Gurita LGBTQ Mengepung Indonesia
Akhir November lalu Amerika Serikat telah membatalkan perjalanan utusan khusus untuk hak-hak LGBTQ ke Indonesia setelah kelompok Islam paling berpengaruh di negara itu menolak kunjungan tersebut. Sedianya utusan khusus Jessica Stern akan mengunjungi Indonesia sebagai bagian dari perjalanan ke Asia Tenggara di tiga negara Asia Tenggara yaitu, Vietnam, Filipina dan Indonesia. Dalam kunjungannya, sedianya Stern akan bertemu dengan pejabat Pemerintah dan perwakilan dari masyarakat sipil untuk membahas hak asasi manusia, termasuk memajukan hak asasi manusia LGBTQI+. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan pernyataan, “Sebagai bangsa yang beragama dan beradab, kita disuruh untuk menghormati tamu. Namun, kami tidak bisa menerima tamu yang datang ke sini untuk merusak dan mengacaukan nilai-nilai luhur agama dan budaya bangsa kami,” kata Wakil Ketua Dewan, Anwar Abbas, dalam sebuah pernyataan.
Diplomasi LGBTQ AS: Soft Power yang Meracuni Asia
Penolakan MUI dan berbagai tokoh-tokoh Muslim terkemuka di Indonesia bukan tanpa alasan. Kehadiran Jessica Stern adalah simbol arogansi AS untuk memaksakan nilai-nilai mereka pada negeri Muslim. Utusan Khusus AS Jessica Stern awalnya direncanakan akan bertemu dengan para pejabat Pemerintah dan perwakilan dari masyarakat sipil untuk membahas HAM, termasuk HAM LGBTQ+. Namun, soal agenda HAM ini Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam keterangan tertulisnya merespon dengan tegas bahwa alasan bela HAM di balik kunjungan Jessica Stern adalah sikap yang tebang pilih. Menurut Mu’ti, masalah pelanggaran HAM sudah jelas-jelas terjadi di Palestina, tetapi Amerika Serikat (AS) diam seribu bahasa.
Di balik semua fenomena meluasnya LGBT dan kampanye melalui gerakan sosial yang massif, terdapat peran dan campur tangan politik HAM luar negeri Amerika Serikat (AS). AS begitu gencar dalam mengkampanyekan legalisasi LGBT ke seluruh dunia, termasuk dengan membajak kebijakan-kebijakan PBB. Di era Joe Biden, kampanye LGBTQ+ semakin massif dan agresif dijalankan ke seluruh dunia. Bahkan Biden dinobatkan sebagai Presiden AS yang paling pro-LGBTQ+.1
Untuk kawasan Asia, Biden mengutus Jessica Stern dan memilih tiga lokasi negara Asia Tenggara, yakni Vietnam, Filipina dan Indonesia. Pemilihan ketiga negara ini tentu menarik untuk ditelisik. Selain karena memiliki populasi penduduk paling tinggi di Asia Tenggara, tiga negara itu sama-sama belum mengesahkan UU pernikahan sesama jenis seperti Taiwan dan Thailand. Namun, Vietnam baru-baru saja mendeklarasikan bahwa LGBT bukan penyakit mental. Keputusan tersebut menjadikan kebijakan kesehatan Vietnam sejalan dengan standar kesehatan global yang diinginkan untuk melayani kaum LGBT. Filipina juga telah memasukkan faktor orientasi seksual dan identitas gender sebagai alasan yang dilarang untuk di-bully/diintimidasi dalam UU Anti-Bullying. Poin ini dimasukkan dalam Aturan dan Peraturan Pelaksana (IRR) dari UU tersebut yang disetujui oleh Kongres Filipina pada 2013.
Sebelum Jessica Stern, AS juga secara agresif membajak program-program PBB. AS dengan USAID-nya berkolaborasi dengan UNDP sejak 2014 dalam proyek “Being LGBT in Asia” meneliti pengalaman hidup LGBT di delapan negara (Kamboja, Cina, Indonesia, Mongolia, Nepal, Filipina, Thailand dan Vietnam) dari perspektif HAM dan pembangunan. Dana yang digelontorkan sebesar 8 juta dolar AS dari tahun 2014 hingga 2017. Proyek ini tak hanya meneliti, tetapi juga turut mempromosikan gaya hidup penuh penyimpangan ini. Bahkan proyek “Being LGBT in Asia” ini sudah menyelesaikan fase kedua (BLIA-2) pada tahun 2019. Jadi, tak aneh jika makin tampak pergeseran sikap negara-negara Asia, seperti Taiwan, yang menjadi pelopor dalam mengakui pernikahan sesama jenis pada Mei 2019, diikuti oleh Thailand, yang meloloskan RUU kemitraan sipil pada Juli 2020.
