, al-Irsyad, Syarikat Islam—menyelenggarakn Kongres al-Islam kedua di Garut, khusus untuk merespon keruntuhan Khilafah itu. Dalam kongres itu, yang dipimpin oleh KH Agus Salim, disepakati bahwa umat Islam Indonesia harus memberikan perhatian pada masalah ini. Alasannya, kata mereka, sistem pemerintahan Islam, Khilafah, harus tetap ada.
Kesadaran semacam itulah yang kini harus ditumbuhkembangkan sedemikian rupa. Tujuannya tentu agar umat benar-benar memahami bahwa keruntuhan Khilafah itu, seperti dikatakan oleh para ulama, adalah ummul jara’im (induk dari segala bencana atau malapetaka). Terlihat saat ini ada malapetaka ideologi, malapetaka poliltik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan dakwah, dll.
Kedua: Untuk menumbuhkankembangkan kesadaran politik islami yang berpangkal dari pemahaman aqidah yang kokoh; bahwa risalah Islam ini harus tegak, ukhuwah islamiyyah harus terwujud secara nyata, syariah harus diterapkan secara kaffah dan dakwah Islam harus terus digerakkan. Untuk itu tidak bisa tidak, harus tegak kembali institusi yang memungkinkan semua itu terwujud, yakni Khilafah.
Kesadaran semacam ini harus terus digelorakan sedemikian rupa. Dengan itu umat benar-benar menyadari arti pentingnya tegaknya kembali Khilafah, seperti dikatakan oleh para ulama, sebagai tajul furud (makhkota kewajiban). Dengan tegaknya Khilafah, akan ada sekian banyak kewajiban yang lain yang bisa ditunaikan. Dalam istilah imam Ibnu Taymiyah kewajiban Khilafah itu min akbari al-wajibati ad-din (merupakan kewajiban agama yang paling besar atau agung)
Ketiga: Melalui kesadaran yang pertama dan kedua, diharapkan lahir kesadaran partisipasi atau al-wa’yu al-‘amali di kalangan umat. Setiap Muslim wajib berusaha memberikan peran optimalnya hingga kewajiban atau fardhu kifayah ini benar-benar terwujud. Fardhu kifayah hakikatnya adalah fardhu ain hingga kewajiban itu benar-benar terwujd. Itu pun semestinya dilakukan dengan bergegas karena status kewajiban tegaknya Khilafah saat ini adalah qadha’[an]. Ijmak Sahabat hanya membolehkan umat kosong dari kepemimpinan selama 3 hari 2 malam. Sejak keruntuhannnya pada 100 tahun lalu, sudah berapa hari berapa malam?
Inilah satu-satunya jalan terbebas dari dosa yang timbul akibat kewajiban kifayah itu belum terlaksana. Inilah satu-satu jalan untuk mewujudkan kembali ‘izzul Islam wal muslimin serta kerahmatan bagi seluruh alam yang dijanjikan.
Mengingkari kewajiban Khilafah berarti mengingkari salah satu kewajiban agama, yang tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang Muslim. Apalagi kemudian menghalangi tegaknya kewajiban itu. Sungguh aneh. Bagaimana bisa seorang Muslim menghalangi pelaksanaan salah satu kewajiban terpenting dari agamanya?
Dengan kesertaan umat, kita sangat yakin, cita-cita besar ini akan terwujud. Insya Allah. Di sinilah seruan aqimuha ayyuhal Muslimun, yang menjadi tag line Peringatan 100 Tahun Dunia Tanpa Khilafah ini, menemukan relevansinya pentingnya.
++++
Akhirnya, kita berharap mudah-mudahan semua ikhtiar mulia kita ini mampu menghantarkan kita pada titik yang diharapkan serta menjadi catatan amal shalih di sisi Allah. Adakah bekal yang lebih baik buat kehidupan di Akhirat nanti selain taat kepada Allah SWT dan berjuang di jalan-Nya? [H. Muhammad Ismail Yusanto]