Catatan Dakwah

Diagnosis

Kalau gitu, apa bedanya Hizbut Tahrir dengan kelompok liberal dan kelompok sosialis?” Cetus salah seorang peserta kepada saya dalam diskusi di kelas Asian Studies, Harvard University, AS,  beberapa belas tahun lalu.

Diskusi terselenggara atas inisiatif Prof. Nur Yalman, guru besar di program itu. Sehari sebelumnya saya hadir dalam Simposium Internasional dengan tajuk Islamic Law in Modern Indonesia yang diselenggarkaan oleh Harvard Law School. Prof Yalman, yang asli Turki, mungkin ingin mendapatkan lebih dari yang sudah terungkap dalam simposium itu. Jadilah ia mengadakan diskusi itu dengan mengundang Ulil Abshar Abdalla dan Prof. Azyumardi Azra. Keduanya juga sebelumnya menjadi pembicara dalam simposium itu.

Diskusi lebih fokus membicarakan dinamika umat Islam di Indonesia, termasuk tentang kegiatan dan kiprah HTI terkait berbagai isu mutakhir. Pertanyaan itu muncul setelah mendengar pemaparan singkat kami bertiga. Terutama setelah terungkap bahwa HTI, sama seperti kelompok liberal dan sosialis, keras memprotes invasi AS ke Afganistan ketika itu.

++++

Benar. Pada tahap concern atau kepedulian terhadap suatu masalah, misalnya terkait kemiskinan, woman trafficking (perdagangan perempuan), pelacuran, kekerasan terhadap anak, hingga persoalan korupsi serta pentingnya perdagangan yang adil (fair trade), termasuk terkait soal invasi AS ke Afganistan yang ditanyakan oleh mahasiswa Harvard tadi, kita mungkin sama dengan berbagai kelompok humanis-sekular dan macam-macam kelompok lain.

Sebagai Muslim yang baik, kita memang harus memiliki kepedulian terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat. Kata Nabi saw., jika seorang Muslim tidak memiliki kepedulian itu, hakikatnya bukanlah bagian dari umat Islam. Namun, ketika sampai tahap diagnosis, apalagi terapi atau solusi atas berbagai persoalan tersebut, perbedaan itu mulai muncul.

Diagnosis dalam dunia kedokteran diartikan sebagai penentuan jenis penyakit dengan cara meneliti (memeriksa) gejala-gejalanya. Diagnosis adalah tahap yang sangat penting. Dari sana didapat jenis penyakit, lalu ditetapkan terapinya. Kesalahan dalam diagnosis akan menyebabkan kesalahan dalam terapi. Akibatnya fatal. Alih-alih penyakit bakal sembuh, malah mungkin makin parah dan memunculkan penyakit baru.

Begitu juga dalam dunia sosial dan dakwah. Diagnosis atas suatu masalah atau keadaan umat sangatlah penting. Dari sana akan diketahui apa akar masalah dari semua problem yang terjadi atau menimpa umat. Kemudian atas dasar itu ditetapkan langkah-langkah penyelesaian. Seperti dalam dunia kedokteran, salah diagnosis akan mengakibatkan salah pula langkah-langkah yang ditempuh guna menyelesaikan masalah tersebut. Bukannya selesai, malah mungkin akan menimbulkan masalah baru.

Dari diagnosis pula diketahui siapa lawan dan siapa kawan. Bila diagnosis atas problem utama umat adalah berkembangnya bid’ah, misalnya, tentu yang akan menjadi perhatian dan mungkin kemudian dijadikan lawan adalah orang-orang yang dianggap melakukan bid’ah. Siapa mereka, tentu tak lain adalah orang Islam. Mana ada orang kafir melakukan bid’ah?

Nah, kalau sekarang radikalisme (Islam) begitu rupa dipersoalkan, kemudian dijadikan salah satu fokus utama Pemerintah, bahkan sudah dilakukan sejumlah tindakan untuk memerangi apa yang disebut radikalisme, seperti menghapus materi jihad dan khilafah dari 155 buku pelajaran agama di lingkungan Kemenag, lantas siapa yang dianggap lawan? Tentu juga umat Islam. Bila radikalisme diartikan sebagai paham yang mengingingkan Islam yang kaffah, maka siapa saja yang berpaham seperti itu harus dijadikan musuh. Ini tentu sebuah ironi besar. Bagaimana bisa, umat Islam yang ingin berislam dengan sungguh-sungguh dijadikan musuh tak ubahnya penjahat besar? Sebaliknya, yang abai terhadap ajaran Islam bahkan merusak Islam malah dibiarkan saja? Lagi pula, penetapan radikalisme sebagai problem umat itu muncul dari diagnosis macam apa?