Lalu bagaimana dengan negeri Muslim di Asia Tenggara? Brunei Darussalam menerapkan hukum rajam bagi pelaku homoseksual. Indonesia dan Malaysia masih cukup resisten menolak LGBT. Kampanye LGBT, selain merupakan gerakan politik ideologis terorganisir yang disponsori oleh AS sang kampiun kapitalis Barat dan korporasi swasta mereka, gerakan ini juga sudah menjelma menjadi kekuatan ekonomi yang dikenal dengan “pink capitalism”. Pasalnya, komunitas ini adalah pasar yang besar bagi kapitalis dengan keuntungan miliaran dollar AS. Asisten Menteri Luar Negeri AS (tahun 2015) Urusan Demokrasi HAM dan Buruh, Tom Malinowski, menegaskan bahwa “Korporasi-korporasi besar diminta untuk mempromosikan hak asasi orang-orang LGBT di seluruh dunia. Pada Abad 21 pemerintah perlu dibantu gagasan tenaga, dan dukungan para pemimpin bisnis, inovator, interpreneur untuk mendukung orang-orang LGBT. Kita harus tegar menghadapi ketidakadilan terhadap orang-orang LGBT di seluruh dunia.”
Pink Capitalism: “LGBTQ Enabler” Menyasar Kaum Muda
Tahun 2019, pendiri GAYa Nusantara dan aktivis LGBT di Indonesia, Dede Oetomo, pernah menyatakan, “Kami sebenarnya telah memperoleh sekutu baru sejak 2016 karena ada lebih banyak orang yang percaya pada hak asasi manusia dan demokrasi. Para politisi, orang-orang yang homofobia dan transfobia, berasal dari generasi yang berbeda. Populasi muda yang tumbuh adalah kerumunan yang berbeda.”
Ia menunjuk dengan jelas bahwa ada kelompok muda yang sedang tumbuh menguat menjadi sekutunya pada perjuangan LGBT.
Gubernur Riau, Syamsuar, akhir Desember 2022 lalu juga mengatakan LGBT saat ini berkembang pesat di lingkungan generasi muda. Ia mengajak semua pihak bersama-sama mengatasi persoalan ini. “Saya dapat laporan ada yang sampai cerai sama istrinya. Mahasiswa juga ada, SMA, SMK, bahkan SD pun ada,” ungkap Syamsuar.
Kekhawatiran ini sangat beralasan. Apalagi hasil survei 2018 di Indonesia oleh SMRC menunjukkan terjadi pergeseran nilai, yakni 57,7% publik berpendapat bahwa LGBT punya hak hidup Indonesia, 41,1% berpendapat sebaliknya.
Negeri Muslim harus semakin waspada terutama penetrasi ide-ide liberal ini pada kaum mudanya. Apalagi selama enam dekade terakhir, promosi gaya hidup LGBTQ+ telah ditingkatkan sedemikian rupa sehingga sulit untuk dilepaskan dalam kehidupan modern.
Populasi muda memang saat ini menjadi kelompok yang paling terpapar pada nilai-nilai LGBT ini. Dekade 2010-an telah menjadi dekade hak dan kebebasan LGBTQ+ telah meningkat secara signifikan di negara-negara Barat. Dari musik hingga TV, 10 tahun terakhir kita telah melihat budaya populer semakin terlibat dengan komunitas LGBTQ+. Sepuluh tahun yang lalu, Lady Gaga menjadi bintang yang menjadi advokat yang gigih untuk hak LGBTQ+ baik di atas maupun di luar panggung. Bintang pop gay pun bermunculan, termasuk Troye Sivan dari Australia, secara eksplisit membahas seks gay dalam musiknya; Olly Alexander, juga ada penyanyi Afrika Selatan Nakhane telah mengeksplorasi konflik antara agama dan seksualitas dalam musiknya, dan musisi Inggris MNEK telah dinominasikan Grammy.2
Di Asia pun bermunculan artis-artis gay melalui industri drama seri dan musik yang bermunculan dari Cina, Jepang dan belakangan banyak diprakarsai Thailand.
Industri musik dan film ini adalah bagian dari kekuatan industri ekonomi kreatif AS yang berhasil menciptakan budaya populer melalui musik dan film sejak pertengahan abad ke-20; hingga meluas ke Asia dan diteruskan estafetnya oleh Korea dengan K-Pop-nya di era digital hari ini. Semakin banyak film dan karya seni yang menyisipkan budaya homoseksual dan sengaja tidak lagi menampilkan kontrasnya area moral hitam vs putih. Mereka secara bertahap semakin bernuansa abu-abu.
