Kekuatan Politik Umat Islam
Kisruh Pilpres 2019 telah menimbulkan gejolak politik di tengah masyarakat. Dugaan maraknya kecurangan, intimidasi dan berbagai keganjilan membuat masyarakat meragukan kejujuran para elit politik untuk meraih kemenangan. Siapapun yang meraih kekuasaan dengan cara yang tidak jujur sesungguhnya telah men-delegitimasi otoritasnya sendiri. Pada gilirannya akan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap rezim berkuasa. Pergolakan politik pun sangat mungkin terjadi pada masa datang.
Namun yang jelas, dalam setiap Pemilu, baik memilih presiden maupun legislatif, suara umat Islam diperebutkan. Wajar saja, mengingat umat Islam merupakan mayoritas penduduk negeri Islam ini. Jadi siapapun yang berkuasa akan sangat memperhitungkan umat Islam.
Secara historis gerakan umat Islam sangat menentukan perbagai momen politik penting negeri ini. Sejak masa melawan penjajahan, meraih kemerdekaan, perlawanan terhadap PKI, termasuk saat reformasi. Umat Islam bersama para ulama berada di garis terdapat peristiwa penting politik negeri ini.
Tidak mengherankan, berbagai cara dilakukan elit politik, hingga yang sekular pun, untuk meraih simpati umat Islam. Dipilihnya ulama sebagai Cawapres Jokowi, tidak bisa dilepaskan dari kuatnya tudingan anti Islam yang ditujukan kepada Jokowi. Para elit politik pun, dengan berbagai cara, menampakan citra ke’islaman’nya. Bersarung, berpeci dan bersorban, rajin mengunjungi masjid dan pesantren, dilakukan untuk membentuk citra ‘ramah’ terhadap umat Islam.
Di sisi lain, gerakan 212, sebagai gerakan unik, lintas ormas, mazhab, dan kelompok, menunjukkan kekuatan politik tersendiri, yang diakui besar pengaruhnya dan kompetisi politik di Indonesia. Bermula dari gerakan protes terhadap penghinaan terhadap al-Quran yang dilakukan Ahok saat menjadi Gubernur DKI, Gerakan 212 memberikan andil politik penting dalam Pilpres kemarin. Siapapun yang terpilih jadi presiden, tentu akan memperhitungkan kekuatan politik umat ini.
Seperti yang ditulis Andar Nubowo (Eurasia Review), Gerakan 212 yang sukses yang menghasilkan kekalahan Ahok—yang berbuntut pemenjaraannya selama dua tahun atas tuduhan penistaan agama—telah menjadi fenomena yang berpengaruh dalam politik Indonesia. Gerakan ini tidak hanya mendorong umat Islam untuk mengekspresikan pandangan dan preferensi sosial, ekonomi dan politik mereka, tetapi juga membuat kedua kandidat presiden—Jokowi dan Prabowo—untuk mengubah strategi politik mereka menjadi lebih akomodatif dan memperhatikan masalah-masalah Islam.
Di sisi lain, kritik pengamat politik asal Australia, Greg Fealy tentang gerakan politik umat perlu kita perhatikan. Menurut dia, kekuatan politik Islam selama ini gagal menjadi kekuatan oposisi yang substansial, yang mempengaruhi kehidupan politik Indonesia. Umat Islam hanya hanya dijadikan instrumen untuk menaikkan elektabilitas dalam pemilihan umum. Kekuatan Islam juga tak mudah bersatu, termasuk Gerakan 212 yang sudah terfragmentasi. Lebih jauh Fealy mengatakan kekuatan politik Islam telah digunakan oleh elit politik sekedar untuk kepentingan politik mereka.
Secara historis apa yang dikatakan Greg Fealy ada benarnya. Meskipun berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan, kekuatan politik Islam belum menjadi arus utama, karena disingkirkan kelompok sekular liberal. Keinginan umat Islam menerapkan syariah Islam dituding sebagai ancaman.
