Catatan Dakwah

Equality Before The Law

Pada suatu hari, sebagaimana diceritakan dalam hadis sahih riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, seorang perempuan yang cukup terpandang dari kalangan Bani Makhzum kedapatan mencuri. Mengetahui hal itu, orang-orang banyak mengkhawatirkan keadaan atau nasib perempuan itu. Mereka tahu hukuman apa yang bakal dia terima. Tak terbayang oleh mereka, bagaimana keadaan perempuan itu nanti bila hukuman itu benar-benar dilaksanakan.

Lalu terpikir oleh mereka untuk meminta keringanan atas hukuman itu. Kepada siapa? Kepada siapa lagi bila tidak kepada Nabi Muhammad saw. Beliaulah pemegang otoritas kepemimpinan saat itu. Namun, siapa yang berani melakukan hal ini? Mereka sadar betul. Ini tidak mudah. Bahkan nyaris mustahil. Memang begitulah ketentuannya. Siapa saja yang mencuri sesuatu yang nilainya melebihi nishab, pasti akan dipotong tangannya.

Namun, hal itu tidak mengurungkan niat mereka untuk tetap berusaha mencarikan keringanan hukuman bagi perempuan itu. Lalu diutuslah Usamah bin Zaid untuk menyampaikan keinginan itu kepada Rasulullah. Apa yang didapat? Persis seperti yang diduga, Nabi saw. menolak keras permintaan itu. Beliau lalu mengajukan pertanyaan yang sangat tandas, “Apakah engkau memberi  pertolongan berkaitan dengan hukum Allah?).” Lalu Nabi saw. berdiri dan berbicara lantang, “Hai manusia!. Sungguh yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka mencuri, mereka biarkan (tidak dihukum). Namun, jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah! Sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.”

++++

Kesamaan di muka hukum (equality before the law) menjadi prinsip yang sangat penting. Ini adalah asas yang harus ditaati oleh setiap orang pada hukum peradilan yang sama. Prinsip penting inilah, bersama dengan kesetaraan dan kewajaran hukum, dipercaya akan membawa masyarakat pada keadilan hukum.

Prinsip ini telah dikenal luas. Bukan hanya diantara para ahli atau praktisi hukum, tetapi juga di kalangan masyarakat luas. Dalam sejarahnya, prinsip ini juga disebut dalam Pasal 7 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menyatakan, “Semua orang sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun.”

Konstitusi Indonesia dengan tegas juga memberikan jaminan adanya persamaan kedudukan di muka hukum. Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Jelas, berdasar prinsip-prinsip tadi, setiap orang harus diperlakukan sama di bawah hukum tanpa memandang ras, gender, kebangsaan, warna kulit, etnis, agama, difabel, atau karakteristik lain. Semua harus diperlakukan sama tanpa hak istimewa, diskriminasi, atau bias. Dengan demikian, bila terdapat diskriminasi dalam hukum maka secara nyata telah melanggar prinsip ini.

Di Indonesia, mengacu pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), diskriminasi diartikan sebagai setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan sosial lainnya.

Diskriminasi cenderung dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas atau oleh kelompok yang tengah berkuasa kepada mereka yang dikuasai. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama, dan kepercayaan,  aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain, maka itulah diskriminasi.

Diskriminasi hukum sangat nyata terjadi saat ini. Terhadap kelompok oposisi atau yang kritis terhadap rezim, hukum tampak sangat tajam. Sebaliknya, terhadap kawan atau pendukung rezim, hukum menjadi tampak tumpul. Bila ada laporan terhadap kelompok oposisi dalam waktu singkat ditindaklanjuti. Sebaliknya, bila pihak opisisi melaporkan hal yang sama, hingga berpuluh-puluh laporan, tak ada satupun yang diproses. Alhasil, sekian banyak person, tokoh, termasuk para buzzer rezim bebas bicara apa saja karena tak tersentuh hukum sama sekali.

Apa yang dialami oleh Habib Rizieq Shihab (HRS) boleh disebut sebagai puncak dari diskriminasi, bahkan kriminalisasi hukum. Bila diskriminasi saja tidak boleh, apalagi kriminalisasi. Kriminalisasi adalah memperlakukan sesorang yang senyatanya bukan kriminal seolah melakukan tidak kriminal. Kriminalisasi adalah tindakan kriminal itu sendiri. Pelaku kriminalisasi itulah yang semestinya digelandang ke muka hukum.

++++

Apa yang disampaikan oleh Nabi saw. dalam hadits di atas menunjukkan bahwa equality before the law atau persamaan di muka hukum telah diletakkan secara kokoh berabad lalu oleh Baginda Rasulullah saw. Dalam hadis itu, Nabi saw. dengan sangat jelas menyatakan tetap akan menghukum potong tangan andaipun Fatimah, anak perempuannya sendiri, mencuri. Melalui sepenggal kisah itu, Nabi saw. telah secara nyata mempraktikkan tindakan non-diskriminasi  terhadap putrinya sendiri. Artinya, putrinya juga harus diperlakukan secara sama di muka hukum. Bila terhadap putrinya sendiri saja bisa, apalagi terhadap orang lain. Termasuk terhadap para pendukung Nabi saw. sekalipun, tentu lebih bisa lagi.

Keteladanan semacam inilah yang kini nyaris hilang dalam realitas penegakan hukum di negeri ini. HRS yang secara faktual tidak melakukan tindak pidana, diperlakukan sebegitu rupa, dengan tangan diborgol, seolah dia adalah penjahat besar. Sebaliknya, di luar sana ada banyak penjahat, koruptor, sparatis, pelanggar HAM yang tangannya berlumur darah, tetap bebas melenggang (Ngomong-ngomong, gimana kabar Hasan Masiku?)

Selain soal absennya keteladanan, diskriminasi dan kriminalisasi hukum juga dipicu oleh kenyataan bahwa hukum yang ada sekarang memanglah tidak memiliki aspek ruhiyah. Artinya, hukum itu tidak bersumber dari keimanan kepada Allah dan Hari Akhir. Tidak ada dorongan yang bersifat transendental untuk benar-benar ditaati tanpa diskriminasi apalagi kriminalisasi.

Di sinilah letak pembeda mendasar antara hukum sekular-jahiliyah dan hukum syariah Islam. Mengapa Rasulullah saw. yang notabene adalah pemimpin negara, yang kekuasaannya juga meliputi semua, justru kokoh menolak segala tindakan yang berbau diskriminasi? Tak lain karena, sebagaimana telah diajarkan kepada umatnya, Nabi saw. tahu persis bahwa keadilan wajib ditegakkan. Ketika ada pelanggaran terhadap prinsip ini, yang bakal dihadapi nantinya bukan hanya manusia, tetapi Sang Pencipta.

Dalam sistem saat ini, bila semua komponen lembaga negara sudah dikuasai, apalagi yang perlu ditakuti? Ketika keimanan terhadap sang Pencipta sudah tiada, maka kesamaan di muka hukum hanyalah utopia. [H. Muhammad Ismail Yusanto]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × two =

Check Also
Close
Back to top button