Bermuamalah Dengan Bank Syariah
Soal:
Apakah bank-bank islami bermuamalah berdasarkan syariah islamiyah di Tulkarim dan Provinsi Tepi Barat?
Apakah boleh menitipkan (menyetorkan) uang di situ ataukah itu hanya nama untuk menutupi aktifitas-aktifitas ribawi? Bagaimana kita memastikan hal itu?
Jawab:
Pertama: Kami telah menjawab pertanyaan semisal itu lebih dari satu kali! Pada 20/8/2010, 5/3/2011…dst. Di antara jawaban-jawaban adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya akad-akad di dalam Islam itu tidak rumit dan bukan tidak jelas. Akad-akad di dalam Islam itu mudah telah dijelaskan di dalam syariah sebagai berikut:
Penjual suatu barang haruslah pemilik barang itu. Lalu dia tawarkan untuk dijual. Pembeli melihat barang tersebut. Jika dia menerima maka terjadikan akad. Jika tidak, barang itu tetap milik pemiliknya itu. Tidak sah jual-beli barang yang tidak dimiliki oleh penjualnya. Di antara dalil-dalilnya:
Dari Hakim bin Hizam, ia berkata: Aku berkata, “Ya Rasulullah, seseorang datang kepadaku. Ia memintaku menjual apa yang bukan milikku yang aku jual. Lalu aku membelinya dari pasar.” Beliau bersabda:
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Jangan engkau jual apa yang bukan milikmu (HR Ahmad).
Semisal itu, seandainya Khalifah ingin mendistribusikan kepemilikan umum kepada masyarakat, atau mendistribusikan kepada masyarakat makanan dari kepemilikan negara, dan masing-masing orang mengetahui bagiannya, maka orang tidak boleh menjual bagiannya lebih dulu sebelum dia menerimanya dari negara.
Ini yang dijalani oleh para Sahabat Rasulullah saw. Dari Nafi’, ia berkata: Hakim bin Hizam pernah membeli makanan yang diperintahkan oleh Umar bin al-Khaththab untuk orang-orang,. Lalu Hakim menjual makanan itu sebelum dia menerimanya. Hal itu sampai kepada Umar bin al-Khaththab. Umar mengembalikan makanan itu kepada dia. Umar berkata:
لَا تَبِعْ طَعَاماً ابْتَعْتَهُ حَتَّى تَسْتَوْفِيَه
Jangan engkau jual makanan yang engkau beli sampai engkau menerimanya (HR Malik).
Imam Malik telah meriwayatkan:
Shukuk (cek) telah keluar untuk orang-orang pada zaman Marwan bin al-Hakam berupa makanan yang disimpan di al-Jâri (tempat di pantai yang di situ makanan dikumpulkan dan disimpan). Lalu orang-orang memperjualbelikan shukuk (cek) itu di antara mereka sebelum mereka menerimanya. Zaid bin Tsabit dan seseorang dari Sahabat Rasulullah saw. lalu menemui Marwan bin al-Hakam. Keduanya pun berkata, “Apakah engkau menghalalkan jual-beli riba, wahai Marwan?” Marwan berkata: “Aku berlindung kepada Allah. Apa itu?” Keduanya berkata, “Shukuk (cek) ini diperjualbelikan orang-orang. Mereka menjualnya sebelum mereka menerimanya (makanan).” Marwan pun mengirim para penjaga untuk menelusuri shukuk (cek) itu, lalu mereka ambil dari tangan orang-orang dan mereka kembalikan kepada pemiliknya (HR Malik).
