Dunia Islam

Konstituante: Menggemakan Ideologi Islam

Ingatan kaum Muslim di negeri ini saat dikhianati oleh kaum sekuler masih terekam jelas. Tanggal 18 Agustus 1945, penghapusan “tujuh kata” di Piagam Djakarta begitu membekas di relung hati umat Islam. Sebuah janji akan diadakan sebuah penentuan kembali ihwal dasar negara, kelak. Dewan Konstituante ternyata jawabannya.

Umat Islam, yang direpresentasikan oleh beberapa partai yang tergabung dalam Faksi Islam memahami jelas, bahwa inilah waktu yang tepat untuk kembali meneruskan langkah perjuangan itu. Menggemakan Ideologi Islam sebagai pondasi dalam tata kenegaraan.

Hadji Muhammad Isa Anshari dari Fraksi Masjumi mengingatkan, ketika berpidato, akan pentingnya menjadikan diri tiada congkak kepada Sang Maha Kuasa:

 

“Akan tetapi, Saudara Ketua, mengapa setelah kita merdeka, setelah kita mendapatkan kemenangan dan kedjajaan, setelah kita bernegara berdaulat keluar dan ke dalam, setelah kita mendapatkan kedudukan dan pangkat, setelah kita mendapatkan kekuasaan, achirnja kita mendjadi tjongkak dan sombong membusungkan dada; berkata segala kemegahan diri; mengaku dengan segala keanguhannja, bahwa kemenangan dan kemerdekaan jang kita miliki sekarang, hanjalah hasil dan buah dari ketjakapan, kekuatan dan perdjuangan kita sendiri.”

 

Kemerdekaan adalah sebuah rahmat yang perlu dan patut disyukuri. Namun, bukan berarti selesai perjuangan. Justru di titik itulah terjadi peningkatan dalam ketaatan kepada allah, Tuhan Yang Maha Pencipta. Bukan malah menjadi congkak dan menolak Islam dalam tata aturan kenegaraan.

Hadji Mohammad Thaha dari Fraksi Partai Sjarikat Islam Indonesia (P.S.I.I.) menyatakan:

 

“Djadi kalau orang Islam mengatakan, ia menolak Islam karena tidak sesuai lagi, ini Saudara-Saudara kami tanjakan, tidak sesuai itu apa? Apakah Tuhan tidak mampu mengatur kita ini? Apakah hanja mampu mengatur djaman dahulu? Ataukah karena kita tidak mampu menjesuaikan diri kita dengan ketentuan-ketentuan Islam, karena kita tidak suka beragama? Itu mungkin ada kebenarannja.”

 

Faksi Pantja Sila jelas menolak dasar Islam. Mereka lebih memiliki paham sekuler untuk diterapkan. Moh. Natsir dari Fraksi Masjumi pun mencoba menjelaskan kedigdayaan paham agama dibandingkan paham sekuler. Menurut Natsir,

 

“Paham agama-agama adalah sebaliknja. Ia memberikan dasar jang terlepas dari relativisme. Inilah sebabnja mengapa konsepsi “humanity” jang berdasarkan atas agama, lebih logis, lebih meliputi, dan lebih memuaskan. Paham agama memberikan dasar jang tetap, jang tidak berubah.”

 

Ia menambahkan:

 

“Segala jang bergerak dan berubah harus mempunjai dasar jang tetap, harus mempunjai apa jang dinamakan point of reference, titik tempat memulangkan segala sesuatu. Djika tidak ada dasar jang tetap maka nistjaja krisis atau bentjana akan timbul.”

 

Agama sebagai pondasi bernegara adalah mutlak. Apalagi Islam sebagai agama dan ideologi. Demikian sebagaimana yang disampaikan K.H. Masjkur dari Fraksi Nahdlatul Ulama (N.U.):

 

“Unsur-unsur Islam jang praktis itu Saudara Ketua, semuanja mempunjai dasar-dasar jang dapat dipertanggung-djawabkan kepada mahkamah sedjarah dan mempunjai sumber-sumber jang djelas dan njata.”


 

Ia memahami bahwa Islam tidak sekadar agama ritual belaka, namun juga sebuah tata aturan dalam berkehidupan termasuk bernegara. Ia melanjutkan:

 

“Memang sesungguhnja, Saudara Ketua, unsur-unsur Islam bagi hidup dan penghidupan manusia tidak sadja mempunjai sjarat-sjarat dunia modern, tetapi djuga sudah diakui bahwa dunia Islam itu bukan semata-mata agama dalam arti ibadat sadja, tetapi suatu “way of life”, suatu djalan hidup.”

 

Bahkan K.H. Masjkur mengajak orang-orang yang kontra untuk kembali mendalami Islam secara tepat dan benar, “Supaja lebih mejakinkan hati Saudara-Saudara untuk menerima Islam sebagai Dasar Negara, maka di sini saja mengajak Saudara-Saudara supaja mempeladjari Islam dengan sedalam-dalamnja dari sumbernja jang resmi, djangan diambil dari dongeng-dongeng dari kata-kata Shahibul hikajat; apalagi djika ditafsirkan sesuai dengan tafsiran kolonial Belanda, jang menganggap Islam sebagai momok. Tidak usah kita tergesa-gesa, tempo masih tjukup untuk mempeladjari Islam dengan sedalam-dalamnja.”

 

Tentang ketegasan menggemakan Ideologi Islam juga begitu jelas. Sebagaimana yang disampaikan oleh K.H. Masjkur, “Bagi Nahdlatul Ulama (N.U.) dan kawan-kawan seideologi Islam memperdjuangkan Islam sebagai Dasar Negara adalah keharusan dan kewadjiban jang mutlak”.

 

Pernyataan Hadji Saifuddin Zuhri pun senada dengan K.H. Masjkur:

 

“Tentang Islam, Alhamdulillah, kami telah banjak tahu dan mengerti, bahkan bagi kami tidak ada keragu-raguan barang sedikit pun kejakinan kami kepadanja, sehingga oleh sebab itu setjara tegas telah dikemukakan oleh semua Fraksi-fraksi Islam dalam sidang jang mulia ini untuk diterima mendjadi Dasar Negara kita.”

 

Begitulah, sekelumit kisah rekam jejak Faksi Islam yang menggema di Sidang Konstituante. Ideologi Islam yang mereka usung dan gemakan terus menerus, tanpa terkecuali. [Penulis: Muhammad Imadudin Siddiq/Editor: Muhammad Afifuddin Al Fakkar].

 

Sumber dan Daftar Pustaka

Jakarta. RI, 1958. Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante djilid 1. Indonesia.

Jakarta. RI, 1958. Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante djilid 2. Indonesia.

Jakarta. RI, 1958. Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante djilid 3. Indonesia.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

17 + fourteen =

Back to top button