Apa Yang Dimaksud Dengan Zat Allah?
Soal:
Dinatakan di dalam Kitab Nizhâm al-Islâm dalam topik Tharîq al-خmân: “Sesungguhnya Zat Allah berada di balik alam semesta, manusia dan kehidupan”. Apa makna ucapan ini?! Apakah Allah SWT memiliki zat? Apa makna kata dzât? Apa pula hukum orang yang mengingkari keberadaannya dan cukup dengan ucapan, “Saya mengimani Allah dan sifat-sifat-Nya tanpa meyakini bahwa Allah punya zat”?
Jawab:
Untuk menjelaskan makna zat Allah (DzâtulLâh) maka sebelum menjawab, perlu dijelaskan lebih dulu bagaimana memahami madlûl (makna) lafal.
Pertama: Untuk mengetahui madlûl lafal harus bersandar pada makna secara bahasa yakni al-haqîqah (secara bahasa), yaitu al-haqîqah al-lughawiyah; kemudian ‘urf, yakni al-haqîqah ‘urfiyah, baik apakah pada orang Arab secara umum atau secara khusus [al-ishthilâh]). Jika makna hakikat itu terhalang maka dibawa ke makna majaz.
Dengan menelusuri makna-makna dari kata dzât maka menjadi jelas hal berikut:
- Makna secara bahasa (al-ma’nâ al-lughawiy).
Pertama: Di dalam Mukhtâr ash-Shihâh halaman 109 karya Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Qadir ar-Razi (w. 660 H) dinyatakan: Dzû dengan makna pemilik, tidak ada kecuali dalam bentuk disandarkan (mudhâf). Jika dengan itu Anda mensifati nâkirah, Anda menyandarkan (meng-idhâfah-kan) pada nâkirah. Jika dengan itu Anda mensifati makrifat maka Anda menyandarkan (meng-idhâfah-kan) pada alif dan lam. Tidak boleh diidhafahkan pada mudhmar dan tidak pula pada Zaid dan semacamnya. Anda berkata: Marartu bi rajul[in] dzî mâl[in] wa bi imra‘at[in] dzâti mâl[in] wa bi rajulayn dzaway mâl[in] (dengan fathah wawu). Maknanya: Saya melewati seorang laki-laki pemilik harta dan melewati seorang wanita pemilik harta dan melewati dua orang laki-laki yang memiliki harta. Allah SWT berfirman:
وَأَشۡهِدُواْ ذَوَيۡ عَدۡلٖ مِّنكُمۡ ٢
Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian (QS ath-Thalaq [65]: 2).
Adapun ucapan mereka, “Dzâta marrat[in] wa dzâ shabâh[in] (Suatu kali dan suatu pagi),” maka itu merupakan zharaf zaman. Begitulah, kata dzâ dalam bahasa tidak datang di-idhâfah-kan pada isim ‘alam. Jadi tidak dikatakan Dzâtu Zayd, misalnya. Namun, mungkin dikatakan Dzû Zayd dan maknanya Hadzâ Zayd (Zaid ini).
Kedua: Kata dzâta datang dengan makna min ajli (karena). Dinyatakan di dalam Fathu al-Bârî Syarhu Shahîh al-Bukhârî: Al-Baihaqi menjelaskan di dalam Al-Asmâ‘ wa ash-Shifât apa yang ada tentang adz-dzât…Hadis Abu ad-Darda’, “Lâ tafqahu kulla al-fiqhi hattâ tamquta an-nâsa fî dzâtilLâh (Kamu tidak memahami semua fikih sampai kamu bisa membungkam manusia karena Allah). Para perawinya tsiqah, tetapi munqathi’.
Lafal dzât dalam hadis-hadis yang disebutkan itu dengan makna min ajli (karena) atau dengan makna haqq. Contohnya ucapan Hassan: Wa inna akhâ al-ahqâfi idz qâma fîhim yujâhidu fî dzâti al-ilâhi wa ya’dilu (Sungguh saudara al-ahqâf jika dia berdiri di tengah mereka, dia bersungguh-sungguh karena Allah dan berlaku adil). Kata dzât dalam ucapan Hassan yakni li ajlillâh (karena Allah) atau min ajlillâh (karena Allah).
