Jejak Khilafah di Nusantara
Sejatinya, suara-suara sumbang beberapa kalangan yang menolak bukanlah hal baru. Penolakan terhadap Khilafah dan keengganan akan eksistensinya di negeri ini sudah disuarakan sejak jauh-jauh hari. Bahkan ketika negara “Indonesia” belum lahir.
Dulu kolonialis Belanda amat getol dalam menolak eksistensi Khilafah. Tokoh orientalis Belanda yang tersohor, Snouck Hurgronje, sudah lama mengingatkan agar pengaruh Khilafah di Nusantara ditolak oleh pemerintah kolonial sehingga Khilafah menjadi tertolak bagi penduduk Nusantara. Snouck menulis, “Apapun yang bisa menyebabkan dihentikannya pemborosan waktu dalam mempersoalkan ‘Khilafah’ dan ‘Perang Suci’, boleh dianggap sebagai sesuatu yang patut diberi penghormatan setinggi-tingginya.” (Al hetgeen kan bijdragen om een eind te maken aan het onwaardig gedoe met ‘chalifaat’ en ‘heiligen oorlog’ mag op waardering aanspraak maken).1
Snouck tidak dapat memungkiri betapa pengaruh dan jejak Khilafah di Nusantara sangat kuat dan terpatri mendalam di relung jiwa kaum Muslim yang dijajah Belanda. Jejak Khilafah yang kuat itu amat membahayakan kedudukan pemerintah kolonial Belanda. Sebabnya, mereka akan dianggap sebagai pemerintah yang tidak sah oleh Muslim Nusantara. Sejauh apakah jejak Khilafah di Nusantara sehingga Belanda begitu khawatir akan eksistensinya?
Peran Khilafah dalam Penyebaran Islam di Nusantara
Kaum Muslim pada era Khulafaur-Rasyidin dan Bani Umayah terus berdakwah dan berjihad. Wilayah Khilafah pun terus meluas dan diperhitungkan sebagai kekuatan politik yang disegani. Salah seorang Khalifah dari Bani Umayah yang sangat terkenal, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz (k. 717-720 M), begitu serius dalam mendakwahkan Islam ke berbagai penguasa dan penduduk dunia. Secara intens, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz kerap berkorespondensi dengan Kaisar Leo III di Konstantinopel, mengupayakan agar Kaisar Byzantium tersebut masuk Islam. Di sebelah Barat, orang-orang gurun Sahara di kalangan penduduk Maghrib masuk Islam berbondong-bondong. ‘Umar juga mengirim utusan ke Transoxania untuk mendakwahkan Islam di kalangan orang-orang Turki kuno.
Selain itu, penduduk Tibet di pegunungan Himalaya tercatat meminta Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz agar mengirimkan kepada mereka orang-orang yang dapat mengajarkan Islam. Hal serupa ternyata juga dilakukan oleh penguasa Kerajaan Sriwijaya yang saat itu berpusat di Pulau Sumatera. Menurut Fatimi, Maharaja Sri Indravarman, sang penguasa Sriwijaya, menulis surat yang ditujukan kepada ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz di Damaskus. Surat tersebut dinukil oleh Ibn ‘Abd Rabbih dalam al-‘Iqd al-Farid berdasarkan riwayat dari Nu’aym bin Hammad:
“Raja Hind (Sriwijaya) mengirim surat kepada ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz: Dari Raja Diraja yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga adalah anak cucu seribu raja; yang dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang wilayahnya terdapat dua sungai (Musi dan Batanghari) yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wewangiannya sampai menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab (‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz), yang tidak menyekutukan Allah dengan segala sesuatu. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya, wassalam.”2
Selain hubungan dakwah dan politis yang terjalin antara Sriwijaya dan Khilafah Umayah, relasi demikian terus terjalin pada waktu-waktu berikutnya. Dalam buku Historical Fact and Fiction, Syed Naquib al-Attas mengeluarkan hipotesis terbaru tentang hubungan Khilafah ‘Abbasiyah dengan Kesultanan yang mula-mula berdiri di Nusantara: Sumatera Pasai.