Namun demikian, muncul di negeri-negeri kaum Muslim lembaga-lembaga yang melakukan trik terhadap syariah dan menyebut dirinya sendiri “islâmi” seperti bank yang disebut “islami”. Lembaga itu bermuamalah secara haram, tetapi tidak dengan cara ribawi seperti muamalah bank-bank ribawi. Hanya saja, bank-bank yang diklaim islami tersebut tetap berjalan dengan cara haram dalam bentuk lain:
- Jika Anda pergi ke bank konvensional, lalu Anda ingin utang, maka bank memberi Anda (utang) dengan bunga ribawi tertentu. Namun, jika Anda pergi ke bank yang disebut “islami” dan Anda ingin utang, maka bank itu memberi Anda utang tanpa tambahan. Namun, karena bank manapun bukanlah lembaga yang membantu orang karena Allah, dia tetap menginginkan tambahan meski tidak secara gamblang sebagaimana yang dilakukan oleh bank konvensional. Sebabnya, bank itu namanya islami! Dia tidak ingin bermuamalah dengan riba yang haram dengan pengharaman yang diketahui hingga oleh orang umum sekalipun. Karena itu bank itu berkata kepada Anda, “Untuk apa Anda ingin utang?” Lalu Anda katakana, “Untuk membeli mobil atau barang tertentu, sementara saya tidak memiliki uang.” Lalu bank berkata kepada Anda, “Baik. Kami belikan Anda mobil (barang) itu dan kami bayar harganya secara kontan. Lalu kami jual kepada Anda secara kredit dengan tambahan begini.” Lalu dibuatlah kesepakatan dengan Anda sebelum bank membeli barangnya. Artinya, jual-beli antara bank dengan Anda secara angsuran (kredit) telah terjadi dan ditandatangani akadnya dan menjadi mengikat sebelum bank membeli barang tersebut. Berikutnya Anda terikat untuk mengambil barang itu setelah bank membelinya. Artinya, akad jual-beli telah dilakukan sebelum pemilikan bank atas barang itu. Anda tidak membeli barang setelah bank memiliki barang tersebut dan menawarkannya kepada Anda sehingga Anda bisa setuju atau tidak setuju. Di sini Anda tidak mampu menolak. Sebabnya, pada asalnya barang itu dibeli untuk Anda, bukan untuk bank. Jadi itu merupakan jual-beli apa yang tidak dimiliki. Ini secara syar’i tidak boleh. Namun, seandainya bank itu punya showroom mobil miliknya dan menawarkannya kepada orang-orang, lalu dia jual kepada orang yang ingin secara angsuran (kredit), tentu sah jual-beli tersebut. Hanya saja, bank bukanlah pedagang dengan makna yang telah dikenal. Bank hanya menginginkan keuntungan atas harta yang dia bayarkan. Jadi bank itu memang tidak mengambil bunga ribawi yang tidak sesuai dengan namanya yang “islâmi”. Namun, bank tersebut malah mendapatkan keuntungan lebih banyak dari itu melalui muamalah yang tidak syar’i, yaitu jual-beli apa yang tidak dimiliki, yang diharamkan di dalam Islam!
- Mereka menyebut transaksi di atas dengan istilah “murâbahah”, padahal bukan. Jual-beli murâbahah secara syar’i adalah Anda pemilik barang dan Anda tawarkan untuk dijual. Lalu pembeli datang dan menawar harganya kepada Anda. Kemudian Anda berkata kepada dia, “Beri saya untung sekian atas apa yang Anda beli itu.” Lalu dia sepakat setelah dia menelaahnya atas harga yang bebankan untuk pembeliannya dan dia merasa tenteram dengan itu. Lalu dia membayar harga ini dan keuntungan yang Anda berdua sepakati. Seperti yang Anda lihat, barang itu dimiliki oleh penjual ketika dia menawarkannya kepada pembeli. Jelas bahwa ini bukan yang ditransaksikan oleh bank yang disebut islâmi itu atau lembaga-lembaga serupa.
- Kadang-kadang mereka menyebut transaksi tersebut dengan “wa’d[un] (komitmen)” dan bukan “bay’[un] (jual beli)”. Ini rancu dan perkataan yang tidak benar. Sebabnya, al-wa’du (komitmen) atau al-muwâ’adah (komitmen timbal balik) itu tidak bersifat mengikat. Namun, di dalam muamalah bank, komitmen itu bersifat mengikat. Kesepakatan dibuat sebelum bank memiliki barang. Oleh karena itu, orang tidak bisa berkata kepada bank, setelah bank memiliki mobil itu, “Saya tidak ingin membelinya.” Ini tidak mungkin terjadi di dalam muamalah bank. Sebabnya, akad telah terjadi sebelum pembeliannya (oleh bank). Itu bersifat mengikat dan bukan termasuk komitmen. Adapun al-wa’du bi al-bay’i (komitmen menjual) atau al-wa’du bi asy-syirâ`i (komitmen membeli) maka itu tentu saja tidak bersifat mengikat.
Al-wa’du bi asy-syirâ‘i (komitmen membeli) adalah tidak bersifat mengikat. Yang mengikat adalah akad yang dilakukan dengan ijab dan qabul. Ini telah terjadi antara bank dan orang itu sebelum bank memiliki mobil tersebut. Yang terjadi di antara bank dan orang itu adalah akad jual-beli yang mengikat bagi orang itu. Jadi jual-beli secara riil dan praktis telah terjadi antara bank dan orang itu sebelum bank memiliki mobil tersebut. Dalilnya, ketika bank memiliki mobil tersebut, orang itu tidak bisa menolak untuk membelinya. Ini jelas menyalahi hukum syariah yang menjelaskan jual-beli di dalam Islam.