Ketiga: Kata dzât datang dengan makna jihah (arah/aspek) atau jânib (sisi) sebagaimana di dalam berbagai tafsir (Lihat: Tafsîr ath-Thabarî (w. 310 H)/Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta`wîl ayyi al-Qur`ân, tafsir QS al-Kahfi [18]: 18; At-Tahrîr wa at-Tanwîr “Tahrîr al-Ma’nâ as-Sadîd wa Tanwîr al-‘Aqli al-Jadîd min Tafsîr al-Kitâb al-Majîd karya Muhammad ath-Thahir bin Muhammad bin Muhammad ath-Thahir bin ‘Asyur at-Tunisi (w. 1393 H), tafsir QS al-Kahfi [18]: 18).
Keempat: Kata dzât datang dengan makna thâ’atulLâh. Al-Hakim meriwayatkan di dalam Al-Mustadrak, dari Sulaiman bin Muhammad bin Kaab bin ‘Ujrah, dari Zainab binti Abi Said, dari Abu Said al-Khudzri ra. yang berkata: Orang-orang mengadukan Ali bin Abi Thalib kepada Rasulullah saw. Lalu beliau berdiri di tengah kami dan berpidato. Aku mendengar beliau bersabda:
أَيُّهَا النَّاسَ لَا تَشْكُوْ عَلِيًا فَوَ الله إِنَّهُ لَأَخْشَنُ في ذَاتِ الله وَفِيْ سَبِيْلِ الله
Wahai manusia, jangan mengeluhkan Ali. Sebab, demi Allah, sungguh dia sangat keras dalam ketaatan kepada Allah dan di jalan Allah (HR al-Hakim).
Jelas dari makna-makna secara bahasa bahwa makna-makna itu tidak sesuai (berlaku) dengan topik-topik yang disebutkan di dalam teks Kitab Nizhâm al-Islâm yang disebutkan dalam pertanyaan.
Haqîqah ‘urfiyah menurut orang Arab berkaitan untuk kata ini hampir tidak jauh darinya. Dengan begitu, maknanya harus dibawa ke makna al-haqîqah al-‘urfiyah al-khashshah, yakni al-ishthilâh (istilah).
- Makna istilah.
Makna istilahlah yang sesuai (berlaku) di sini. Kata dzât secara istilah bermakna an-nafsu (diri); merupakan makna al-haqîqah (maksudnya bukan majaz).
Pertama: Imam al-Bukhari menggunakan kata ini dengan makna ini. Di dalam Shahîh–nya beliau membuat bab yang dinamai: Bâb Mâ Yudzkaru fî adz-Dzâti wa an-Nu’ût wa AsâmîlLâh.
‘Iyadh mengatakan: Dzâtu asy-syay`i nafsuhu wa haqîqatuhu (Zat sesuatu adalah dirinya dan hakikatnya). Ahli kalam menggunakan kata adz-dzât dengan alif dan lam. Banyak ahli nahwu menilai mereka rancu. Sebagian ahli nahwu yang lain memperbolehkannya.
Kedua: Perlu diketahui bahwa apa yang disebutkan oleh Ibnu Hajar tentang ucapan para fuqaha di atas adalah disebutkan di kitab-kitab mereka antara lain sebagai berikut:
– Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân karya al-Qasim al-Husain bin Muhammad yang dikenal dengan ar-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H). Dinyatakan di dalamnya: Para ahl al-ma’ânî meminjam kata adz-dzât dan menjadikan kata itu sebagai ungkapan tentang zat sesuatu, baik berupa substansi atau aksiden…Mereka memperlakukannya seperti an-nafsu wa al-khâshah. Mereka mengatakan: dzâtuhu, nafsuhu wa khâshshatuhu (dirinya dan kekhususannya). Hal itu bukan dari ucapan orang Arab.