Al-Attas mendaraskan penelitiannya pada manuskrip Hikayat Raja-Raja Pasai (HRRP). Manuskrip tersebut menceritakan tentang Meurah Silu, seorang terpandang di negeri Melayu pada masa itu. Menurut HRRP, Meurah Silu mendirikan kekuasaannya di tempat ia melihat ada semut yang sebesar kucing. Oleh Meurah Silu, negeri itu dinamakan sebagai “Semutra”, yang berarti “Semut Raya”. Di sana hidup semut yang sangat besar. “Semutra” inilah yang kemudian menjadi cikal bakal nama pulau “Sumatera” dan Kesultanan Sumatera Pasai.3
Apakah cerita semut sebesar kucing dalam hikayat itu fiksi? Sekilas memang terlihat demikian, tetapi tidak bagi Naquib al-Attas. Dalam telaah al-Attas, semut besar yang dulu ada di Sumatera memang pernah ada wujudnya. Hal ini diafirmasi oleh seorang kartografer Muslim yang hidup di era Khilafah ‘Abbasiyah, Buzurg bin Syahriyar. Dalam kitab ‘Aja’ib al-Hind yang dia tulis pada abad ke-10 M, Buzurg bin Syahriyar meriwayatkan kesaksian Muhammad bin Babisyad, seorang pelaut Muslim Persia, yang melaporkan bahwa “khusus di pulau Lamuri (Lamreh, Aceh Besar), semut-semut yang ada di sana berukuran sangat besar.”4
Semua ini mempunyai arti bahwa nama “Semutra” yang diberikan Meurah Silu kepada pulau yang hari ini dikenal sebagai Sumatera sudah dikenal sejak masa Buzurg bin Syahriyar menulis ‘Aja’ib al-Hind di abad ke-10 M, atau bahkan puluhan tahun sebelumnya.
Dalam HRRP juga disebutkan, “Khalifah Syarif yang di Makkah” mengirim juru dakwah ke “Semutra” untuk mengislamkan Meurah Silu dan segenap penduduk di sana.5
Naquib al-Attas menyimpulkan kalimat “Khalifah Syarif yang di Makkah” dalam HRRP adalah Khalifah-nya Syarif di Makkah, yakni Khalifah al-Ma’mun bin Harun ar-Rasyid al-‘Abbasi (k. 813-833). Syarif Makkah saat itu dijabat oleh ‘Ubaydullah bin Hasan bin ‘Ubaydullah bin ‘Abbas bin ‘Ali bin Abi Thalib.6
Dari elaborasi atas manuskrip HRRP inilah, al-Attas menyimpulkan:
“It becomes clear that in contradiction to the position taken by European and other like-minded historians, Islam was introduced at a very date in a manner planned directly from its land of origin, and not from India or Persia. Its first king received his instruments of office and legitimation from the Sharif of Makkah as instructed by Caliph.”7
Dengan kata lain, raja pertama Sumatera Pasai masuk Islam dan kekuasaannya sah menjadi kesultanan Islam berkat usaha dakwah yang terorganisir dari Khilafah ‘Abbasiyah.
Hubungan Kesultanan Islam di Nusantara dengan Khilafah
Bukti bahwa Kesultanan Sumatera Pasai menerima mandat kekuasaan dari Khilafah ‘Abbasiyah makin terlihat ketika kita mendapati ada beberapa Bani ‘Abbas yang terkubur di Lhokseumawe, Aceh Utara. Satu pusara marmer yang besar dan indah telah maujud di Gampong Kuta Krueng di Lhokseumawe. Di epitaf makamnya, informasi sang pemilik makam telah terpahat dalam kaligrafi yang rumit namun indah:
“Inilah kubur Sang Pemuka Para Pembesar, ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Qadir bin Yusuf bin ‘Abdul ‘Aziz bin al-Manshur Abi Ja’far al-Mustanshir Billah Amir al-Mu’minin Khalifah al-‘Abbasi. Semoga Allah menyiramkan rahmat ke atas pusaranya. Wafat pada malam Jum’at 23 dari bulan Rajab tahun 816 Hijriah (1414 M).”8
Keberadaan makam keturunan Khalifah ‘Abbasiyah di Pasai ini merupakan bukti jelas bahwa Kesultanan Pasai menjalin hubungan erat dengan Khilafah ‘Abbasiyah yang saat itu sudah berpusat di Kairo, Mesir.