Alhasil kekuatan abu-abu ini sangat manjur mempopulerkan LGBT karena dikemas menjadi budaya populer dan tren kekinian. Apalagi dibalut dengan berbagai narasi HAM. Inilah yang memikat anak muda karena berhasil menciptakan visual memabukkan pada citra (image) dan cita rasa (taste) yang berkilauan terhadap budaya jahiliyah kaum Sodom yang menjijikkan.
Inilah yang disebut “Pink Money”3 atau “Pink Capitalism”, yakni penggabungan gerakan LGBT ke dalam dinamika kapitalisme yang menyiratkan komersialisasi komunitas itu dalam industri gaya hidup kapitalisme yang mengeksploitasi syahwat dan sangat berpengaruh pada generasi muda. Untuk Amerika Serikat saja daya beli gabungan populasi dewasa lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) AS tahun 2015 diperkirakan mencapai $917 miliar (Witeck Communications, 2016). Pink Capitalism kini menjadi semakin massif karena didukung oleh korporasi kapitalis seperti Starbuck, Apple, Facebook, Instagram, dan lainnya.
Belajar dari Transformasi Cina
Belajar dari kasus Cina, digitalisasi adalah enabler nilai-nilai homoseksual masuk ke dalam masyarakat Cina yang pada awalnya sangat resisten terhadap LGBT. Bahkan LGBT masih diklasifikasikan sebagai kejahatan di Cina hingga tahun 1997, dan sebagai penyakit mental hingga tahun 2001. Dalam artikel Foreign Policy tahun 20174 terungkap bahwa pasar LGBT bernilai triliunan dolar AS adalah anak-anak muda. Transformasi sosial berjalan dengan sangat cepat menggeser nilai-nilai lama seiring dengan keterbukaan teknologi dan informasi pada masyarakat Cina. Motor utama kampanye LGBT di Cina justru adalah perusahaan-perusahaan teknologi karena pasarnya sangat besar. Aplikasi panggilan mobil terkemuka Cina, Didi Chuxing, mesin pencari teratas Baidu, marketplace Alibaba, pembuat smartphone Cina Meizu dan aplikasi karaoke populer Changba, semuanya menjalankan kampanye media sosial pro-LGBT.
Transformasi di Cina ini berjalan diawali dengan kampanye sosial media yang massif melalui anak-anak muda. Lalu terjadi perubahan struktural melalui perubahan UU dan kebijakan. Pola ini harus juga diwaspadai oleh negeri-negeri Muslim. Pasalnya, kaum muda adalah segmen pertama yang terpapar paham ini. Mereka adalah pengguna utama jasa teknologi yang dibuat semakin inklusif dengan nilai-nilai luar. Pada perkembangan berikutnya, komunitas LGBT di Cina bahkan memiliki daya beli yang kuat. Mereka mampu berbelanja sekitar $300 miliar pertahun.
Di Asia sendiri, pink money adalah metode paling cepat terserap pada anak-anak muda, termasuk kaum muda Muslim di Indonesia dan Malaysia. Batas toleransi terhadap LGBT pun akhirnya semakin tipis dan longgar, Ini karena industri budaya populer ini semakin mencengkram melalui gaya hidup. Produk-produk hiburan, seperti anime ‘fujoshi’ dari Jepang, kemudian dikembangkan Thailand dengan industri seri Boy Love (BL)-nya yang digemari jutaan remaja perempuan Asia dan memiliki penghasilan hingga 1 miliar Baht pertahun. Pada Juni 2021, badan promosi investasi Thailand membantu mengamankan 360 juta Baht ($10,7 juta) investasi asing untuk Thai BL.5 Beberapa pihak menilai bahwa BL sebagai soft power Thailand, melakukan untuk citra global bangsa Asia Tenggara apa yang telah dilakukan oleh ledakan yoga untuk India atau K-Pop untuk Korea Selatan.
Alhasil, Indonesia terkepung oleh berbagai jenis kampanye LGBTQ di Asia yang semakin massif dan disponsori kekuatan Barat baik secara formal melalui PBB maupun secara informal melalui industri budaya populer.