- Kadang-kadang mereka menyebutnya pembelian dan bukan penjualan, dan bahwa orang itu adalah orang yang menyuruh membeli (âmiru bi asy-syirâ‘i). Dia berkata kepada bank, “Beli untukku mobil.” Ini juga merupakan perkataan yang rancu. Sebabnya, muamalah ini dengan sifat ini merupakan wakalah, yakni bahwa orang itu mewakilkan kepada bank dalam membeli untuk dia mobil itu dengan harga sekian dengan imbalan upah tertentu untuk bank sebagai wakil membeli. Namun, yang terjadi tidak demikian. Sebabnya, mobil itu dicatatkan dengan nama bank. Jadi banklah yang membelinya dari showroom. Bank lalu menjualnya dengan angsuran (kredit) untuk orang itu. Mobil itu tetap dicatatkan dengan nama bank sampai orang itu membayar harganya yang disebut angsuran. Mobil itu tidak dicatatkan dengan nama orang itu. Bank adalah wakil orang itu dalam membeli dengan imbalan upah tertentu, tetapi tidak demikian sama sekali. Itu dari semua aspek bukanlah wakalah. Seandainya orang itu mampu secara finansial dan dia ingin mewakilkan kepada bank untuk membelikan mobil untuk dia dengan upah sekian, seandainya orang itu mampu secara finansial atas yang demikian, niscaya dia tidak datang ke bank, tetapi niscaya dia lebih afdhal secara pengalaman dalam membeli dan lebih ringan upah (biaya)-nya dari bank.
Oleh karena itu apa yang mereka namakan jual-beli seperti itu tidak boleh.
Ringkasnya, muamalah ini tidak boleh secara syar’i.
Sungguh membuat saya takjub, komentar salah seorang mereka seputar bank islami. Dia mengatakan bahwa bank konvensional menarik harta orang-orang yang tidak peduli dengan transaksi dengan riba. Tinggallah orang-orang yang agamis (relijius) yang tidak bermuamalah dengan riba dan harta mereka tetap berada di luar bank-bank konvensional. Bank-bank yang disebut “islâmi”-lah yang menarik harta orang-orang yang agamis. Bank-bank ini memanfaatkannya dengan cara bukan riba yang pengharamannya diketahui oleh orang umum. Bank itu memanfaatkannya dengan cara muamalah lain yang tetap tidak syar’i. Hanya saja, agar mudah meyakinkan orang-orang awam bahwa itu berasal dari syariah, dicarilah istilah di dalam syariah seperti al-murâbahah, misalnya. Itu tidak jelas seperti riba, tetapi kadang tidak diketahui oleh banyak orang yang agamis sehingga mereka menduga kebolehannya.
Kedua: Adapun pertanyaan Anda tentang menempatkan harta sebagai amanah pada bank-bank ini, hal itu telah dijawab atas pertanyaan serupa pada 14/10/2012 sebagai berikut:
Al-Wasîlah ilâ al-harâm harâm[un] (Sarana yang mengantarkan pada keharaman adalah haram). Benar hal itu berlaku atas segala hal, baik perbuatan individual seperti seseorang melakukan secara sepihak, atau perbuatan dari dua pihak, yakni akad. Pembedanya adalah bahwa ketika Anda memanfaatkan wasilah/sarana yang mengantarkan pada keharaman, Anda bertanggung jawab atas keharaman ini. Ketika Anda menjadi satu pihak di dalam akad maka keharaman itu terjadi pada pihak yang menempuh wasilah yang mengantarkan pada keharaman itu. Jika kedua pihak menempuh jalan ini maka dosa atas keduanya.
Penempatan harta Anda sebagai amanah, yakni rekening giro tanpa bunga ribawi di bank, maka jika dalam dugaan kuat Anda bahwa bank akan menggunakan rekening giro Anda dalam riba, maka tidak boleh Anda menempatkan amanah ini (rekening giro) pada bank tersebut. Hanya saja, bank memisahkan antara amanah-amanah dengan bunga ribawi dan rekening giro tanpa bunga ribawi. Adapun harta yang ditempatkan dengan bunga maka digunakan dalam riba dan tidak diragukan dalam hal itu. Adapun rekening giro maka kadang digunakan, kadang dari rekening giro Anda atau dari rekening selain Anda. Hal itu karena rekening giro bisa ditarik kapan saja oleh pemiliknya. Oleh karena itu, itu menyerupai menempatkan amanah pada orang fasik. Jika Anda terpaksa untuk melakukan itu maka tidak ada dosa atas Anda. berdosa jika dia menggunakan amanah itu bukan pada tempatnya selama Anda tidak mengetahui hal itu atau rela. Begitulah bank, jika Anda tahu bahwa bank menggunakan rekening giro Anda di dalam riba maka tidak boleh.
Tentu saja yang lebih afdhal, Anda tidak menempatkan uang di bank atau pada orang fasik itu.
Namun, semua ini jika bank itu terakadkan secara shahih, seperti merupakan milik individu, atau milik negara, atau syirkah yang islami, atau syirkah musâhamah (PT) yang terakadkan bagi pelakunya. Bukan syirkah musâhamah (PT) yang memiliki akad yang batil. Jika tidak, maka bermuamalah dengannya adalah tidak boleh dalam semua kondisi. [Syaikh Athal bin Khalil Abu ar-Rasytah, 01 Muharram 1443 H/09 Agustus 2021 M]
Sumber:
http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/77083.html
https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/2989876937924977?_rdc=1&_rdr