Penerus Pasai, yakni Kesultanan Aceh yang berdiri pada tahun 1496 M, juga memperbarui hubungan dan ketaatannya dengan pusat kuasa Islam di Timur Tengah. Ketika pucuk Khilafah sudah beralih ke Bani ‘Utsmaniyah di Turki, Sultan Aceh yang ketiga, ‘Alauddin Ri’ayat Syah al-Qahhar (k. 1537-1571), mengirim surat kepada Khalifah Sulayman al-Qanuni di Istanbul pada tahun 1566. Dalam surat itu ia menyatakan baiatnya kepada Khilafah ‘Utsmaniyah dan memohon agar dikirimi bantuan militer ke Aceh untuk melawan Portugis yang bermarkas di Malaka.9
Pengganti Khalifah Sulayman al-Qanuni, yakni Salim II, mengabulkan permohonan Sultan al-Qahhar dan mengirimkan bala bantuan militer ke Aceh. Dengan bantuan yang didapat dari Khilafah Utsmaniyah ini, Sultan al-Qahhar dari Aceh dapat menyerang Portugis di Malaka pada 20 Januari 1568 dengan kekuatan 15.000 tentara Aceh, 400 Jannisaries Utsmaniyah, dan 200 meriam perunggu.10 Kehadiran pasukan Utsmaniyah di Nusantara benar-benar menggetarkan Portugis; dan sebaliknya, begitu membahagiakan Muslim.
Sultan Demak yang keempat, Sunan Prawoto, menjadikan penguasa ‘Utsmaniyah sebagai panutan dalam cita-citanya untuk mengislamkan seluruh Tanah Jawa.11
Sultan Babullah di Ternate pun bekerjasama dengan 20 orang ahli senjata dan tentara Khilafah Utsmaniyyah ketika memerangi Portugis di Maluku sepanjang tahun 1570-1575.12
Sepanjang abad ke-17, banyak penguasa Islam di Nusantara yang mengirimkan utusan ke Makkah atau Istanbul untuk menyatakan ketundukannya kepada Khilafah ‘Utsmaniyah dan mendapat legitimasi sebagai ‘wakil Khalifah’ di masing-masing negerinya. Sultan-sultan di Aceh, Banten, Mataram sampai Makassar melakukan itu semua. Sultan Aceh yang berkuasa pada abad ke-19, Sultan Ibrahim Manshur Syah, bahkan terang-terangan menyatakan negerinya sebagai bagian dari Khilafah ‘Utsmaniyah dalam suratnya kepada Sultan Abdülmecid I pada tahun 1850:
“Sesungguhnya kami penduduk negeri Aceh, bahkan seluruh penduduk di pulau Sumatera, semuanya tergolong sebagai rakyat Negara Adidaya Utsmaniyah dari generasi ke generasi.”13
Peran Khilafah dalam Melawan Penjajah
“Aku tidak memiliki daya dan kemampuan untuk melawan negara-negara Eropa sendirian,” tulis Sultan Abdülhamid II dalam catatan hariannya. “Akan tetapi negara-negara besar yang memerintah bangsa-bangsa Muslim yang beragam di Asia, seperti Inggris dan Rusia, merasa ketakutan dengan ‘senjata Khilafah’ yang aku pegang.”14
Apa yang ditulis Khalifah ‘Utsmaniyah ini bukanlah isapan jempol belaka. Memang pada abad ke-19 Khilafah ‘Utsmaniyah sudah banyak mengalami kemunduran hingga ia dijuluki “Orang Sakit Eropa”. Namun, ia tetap mempunyai taji karena institusi pemerintahan warisan Nabi saw., yakni Khilafah, masih tetap dipegang teguh oleh Bani ‘Utsmaniyah.
