Fikih

Sedekah Anak Atas Nama Ayahnya

Soal:

Rasul saw. bersabda, “Jika Anak Adam meninggal maka terputuslah (pahala) amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah; ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendoakan dirinya.” (HR Muslim).

Apakah disyaratkan, sedekah jariyah itu dikeluarkan oleh orang yang meninggal itu sebelum wafatnya? Ataukah jika anak-anaknya bersedekah atas ruh (nama)-nya juga dihitung untuk dirinya?

 

Jawab:

Hadis tersebut adalah tentang amal si mayit, “terputuslah amalnya kecuali tiga”; yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan dirinya.

Adapun pahala amal orang lain yang sampai kepada dia maka di situ ada amal-amal atas namanya yang dilakukan oleh orang lain. Pahalanya sampai kepada dia. Di antaranya sedekah atas namanya oleh anak-anaknya dan mereka meniatkan pahalanya untuk dirinya:

Asy-Syaukani mengatakan di dalam Nayl al-Awthâr: Abu Hurairah ra. bertutur:

أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ أَبِيْ مَاتَ وَلَمَ يُوْصِ، أَفَيَنْفَعُهُ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهُ؟ قَال: نَعَمْ [رَوَاهُ أَحْمَدْ وَمُسْلِمٌ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ]

Seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw., “Ayahku telah meninggal dan dia tidak mewasiatkan apa-apa. Apakah bermanfaat untuk dia jika saya bersedekah atas namanya?” Beliau bersabda, “Benar.” (HR Ahmad, Muslim, an-Nasai dan Ibnu Majah).

 

Aisyah ra. juga bertutur:

أَنَّ رَجُلاَ قَالَ لِلنَّبي صلى الله عليه وسلم: إِنَّ أُمِّي اُفْتُلِتَتْ نَفْسُهَا، وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ نَعَمْ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw., “Ibuku telah meninggal dan aku menduga dia, seandainya dia berbicara, niscaya dia bersedekah. Apakah untuk dia ada pahala jika aku bersedekah atas namanya?” Beliau bersabda, “Benar.”  (Muttafaq ‘alayh).

 

Al-Hasan pun bertutur:

عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ أَنَّ أُمَّهُ مَاتَتْ فَقَال: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ قُلْتُ: فَأَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَال: سَقْيُ الْمَاءِ، قَالَ الْحَسَنُ: فَتِلْكَ سِقَايَة آلِ سَعْدٍ بِالْمَدِينَةِ

Dari Saad bin Ubadah dikatakan bahwa ibunya meninggal. Lalu dia berkata, “Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal. Apakah aku boleh bersedekah atas namanya?” Beliau bersabda, “Benar.” Aku (Saad bin Ubadah) berkata, “Sedekah apakah yang paling utama?” Beliau bersabda, “Sumber air.” Al-Hasan berkata: Itu adalah sumber air keluarga Saad di Madinah (HR Ahmad dan an-Nasai).

 

Ucapannya, “hal itu bermanfaat untuk dirinya,” di dalamnya ada dalil bahwa apa yang dilakukan oleh anak untuk bapaknya yang Muslim berupa puasa dan sedekah maka pahalanya mengikutinya. Ucapannya: “uftulitat” dengan redaksi pasif (majhûl) maknanya telah meninggal. Begitulah di dalam al-Qâmûs. Ucapannya “nafsu”, dengan dhammah, menurut yang lebih masyhur, menggantikan posisi pelaku. Ucapannya “saqyu al-mâ`” di dalamnya ada dalil bahwa saqyu al-mâ` merupakan sedekah yang paling utama.

Dalam redaksi Abu Dawud dikatakan:

فَأَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ : الْمَاءُ، فَحَفَرَ بِئْرًا، وَقَال: هَذِهِ لِأُمِّ سَعْدٍ

Sedekah apakah yang paling utama? Nabi saw. bersabda, “Air.” Lalu Saad bin Ubadah menggali sumur dan dia berkata, “Ini untuk ibunya Saad.” (HR Abu Dawud).

 

Ad-Daraquthni mengeluarkan hadis ini di dalam Gharâ‘ib Mâlik dan al-Muwatha’  telah mengeluarkan hadis dari Saad bin Ubadah bahwa:

خَرَجَ سَعْدٌ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم: فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ وَحَضَرَتْ أُمَّهُ الْوَفَاةُ بِالْمَدِينَةِ، فَقَالَ لَهَا: أَوْصِي، فَقَالَت: فِيمَ أُوصِي وَالْمَالُ مَالُ سَعْدٍ؟ فَتُوُفِّيَتْ قَبْلَ أَنْ يَقْدَمَ سَعْدٌ

Saad pernah keluar bersama Nabi saw. pada salah satu peperangan beliau dan ibunya Saad wafat di Madinah. Lalu orang berkata kepada ibunya (sebelum wafatnya), “Berwasiatlah.” Ibunya berkata, “Dalam hal apa aku berwasiat, sementara harta itu milik Saad?” Lalu ibunya wafat sebelum Saad tiba di Madinah.

 

Lalu ia menyebutkan hadis tersebut. Dikatakan: Laki-laki yang tidak disebutkan di hadis Aisyah dan hadis Ibnu Abbas adalah Saad bin Ubadah. Yang menunjukkan hal itu bahwa al-Bukhari setelah hadis penuturan Aisyah ra. menyatakan hadis Ibnu Abbas dengan lafal:

إنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ قَالَ: إنَّ أُمِّيَ مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ

Saad bin Ubadah berkata, “Ibuku telah meninggal dan dia punya kewajiban nazar.” (HR al-Bukhari).