– Masyâriq al-Anwâr ‘alâ Shahâh al-آtsâr karya al-Qadhi Abi al-Fadhl ‘Iyadh bin Musa bin Iyadh al-Yahshabiy as-Sabti al-Maliki (w. 544 H). Dinyatakan di dalamnya: …Jadi dzât asy-syay` (zat sesuatu) adalah nafsûhu (dirinya)…Para fuqaha dan mutakallim menggunakan kata adz-dzât dengan alif dan lam…Sebagian ahli nahwu memperbolehkan-nya. Ucapan mereka adz-dzât itu merupakan kiasan dari an-nafsu (diri) dan haqîqah asy-syay`i (hakikat sesuatu)…
Ketiga: Dari paparan sebelumnya menjadi jelas bahwa kata dzâtu dalam istilah bermakna an-nafsu (diri). Makna ini bukan hakikat bahasa, yakni bukan dari ucapan orang Arab, melainkan adalah hakikat ‘urfiyah khusus, yakni istilah (al-ishthilâh). Artinya, adz-dzâtu dengan makna an-nafsu (diri) adalah istilah dan bukan makna bahasa.
Penyandaran (idhâfah) an-nafsu kepada Allah SWT merupakan perkara yang dinyatakan oleh Allah SWT di dalam al-Quran (Lihat: Tafsîr ath-Thabarî, tafsir QS Ali Imran [3]: 28 dan 30).
Begitulah. Makna bahasa tidak sesuai dengan makna dzâtulLâh yang dinyatakan di dalam Kitab Nizhâm al-Islâm. Yang digunakan adalah makna secara istilah, yakni dengan makna nafs[un], yang merupakan makna haqîqah, sebagaimana dinyatakan dalam Fathu al-Bârî Syarhu Shahîh al-Bukhârî.
Atas dasar itu ungkapan dzâtulLâh dalam Kitab Nizhâm al-Islâm dimaknai dengan makna istilahnya, yakni nafsulLâh, yang merupakan makna haqîqah. Namun, tentu kita tidak mungkin dapat mengindera Zat Allah dengan makna nafsuhu (Diri-Nya) SWT dalam “makna hakikatnya”. Zat Allah dengan makna ini berada di balik alam semesta, manusia dan kehidupan. Artinya, Allah SWT itu nafsuhu (Diri-Nya) berada di luar tiga perkara yang terindera dan terjangkau ini, yakni tidak berada dalam wilayah pemikiran akal manusia atau tidak berada di dalam wilayah penginderaan indera kita (Lihat: QS al-An’am [6]: 103).
Kedua: Adapun pertanyaan Anda: Apa hukum orang yang mengingkari eksistensinya dan cukup dengan ucapan “saya mengimani Allah dan sifat-sifatnya tanpa meyakini bahwa Dia punya dzât”? Tampak di situ ada kerancuan pada orang yang mengatakan ucapan ini. Hal itu karena istilah terhadap lafal dzâtulLâh dengan makna nafsuhu, “yang merupakan makna haqîqah”, tidak ada masalah di dalamnya. Jadi pengingkaran bahwa Allah SWT memiliki dzât dengan makna ini (nafs[un]) dan merupakan makna haqîqah, tidak mungkin dikatakan oleh orang yang memahami makna tersebut menurut ketentuannya. Apalagi makna ini ada di dalam nas-nas syariah (Lihat, misalnya, QS Ali Imran [3]: 28 dan 30).
Namun demikian, di dalam definisi-definisi syariah kita harus berpegang pada definisi itu tanpa memasukkan perkara-perkara lainnya. Misalnya, Rasul saw. bersabda:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بارِزاً يَوْماً لِلنَّاسِ فَأَتاه جِبْرِيلُ فَقَالَ مَا الْإِيمَانُ؟ قَال الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ وَمَلَائِكَتِه وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنُ بِالْبَعْثِ
Nabi saw. pada satu hari berada di depan orang-orang. Lalu Jibril datang kepada beliau dan berkata, “Apa iman itu?” Beliau bersabda, “Iman adalah engkau mengimani Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, para rasul-Nya dan Hari Kebangkitan…” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan itu, Anda jika ditanya tentang iman, Anda akan menyatakan apa yang disebutkan di dalam hadis tersebut. Begitulah makna-makna syariah dipahami.
WalLâhu a’lam wa ahkam. []
[Dikutip dari Jawab-Soal Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 04 Rajab ak-Khayr 1443 H/05 Februari 2022 M]
Sumber:
https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/80129.html
https://www.facebook.com/photo?fbid=484916779862363&set=a.469598088060899&_rdc=1&_rdr