Supremasi politik Khilafah ‘Utsmaniyah atas kaum Muslim sedunia tentu diakui pula oleh kaum Muslim Nusantara yang berada dalam jajahan Belanda. Kita bisa melihatnya dari pengakuan Goenawan, ketua Sarekat Islam afdeling (cabang) Batavia yang merangkap kepala redaktur salah satu koran terbitan Sarekat Islam, Pantjaran Warta. Dalam artikel yang ia tulis pada 10 November 1914, Goenawan menulis:
“Bahwa orang Islam memandang pada Keradjaan Turkye sebagai soeatoe tanda kemerdikaannja igama Islam. Diseloeroeh doenia hanja Turkyelah jang masih tinggal merdika, dari sebab Turkye yang memegang wasiat Nabi kita, begitoelah orang moeslimin memandang Turkye sebagai keradjaan jang melindoenginja dalam laoetan fitnah dan perdoehakaan dari fehak moesoehnja. Begitulah perasa’annja kebanjakan orang orang moeslimin ditanah tanah jang ada dalam genggamannja kekoeasa’annja Europa. Saja tahoe, jang perasa’an ini boekan perasa’annja segenap pendoedoek tanah tanah Islam, karena dalam tanah tanah ini ada djoega orang orang Islam jang tiada memferdoelikan igamanja, jang memeloek atoeran vrijmetselarij (Freemason) atau theosofie…”15
Ketika masa Khalifah Abdülhamid II yang terbentang dari tahun 1876-1908, otoritas ‘Utsmaniyah menempatkan konsul-konsulnya di Batavia sebanyak 10 orang.16
Keberadaan konsul-konsul Utsmaniyah ini begitu mengganggu Pemerintah Kolonial Belanda. Snouck Hurgronje mencibir,bahwa “mereka itu adalah para perantara dalam hubungan-hubungan, yang misalnya ada di antara orang-orang Arab, Melayu, Aceh di Hindia-Belanda dengan ‘Sang Panatagama di Turki’ (maksudnya Sultan Abdülhamid II, pen.), dan mereka mengusahakan supaya surat-surat kabar yang mendapat perlindungan dari Istana selalu memburuk-burukkan Pemerintah Kolonial dan Ratu Belanda.”17
Respon Umat Islam di Nusantara atas Keruntuhan Khilafah
Ketika Khilafah ‘Utsmaniyah diruntuhkan oleh kaum nasionalis Turki pimpinan Mustafa Kemal Atatürk pada tahun 1924, kaum Muslim di Nusantara begitu kaget. Mereka tak menyangka bahwa Atatürk yang sebelumnya mereka kenal sebagai Ghazi dalam Perang Dunia I, malah melakukan hal yang biadab dengan menghapus Khilafah dan mengusir Khalifah Abdülmecid II ke luar negeri.
Di Mesir, para ulama al-Azhar segera merespon cepat krisis Khilafah ini. Mereka menginisiasi sebuah kongres internasional kaum Muslim sedunia untuk menegakkan Khilafah. Mereka turut mengundang kaum Muslim di Hindia untuk ikut serta dalam proyek penegakan Khilafah. Hal ini tentu disambut antusias. Para pimpinan Sarekat Islam, Moehammadijah, Djamiet Chair dan al-Irsjad segera berembug di Surabaya pada 4-5 Oktober 1924. Dalam pertemuan itu, Tjokroaminoto dari Sarekat Islam berorasi dengan penuh emosional tentang urgensitas Khilafah bagi kehidupan kaum Muslim. Pentingnya Khilafah juga disuarakan oleh Hadji Fachroeddin dari Moehammadijah dan Kjai Hadji Abdoel Wahab Chasboellah yang kelak mendirikan Nahdlatoel Oelama.18
Namun, dengan segala dinamikanya, Inggris dan Prancis sangat giat menghalang-halangi umat Islam sedunia untuk mendirikan kembali Khilafah. Melaui antek-anteknya seperti Raja Fu’ad I di Mesir, Syarif Husayn dan Raja Ibn Sa’ud di Jazirah Arab, juga tentunya Atatürk di Turki, kongres-kongres kaum Muslim yang hendak mendirikan kembali Khilafah bubar begitu saja. Kaum Muslim di Nusantara yang begitu getol untuk mendirikan kembali Khilafah selama periode 1924-1927 terbuyarkan konsentrasinya karena agitasi-agitasi nasionalisme sekular dari Soekarno dkk.