 

Seolah itu merupakan tanda bahwa orang yang tidak disebutkan di hadis Aisyah adalah Saad.

Hadis-hadis bab ini menunjukkan bahwa sedekah dari anak itu menyusul (mengikuti) kedua orangtuanya setelah kematian keduanya tanpa perlu wasiat dari keduanya dan pahala itu sampai kepada keduanya. Jadi dengan hadis-hadis ini dikhususkanlah keumuman firman Allah SWT:

وَأَن لَّيۡسَ لِلۡإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ  ٣٩

Sungguh seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah dia usahakan (QS an-Najm [53]: 39).

 

Namun, di dalam hadis-hadis bab ini tidak ada kecuali sedekah dari anak menusul (mengikuti) orangtuanya. Telah terbukti bahwa anak seseorang termasuk bagian dari usahanya sehingga tidak memerlukan alasan pengkhususan.

Dalam Syarh an-Nawawi ‘alâ Muslim (3/444) dinyatakan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Numair, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyrin, telah menceritakan kepada kami Hisyam dari bapaknya, dari Aisyah ra. bahwa seorang laki-laki pernah datang kepada Nabi saw. Lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal dan dia tidak mewasiatkan apa-apa. Aku menduga seandainya dia berbicara niscaya dia ingin bersedekah. Apakah untuk dia ada pahala jika aku bersedekah atas namanya?” Beliau bersabda, “Benar.

Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Said dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah: Telah menceritakan kepadaku ‘Ali bin Hujrin; telah memberitahu kami ‘Ali bin Mushir; telah menceritakan kepada kami al-Hakam bin Musa, telah menceritakan kepada kami Syuaib bin Ishaq. Semuanya dari Hisyam dengan sanad ini. Di dalam hadis Abu Usamah dikatakan, “Dia tidak berwasiat.” Demikian sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Bisyrin, sementara yang lainnya tidak mengatakan hal itu.

Ucapan laki-laki itu, “Yâ RasûlalLâh, inna ummî iftalatat nafsahâ (Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal).”

Kami tetapkan: nafsahâ dan nafsuhâ, dibaca rafa’ (nafsuhâ) dengan ketentuan itu adalah maf’ul yang tidak disebutkan pelakunya. Dibaca nashab (nafsahâ) bahwa itu adalah maf’ul (obyek) kedua. Al-Qadhi berkata: “Mayoritas riwayat kami tentang ini dengan nashab. Ucapannya, “iftalatat”, dengan huruf al-fâ`. Ini adalah benar diriwayatkan oleh ahli hadis dan selain mereka. Ibnu Qutaibah meriwayatkan “iqtatalat nafsahâ” dengan al-qâf. Ia berkata: “Itu merupakan kata yang dikatakan untuk orang yang meninggal tiba-tiba. Juga dikatakan untuk orang yang dibunuh oleh jin dan cinta yang sangat (al-‘isyqu). Yang benar adalah al-fâ`. Mereka mengatakan, “Maknanya adalah meninggal tiba-tiba.” Semua perbuatan tanpa jeda maka uftulita. Dikatakan: uftulita al-kalâm wa iqtarahahu wa iqtadhabahu jika irtajalahu (melakukannya tanpa persiapan).

Ucapannya: “Apakah untuk dia ada pahala jika aku bersedekah atas namanya?” Beliau menjawab, “Benar.”

Jadi ucapannya, “In tashadaqtu (Jika aku bersedekah),” adalah dengan kasrah hamzah dari in (jika). Ini tidak ada perbedaan pendapat tentangnya. Al-Qadhi mengatakan: “Begitulah riwayat tentangnya.” Dia berkata: “Selainnya tidak benar sebab tidak lain dia bertanya tentang apa yang belum dilakukan sama sekali.”

Di dalam hadis ini jelas bahwa sedekah atas nama si mayit bermanfaat untuk si mayit dan pahalanya sampai kepada dia. Demikian itu juga merupakan ijmak ulama. Begitulah mereka berijmak atas sampainya doa, dan pembayaran utang dengan nas-nas yang dinyatakan pada semua. Juga sah berhaji atas nama si mayit jika itu merupakan haji Islam (yakni wajib). Begitu pula jika si mayit berwasiat haji sunnah (juga sah) menurut yang lebih shahih menurut kami. Para ulama berbeda pendapat tentang shawab jika si mayit meninggal dan dia punya tanggungan puasa. Yang raajih adalah bolehnya berpuasa atas nama si mayit karena hadis-hadis shahih tentang itu. Yang masyhur dalam mazhab kami bahwa bacaaan al-Quran pahalanya tidak sampai kepada si mayit. Sekelompok dari ashhaab kami mengatakan: pahalanya sampai kepada si mayit. Dengan itu dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal. Adapun shalat dan semua ketaatan maka menurut kami dan jumhur adalah tidak sampai. Ahmad berkata, “Pahala semua itu sampai seperti haji.”

Begitulah, sedekah atas nama bapak Anda dan Anda niatkan untuk dirinya, maka pahalanya sampai kepada dia. Insya’a Allah.

WalLâh a’lam wa ahkam. []

 

[Dikutip dar; Jawab-Soal Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 09 Syawal 1443 H/10 April 2022 M]

 

Sumber:

https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/81424.html

https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/527331618954212

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

11 + 15 =

Back to top button