Menyingkap Agenda Perang Melawan Islam
Perang melawan terorisme (war on terrorism) maupun perang melawan radikalisme (war on radicalism) merupakan propaganda Barat untuk menyerang Islam. Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat (AS) kini lebih sering menggunakan istilah perang melawan radikalisme ketimbang perang melawan terorisme. Mungkin karena proyek perang melawan radikalisme itu mempunyai obyek sasaran yang lebih luas.
Proyek perang melawan radikalisme tersebut dapat digunakan untuk menyasar siapapun yang anti Barat, baik pada aspek pemikiran maupun politik. Misalnya, umat Islam yang ingin menerapkan syariah Islam secara kaaffah dan menegakkan kembali Khilafah dapat mereka tuding sebagai kelompok radikal. Tentu ini merupakan langkah Barat untuk melanggengkan ideologi Kapitalismenya dan imperialismenya di dunia, khususnya di negeri-negeri Islam.
Melalui propaganda perang melawan radikalisme, Barat dapat melakukan framing negatif dengan memberikan stigma radikal tersebut kepada Muslim yang menentang ideologi Kapitalisme. Sebaliknya, mereka memuji Muslim yang pro ideologi Kapitalisme sebagai moderat.
Para penganut Islam moderat biasanya menolak formalisasi syariah oleh negara dalam format sistem Khilafah. Padahal Khilafah merupakan ajaran Islam, sebagaimana akidah, akhlak, ibadah dan muamalah.
Istilah radikalisme oleh Barat telah dijadikan sebagai alat untuk menyerang dan menghambat kebangkitan Islam. Barat melakukan monsterisasi bahwa Islam adalah paham radikal yang membahayakan. Monsterisasi inilah yang kemudian melahirkan Islamofobia di Barat dan seluruh dunia. Karena itu kemunculan Islamofobia tidak bisa dilepaskan dari perang peradaban Islam dengan Kapitalisme.
Islamofobia yang terus dipompa melalui proyek perang melawan radikalisme itu kini semakin massif. Berdasarkan “European Islamophobia Report 2020” dilaporkan bahwa Islamofobia di Eropa terus memburuk atau bahkan telah mencapai titik kritisnya. Menurut laporan tersebut, Jerman secara keseluruhan telah mendokumentasikan lebih dari 31.000 kasus kejahatan kebencian, termasuk 901 kejahatan kebencian anti-Muslim. Prancis mencatat total 1.142 kasus kejahatan kebencian termasuk 235 kasus terhadap Muslim (Islamophobia in Europe has Worsened in 2020, https://www.aa.com.tr, 29/12/2021).
Agenda Global Memerangi Islam
Pasca Blok Timur (Komunisme) pimpinan Uni Soviet runtuh, kekuasaan dunia secara politik ada di tangan Blok Barat (Kapitalisme) pimpinan AS. Untuk menjaga dominasinya di dunia, AS perlu membuat proyek politik global. Proyek ini bisa digunakan untuk menekan dan menghukum suatu negara yang tidak tunduk pada AS. Proyek tersebut tidak lain adalah global war on terrorism (GWOT) yang kini bermetamorfosis menjadi global war on radicalism (GWOR).
Robert Gilpin, analis politik dari Princeton University AS, pernah menyoroti GWOT tersebut dalam kaitannya dengan upaya AS untuk mendo-minasi dunia. Dia mempublikasikan hasil analisis-nya itu di International Relations Journal Tahun 2005 Vol 19(1) dengan judul, “War is Too Important to Be Left to Ideological Amateurs”.
Menurut Gilpin, proyek GWOT diarsiteki oleh kelompok ultra–nationalists atau imperialist-elite yang mendominasi pemerintahan Bush saat itu. Di antaranya adalah Wapres Richard Cheney, Menhan Donald Rumsfeld dan seorang pejabat tinggi di Kementrian Dalam Negeri John Bolton. Tujuan utama mereka adalah mempertahankan dominasi AS di dunia dan mencegah munculnya kekuatan lain yang membahayakan supremasi AS.