Khatimah
Andai ucapan Wapres Ma’ruf Amin benar bahwa Khilafah tertolak di Indonesia, maka jika kita melihat dari tulisan sejarah ini, Khilafah memang benar ditolak dan tertolak: ditolak oleh kaum kolonialis Belanda dan tertolak oleh para founding fathers didikan Belanda yang menyuarakan nasionalisme sekular—sebuah ide yang lahir dari penjajah Barat.
Sebaliknya, para aktivis pergerakan Islam, ulama, mujahid dan para sultan di Nusantara justru sejak dulu begitu akrab dengan Khilafah dan mengharapkan agar mereka menjadi bagian daripada rakyat Khilafah. Ini semua merupakan realita sejarah nenek moyang kita yang tak bisa dilepaskan dari Islam. Jejak Khilafah di Nusantara begitu nyata. Itulah konsekuensi dari karakter umat Islam yang kesatuannya begitu solid di bawah satu agama, satu perasaan, dan satu kepemimpinan.
WalLahu a’lam bi ash-shawwab. [Nicko Pandawa (Sejarahwan)]
Catatan kaki:
1 Snouck Hurgronje, “De Opstand in Arabië III: Sjerief en Chalief”, dalam Nieuwe Rotterdamsche Courant, 16 Juli 1916
2 S.Q. Fatimi, Two Letters from the Maharaja to the Khalifah: A Study in the Early History of Islam in the East, Islamic Studies, Vol. 2 No. 1 (1963), h. 126
3 Syed Naquib al-Attas, Historical Fact and Fiction, (Johor: Universiti Teknologi Malaysia Press, 2012), h. 5-6
4 Buzurg bin Syahriyar, Kitab ‘Aja’ib al-Hind Barrihi wa Bahrihi wa Jaza’irihi, (Leiden: Brill, 1886), h. 125
5 Naquib al-Attas membedakan antara sosok Meurah Silu dan Sultan Malik ash-Shalih. Lihat: Syed Naquib al-Attas, Historical Fact and Fiction, h. 15-25
6 Ibid, h. 14
7 Ibid, h. 32
8 Guidebook: Tinggalan Sejarah Samudra Pasai, (Lhokseumawe: Center for Information of Sumatra Pasai Heritage, 2014), h. 16
9 Topkapý Sarayý Müsezi Arþivi, E-8009. Mehmet Akif Terzi, dkk. (ed), Turki Utsmani-Indonesia: Relasi dan Korespondensi Berdasarkan Dokumen Turki Utsmani, Penerjemah Muhammad Zuhdi, (Istanbul: Hitay, 2017), h. 79, 85
10 Amirul Hadi, Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth-Century Aceh, (Leiden: Brill, 2004), h. 23
11 H.J. de Graaf dan Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, (Yogyakarta: MataBangsa, 2019), h. 126
12 Leonard Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period, (Honolulu: University of Hawaii Press, 1993), h. 134, 137
13 Baþbakanlýk Osmanlý Arþivi, Irade Hariciye Evraký, 73/3551. Mehmet Akif Terzi, dkk. (ed), Turki Utsmani-Indonesia, h. 182
14 Sultan Abdülhamid II, Mudzakkirat al-Sulthan ‘Abd al-Hamid, ed. Muhammad Harb, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1991), h. 147
15 “Pikirannja Orang Djawa Sadja”, Pantjaran Warta, Vol. 8 No. 255, 10 November 1914
16 Nicko Pandawa, Pasang Surut Pengaruh Pan-Islamisme Khilafah Usmaniyyah Terhadap Rakyat Hindia-Belanda, 1882-1928, (Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020), h. 426
17 Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, (Jakarta: INIS, 1996), Jilid VI, h. 58
18 Nicko Pandawa, Pasang Surut Pengaruh Pan-Islamisme Khilafah Usmaniyyah, h. 355-357