Sistem politik sekular Indonesia baru memberikan jalan kepada elit politik umat untuk duduk di kekuasaan. Namun, bukan untuk menerapkan syariah Islam. Jadilah elit politik Islam, yang duduk melalui jalan kekuasaan sekular liberal, terbelenggu bahkan terjerumus dalam sistem politik liberal. Umat Islam selama ini lebih sering menjadi pendorong mobil mogok, yang kemudian ditinggal setelah mobil berjalan!
Karena itu penting bagi umat Islam untuk tidak terjerumus berulang-ulang. Perubahan politik yang ada selama in baru sekedar pergantian rezim/elit politik. Reformasi ditandai baru sebatas pergantian rezim Orde Baru, dengan Soeharto sebagai simbolnya. Hasilnya, pasca Reformasi, tidak terjadi perubahan yang signifikan. Pasalnya, persoalan kita bukan sekadar orang, tetapi juga sistem. Kapitalisme liberal yang dipraktikkan di Indonesia inilah yang menjadi pangkal berbagai persoalan. Meskipun mengklaim berideologi Pancasila, pada praktiknya yang diterapkan adalah kapitalisme-liberal. Pantaslah tidak menyelesaikan persoalan.
Karena itu, tidak ada pilihan lain untuk membangun kekuatan politik umat yang signifkan berpengaruh pada proses politik Indonesia, kecuali kelakukan islamisasi politik. Dalam pengertian bagaimana politik yang menghantarkan pada kekuasaan digunakan untuk menerapkan seluruh syariah Islam secara totalitas. Selama kekuatan politik Islam tidak ditujukan untuk perubahan sistem, maka tidak akan terjadi perubahan yang signifikan.
Karena itu umat Islam harus dengan tegas, berani dan percaya diri memperjelas identitas kekuatan politiknya , yang berdasarkan Ideologi Islam. Sebab, hanya Islam-lah yang akan menyelamatkan Indonesia bahkan dunia. Komunisme telah gagal, Kapitalisme telah menghancurkan negeri ini dan dunia. Tidak ada pilihan lain kecuali kembali pada Islam secara totalitas (kaffah).
Tuntutan umat Islam pun harus jelas, yaitu menerapkan syariah Islam secara totalitas. Untuk itu dibutuhkan institusi politik Khilafah Islam yang mempersatukan dan melindungi umat Islam. Umat Islam tidak boleh berkompromi dengan sistem kufur apapun, baik Kapitalisme maupun Komunisme. Umat Islam pun harus menolak cara-cara meraih kekuasaan yang bukan mengikuti manhaj Rasulullah. Menolak berkompromi dengan kekuatan politik liberal sekular yang selama ini telah menipu umat Islam.
Di samping itu, segala bentuk bantuan, intervensi negara-negara Barat baik atas nama negara, PBB, lembaga-lembaga sosial liberal, akademis, yang menawarkan sistem kapitalisme liberal, demokrasi, di Dunia Islam harus ditolak. Sebab semua bantuan itu adalah untuk menjerat dan membelenggu perjuangan Islam. Menjerat umat Islam bahkan memecah-belah umat Islam. Termasuk menolak sama sekali campur tangan para penguasa regional yang sesungguhnya merupakan boneka-boneka Barat. Mereka bekerja bukan untuk kepentingan umat Islam, tetapi untuk melayani kepentingan penjajah Barat.
Sudah saatnya umat Islam, mendukung kelompok politik, partai politik, atau jamaah dakwah, yang berjuang dengan basis jelas, yaitu ideologi Islam. Yang bertujuan untuk menerapkan seluruh syariah Islam, yang menghendaki persatuan umat Islam di bawah naungan Khilafah. Perjuangan pun harus mengikuti manhaj Rosulullah saw. yang tidak berkompromi sedikitpun dengan sistem kufur yang ada. Inilah indentitas politik perjuangan umat Islam, inilah jalan kemenangan hakiki umat Islam. Allahu Akbar. [Farid Wadjdi]