Gilpin menambahkan bahwa rencana mencapai dominasi global tersebut sebenarnya telah dirancang AS sejak masa Ronald Reagan. Kemudian pada masa Bush kembali ditegaskan dalam draft ”Cheney–Wolfowitz Doctrine”. Salah satu isi dokrin tersebut adalah pemakaian kekuatan militer AS untuk mencegah bangkitnya kekuatan lain di dunia. Faktanya kemudian memang mudah dilihat. Di bawah payung GWOT tersebut, AS bertindak seakan polisi dunia. AS bisa menghukum negara manapun di dunia melalui invasi militer dengan alasan negara tersebut mendukung atau menjadi poros terorisme.
Saat menjadi presiden, Donald Trump lebih memperjelas lagi bahwa target GWOT tersebut adalah gerakan Islam. Misalnya ia pernah mengatakan, “The threat from radical Islamic terrorism is very real, just look at what is happening in Europe and the Middle-East. Courts must act fast!” (Washingtonpost.com, 22/05/2017).
Trump telah secara tegas menyatakan tentang adanya ancaman nyata dari ‘radical Islamic terrorism’. Karena itu, menurut dia, perlu aksi cepat untuk menghadapinya.
Jelas, di dalam GWOT maupun GWOR hingga saat ini terdapat agenda kepentingan AS di dalamnya. Beberapa di antaranya adalah untuk menjaga dominasi AS sebagai pimpinan kapitalisme di dunia, legitimasi imperialisme dan mencegah kebangkitan Islam. Imperialisme atau penjajahan merupakan metode dasar penyebaran ideologi Kapitalisme. Seperti disebutkan di atas, AS telah menjadikan GWOT/R sebagai alat untuk mendominasi dunia di bawah ideologi kapitalismenya. Itu berarti juga AS akan mencengkeram dunia dalam imperialismenya yang dilegitimasi oleh GWOT/R.
Perang peradaban antara Islam dan Kapitalisme merupakan sebuah keniscayaan yang mesti terjadi. Ini sebagaimana diramalkan oleh Huntington dalam bukunya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996). Pasca runtuhnya ideologi Komunisme Uni Soviet, Islam menjadi satu-satunya ancaman bagi AS dan sekutunya dalam mewujudkan ideologi Kapitalismenya. Huntington menyatakan, “The rhetoric of America’s ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with militant Islam.”
Dengan demikian isu terorisme maupun radikalisme dalam wadah GWOT/R tersebut sejatinya digunakan oleh AS untuk menghadang kebangkitan Islam. Kebangkitan ini akan ditandai dengan tegaknya Kekhilafahan Islam. Kekhawatiran Barat terhadap Khilafah inilah yang melatarbelakangi serangkaian konspirasi, strategi dan kebijakan politik luar negeri mereka untuk mencegah Khilafah berdiri kembali. Tentu Barat sadar, jika Khilafah berdiri dan mempersatukan umat Islam sedunia dengan segenap potensi dan kekuatan yang dimiliki, maka hegemoni dan kepentingan Barat di dunia akan runtuh.
Jadi GWOT/R itu bukanlah untuk kepentingan negeri Muslim, tetapi untuk kepentingan negara-negara Barat penjajah. Memang mereka berdalih bahwa GWOT/R itu demi melindungi keamanan negeri Muslim dari bahaya aksi terorisme dan radikalisme. Padahal sejatinya hal tersebut hanyalah strategi mereka demi menghindari konflik terbuka dengan umat Islam melalui dua pendekatan.
Pertama: Mereka tidak melakukan serangan langsung terhadap Islam. Mereka menyamarkan-nya dengan perang melawan terorisme, radikalisme, fundamentalisme, atau berbagai ungkapan kamuflase lainnya. Pasalnya, kalau mereka menyatakan secara terbuka perang melawan Islam tentu akan memunculkan reaksi dari seluruh umat Islam di dunia. Hal seperti itu sangat tidak diinginkan oleh mereka untuk terjadi.
Kedua: Mereka meminjam tangan orang Islam untuk berperang melawan orang Islam lainnya. Apa yang terjadi di Irak dan Afganistan membuktikan kepada mereka bahwa berperang secara langsung dengan umat Islam sangat berat. Pasalnya, perlawanan umat Islam di negeri tersebut tidak mudah ditundukkan.