Pentingnya Kesadaran Politik Islam
LGBT adalah gerakan sosial politik. Ia sekaligus menjadi industri budaya populer yang agresif memenuhi ruang-ruang publik. Tak pelak arus kerusakan ini akan menjadi alat penghancur masyarakat yang sangat kuat. Fenomena ini membutuhkan kesiagaan dan kewaspadaan tokoh umat dan para pengemban dakwah sampai pada tingkat kesadaran politik Islam. Setidaknya para da’i harus memperhatikan dua sumbu penyebaran LGBT. Pertama, Ranah formal melalui reformasi hukum dan perundangan. Sumbu pertama ini biasanya didorong melalui jalur diplomasi, Lembaga PBB di skala internasional. Di skala lokal kampanyenya dimotori oleh LSM dan aktivis-aktivis HAM liberal yang terus bergerilya memperjuangkan reformasi hukum dan perundangan agar LGBT diakomodir di Dunia Islam. Mereka membabi buta dan berkoar-koar bahwa ide-ide LGBT yang cacat ini adalah tolok ukur masyarakat beradab dan membela hak asasi manusia. Namun, mereka diam pada pelanggaran HAM Muslim Palestina atau Uyghur.
Kedua: Ranah non formal melalui budaya populer. Sumbu kedua ini digerakkan oleh korporasi kapitalis, khususnya perusahaan-perusahaan teknologi, sosial media dan entertainment yang memiliki market besar anak-anak muda. Merekalah yang mendulang “pink money” atau cuan yang besar selaras dengan watak asli kapitalisme yang lihai mengeksploitasi syahwat dan kesenangan manusia. Ironisnya, para kapitalis sponsor LGBT ini seolah buta terhadap kerusakan peradaban di masyarakat mereka sendiri akibat mewabahnya liwath modern, seperti penyakit AIDS, penyakit menular seksual, wabah kesehatan mental, perselingkuhan, KDRT, peningkatan perceraian dan banyak penyakit sosial lainnya. Sebanyak 43 persen dari golongan kaum gay yang berhasil didata mengaku melakukan homoseksual lebih dari 500 orang dan 28 persen lebih dari 1000 orang. Pasangan mereka banyak yang hanya semalam atau beberapa menit saja6.
Jelas, perilaku menyimpang kaum Sodom modern ini sangat destruktif.
Urgensi Kembalinya Perisai Fitrah Manusia
Dari paparan fenomena ini, jelas AS tidak akan pernah berhenti mempromosikan LGBT. Pasalnya bagi AS, ini adalah bagian mendasar dari peradaban Barat, terutama dalam hal nilai-nilai kebebasan. Apalagi selain kepentingan nilai ideologis mereka yang tak bermoral, AS dan negara Barat lainnya juga mendapat keuntungan ekonomi untuk membuka pasar LGBT di negeri-negeri Muslim, terutama menyasar anak-anak mudanya yang paling terbuka dengan kecepatan informasi dan teknologi.
Untuk menghadang arus gerakan LGBT ini tentu butuh kapasitas yang besar, tidak cukup dengan satu dua kali penolakan. Perlu upaya yang lebih sistematis dan terorganisir untuk mengimbangi kerusakan yang disponsori Amerika Serikat ini. Umat Islam membutuhkan pemimpin adil yang kuat dan bervisi demi menghadang gelombang kerusakan yang terus dikampanyekan oleh AS, Barat dan korporasi kapitalis mereka. Nabi Muhammad saw. bersabda:
إِنَّماَ الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Sungguh Imam (Khalifah) itu perisai; Orang-orang akan berperang di belakang dia dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll).
Dengan demikian yang diperlukan saat ini adalah kembalinya protektor (perisai) umat, Khilafah, sebagai satu-satunya sistem yang direstui oleh Pencipta manusia. Dialah Zat Yang menunjukki manusia jalan yang benar menuju keluhuran moral dan martabat manusia. Allah SWT berfirman:
إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَٰمُۗ وَمَا ٱخۡتَلَفَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ إِلَّا مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡعِلۡمُ بَغۡيَۢا بَيۡنَهُمۡۗ وَمَن يَكۡفُرۡ بِئَايَٰتِ ٱللَّهِ فَإِنَّ ٱللَّهَ سَرِيعُ ٱلۡحِسَابِ ١٩
Sungguh agama di sisi Allah Ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Siapa saja yang mengingkari ayat-ayat Allah, sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya (QS Ali ‘Imran [3]: 19).
Catatan kaki:
1 Biden’s ambitious LGBT agenda poises him to be nation’s most pro-equality president in history https://www.washingtonpost.com/politics/2021/01/11/biden-lgbtq-policies/
2 Did culture really embrace queer people this decade? – BBC Culture
3 What is the pink economy or pink money? Meet this powerful market that is in full growth (yahoo.com)
4 China’s New Multibillion-Dollar Target Market: LGBT Youth – Foreign Policy
5 The Commercial Appeal of Thailand’s BL Dramas | Time
6 Bell, A and Weinberg, M. Homosexualities “A Study of Diversity Among Men and Women. New York: Simon and Schuster. 1978]