Faktanya, di hadapan kita terbentang sejumlah persoalan nyata, seperti penurunan pertumbuhan ekonomi. Apalagi setelah pandemi Covid-19. Bila tidak segera diatasi, masalah ekonomi ini akan membawa negara ini ke dalam jurang resesi. Masalah lain adalah peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan, korupsi yang makin menjadi-jadi, kerusakan moral, maraknya ketidakadilan di berbagai bidang, meningkatnya gerakan separatisme dan sebagainya. Apakah semua problem itu timbul akibat radikalisme (Islam)? Bila tidak, lantas mengapa radikalisme yang dituding?

++++

Jadi, bagaimana diagnosis yang benar? Diagnosis yang benar ditentukan oleh dasar menilai yang benar. Sebagai Muslim, penilaian suatu masalah mestinya didasarkan pada ajaran Islam. Islam diturunkan sebagai rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil alamin). Rahmat oleh para ulama diartikan sebagai meraih kebaikan dan menghindarkan keburukan (jalbul mashalih wa dar’ul mafasid). Rahmat itu hanya akan bisa diraih bila risalah Islam diterapkan secara penuh. Bila tidak, alih-alih rahmat yang didapat, yang timbul adalah fasad (kerusakan).  Dalam perspektif ini, berbagai persoalan umat yang tadi disebut hakikatnya adalah fasad akibat pengabaian terhadap syariah.

Benarlah apa yang ditulis di dalam kitab Al-Manhaj, bahwa al-qadhiyah al-muslimin al mashiriyah hiya i’adah al-hukmi bima anzalalLah. Persoalan utama umat adalah bagaimana mengembalikan hukum Allah. Rumusan ini lahir dari diagnosis tadi, bahwa akar semua persoalan umat adalah tidak adanya penerapan hukum Allah, alias penerapan sistem sekular.

Dalam sistem sekular, syariah Islam tidak pernah secara sengaja selalu digunakan. Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Dalam urusan sosial kemasyarakatan, Islam ditinggalkan.

Di tengah-tengah sistem secular tadi, lahirlah berbagai bentuk  tatanan yang jauh dari ajaran Islam. Itulah tatanan ekonomi yang kapitalistik-liberalistik. Tatanan ini secara pasti akan melahirkan kesenjangan dan berbagai dampak buruk lainnya seperti  perilaku politik yang oportunistik-machiavelistik. Kegiatan politik akhirnya dilakukan sekadar guna meraih kekuasaan dan uang (power for money, money for power). Lahir pula budaya hedonistik dan sikap beragama yang sinkretistik. Juga sistem  pendidikan yang materialistik yang gagal melahirkan manusia shalih yang sekaligus menguasai iptek.

Dengan diagnosis semacam ini menjadi jelas, sekularisme dan para pendukungnya itulah—bukan radikalisme—yang harus dianggap lawan. Selama sekularisme tegak, apalagi ketika diemban oleh negara adidaya, pasti berbagai fasad atau kerusakan tadi akan terus terjadi. Termasuk hancurnya negeri-negeri Muslim seperti Irak dan Afganistan akibat invasi. Semua ini jelas harus segera dihentikan.

Karena itu  perjuangan bagi penegakan syariah Islam secara kaffah serta penolakan terhadap segala bentuk sekularisme dengan segenap perangkatnya sangatlah penting dan mutlak harus dilakukan.  Secara imani, perjuangan itu merupakan tuntutan ajaran Islam. Ini mestinya didukung karena—berdasarkan diagnosis yang benar—semua ini adalah solusi tuntas atas berbagai persoalan tadi. Bukan malah diperangi. Memerangi semangat umat untuk berislam secara benar dan perjuangan bagi penegakan  syariah secara kaffah, hanya karena dianggap radikal, sama saja menghancurkan obat yang akan menyelesaikan secara tuntas penyakit kronis akibat sekularisme tadi. Ya, makin sakit lah negeri ini. [H.M. Ismail Yusanto]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

13 − six =

Check Also
Close
Back to top button