Mereka kemudian membentuk pemerintahan boneka di Irak dan Afganistan untuk memerangi rakyatnya sendiri. Hal seperti itu pulalah yang mereka terapkan pada negeri-negeri Muslim lainnya. Penguasa negeri tersebut diarahkan untuk memerangi rakyatnya sendiri yang Muslim dengan dalih perang melawan terorisme, radikalisme dan fundametalisme. Upaya itu sekaligus untuk menutupi fakta terorisme yang telah dilakukan AS di berbagai negeri Muslim.
Penyesatan opini yang telah mereka lakukan di balik perang melawan radikalisme itu harus selalu disingkap oleh umat Islam seraya menjelaskan ajaran Islam yang sesungguhnya. Dengan begitu masyarakat menjadi paham bahwa semua ajaran Islam, termasuk di dalamnya Khilafah, merupakan rahmat dari Allah SWT, bukan keburukan sebagaimana yang dipropagandakan oleh Barat. Dakwah Islam bersifat fikriyah (pemikiran) dan ‘unfiyah (tanpa kekerasan) sehingga tidak mungkin melahirkan terorisme.
Perlu pula dijelaskan bahwa ancaman sesungguhnya bagi negeri-negeri Muslim adalah sistem Kapitalisme. Terbukti berbagai kerusakan di bidang ekonomi, hukum, sosial dan politik yang terjadi di negeri-negeri Muslim justru bersumber pada penerapan sistem kapitalisme ini. Proyek GWOT/R adalah sarana bagi AS untuk mempropagandakan kapitalisme-sekularisme di negeri-negeri Muslim. Itu bagian strategi AS untuk semakin memperkuat cengkeraman imperialismenya.
Pada sisi lain, saat ini ada peningkatan kesadaran umat Islam di berbagai negeri Muslim, yakni kesadaran untuk menegakkan kembali syariah Islam secara kaaffah dalam naungan Khilafah. Apabila kesadaran tersebut makin menguat dan meluas maka tentu hal tersebut akan menjadi mimpi buruk bagi AS. Sebabnya, Khilafah tidak hanya menjadi pertanda berakhirnya imperialisme AS di negeri Muslim, namun juga menjadi pertanda runtuhnya peradaban Kapitalisme di dunia.
Masa Depan di Tangan Islam
Sebagaimana dipaparkan di atas bahwa ideologi Kapitalisme kini sedang berada di tepi jurang keruntuhannya. Sejalan dengan itu, AS sebagai pusat Kapitalisme dunia juga sedang dilanda berbagai keterpurukan. Berbagai gejolak politik, ekonomi, dan sosial serta kondisi buruk akibat pandemi diprediksi akan mempercepat rangkaian fase kejatuhan ideologi Kapitalisme tersebut.
Pada konteks perang peradaban (clash civilization), kondisi ini sangat menguntungkan bagi umat Islam yang sedang berjuang mengembalikan ideologi Islam ke pentas kehidupan melalui berdirinya kembali negara Khilafah. Apalagi secara internal kesadaran umat Islam untuk membangun kembali institusi Khilafah kini semakin menguat. Hal tersebut tentu terkait dengan semakin meningkatnya pemahaman umat terhadap ide Khilafah sebagai ajaran Islam. Diperkuat pula oleh kenyataan bahwa kondisi keterjajahan dan keterpurukan umat Islam saat ini memang membutuhkan institusi Khilafah sebagai kekuatan global untuk menyelesaikannya. Pada sisi lain, rezim lokal di negeri-negeri Islam kini semakin tidak dipercaya oleh umat.
Hal ini menunjukkan fakta kelemahan dan keterpurukan umat Islam akibat terpecah-belah ke dalam nation-state. Kondisi makin parah karena rezim di negeri-negeri Islam justru bersahabat dengan negara penjajah dan refresif kepada umat Islam. Berbagai fakta empiris ini tentu akan semakin memperkuat keinginan umat Islam untuk segera menegakkan kembali Khilafah sebagai satu kekuatan global dan pelindung umat di dunia internasional.
Berbagai potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam yang dimiliki umat Islam, baik secara kuantitas maupun kualitas, ditambah dengan kekuatan i’tiqaadi akan semakin memperkokoh perjuangan umat untuk segera menegakkan kembali negara Khilafah ar-Raasyidah tersebut. Sebuah negara yang akan mengatur dunia berdasarkan hukum syariah yang penuh rahmat. [Muhammad K. Shadiq]