Fokus

Konflik Agraria di Indonesia

Di Indonesia, konflik agraria berlangsung semakin terstruktur, sistematis dan massif. Konflik terjadi secara vertikal dan horizontal. Hampir diseluruh daerah. Masyarakat kecil menjadi korban kekuatan pemodal besar. Mereka menggunakan tangan kekuasaan. Lahan yang harusnya terdistribusi secara inklusif untuk tiap-tiap individu berubah menjadi terkosentrasi secara ekslusif pada segelintir orang. Bahkan tidak jarang lahan yang sudah didiami warga selama ratusan tahun dirampas oleh arogansi kekuasaan. Mereka mengatasnamakan investasi, Proyek Strategis Nasional (PSN) dan regulasi. Masyarakat yang tadinya punya lahan, digusur dan terancam menjadi gelandangan. Lahan di Indonesia semakin menumpuk di tangan beberapa orang melalui korporasi. Rakyat kecil semakin terpinggirkan. Bahkan mereka yang sudah di pinggiran pun masih terus didesak.

Mereka berpijak di bumi tanpa ketenangan. Ini karena kerakusan korporasi yang terus ingin menguasai. Konflik pun tidak dapat dihindari.

 

Tragedi Pilu di Negeri Melayu

Bulan September menjadi bulan yang mencekam bagi masyarakat di Kepulauan Rempang-Galang Provinsi Kepulauan Riau. Ratusan aparat gabungan dikirim pada tanggal 7 September pagi untuk mengamankan petugas yang hendak mengukur dan mematok lahan di pulau ini atas nama PSN.

Sebanyak 7.513 warga yang mendiami kedua pulau tersebut terancam diusir dari rumah-rumahnya. Bumi yang sudah ratusan tahun ditempati sejak zaman nenek moyang harus mereka tinggalkan. Tanah yang menjadi saksi keteguhan perjuangan menghadapi penjajah harus mereka relakan. Mereka juga harus berpisah dengan 17 kampung tua yang penuh sejarah dan telah membentuk jatidiri mereka dari generasi ke generasi.

Awalnya, mereka diminta mengosongkan pulau tersebut pada tanggal 28 September. Karena perlawanan yang terus mereka lakukan serta dukungan dari berbagai komponan masyarakat yang terus meluas, rencana pengosongan pada tanggal tersebut tidak jadi dilakukan. Namun, bukan berarti rencana dibatalkan. Berdasarkan informasi lapangan, aparat ternyata belum meninggalkan Pulau Rempang-Galang. Berbagai upaya masih terus dilakukan agar masyarakat segera meninggalkan pulau tersebut.

Hari-hari mereka hingga kini diselimuti kekhawatiran. Kehidupan mereka masih terus dalam bayang-bayang ketakutan. Sebabnya, keberadaan aparat di sekitar pemukiman merupakan bentuk intimidasi. Mereka tidak dapat menjalani kehidupan dengan normal. Nelayan tidak dapat melaut. Petani tidak dapat turun ke sawah. Siswa tidak dapat bersekolah dengan tenang. Tidak ada yang tahu pasti sampai kapan kondisi ini akan berakhir.

Memang, ada janji ganti lahan yang baru, rumah tipe 45 dan uang tunggu transisi sebesar Rp 1,2 juta hingga rumahnya jadi. Apa artinya semua itu jika dibandingkan dengan kehilangan aset yang paling berharga. Tidak lain sejarah, budaya, adat istiadat dan peradaban Melayu yang kental dengan Islam.

Pertanyaan-pertanyaan publik juga tidak terjawab oleh penguasa zalim. Mengapa pulau tersebut harus disterilkan dari warga? mengapa butuh hingga 17.000 Ha hanya untuk membangun satu pabrik? Mengapa perusahaan mendikte Negara, dengan deadline tanggal 28 September 2023, jika memang kita negara berdaulat? Mengapa memakai pendekatan represif, penangkapan dan penganiayaan, kepada warga? Di mana rasa kemanusiaan yang adil dan beradab? Di mana janji Jokowi masa kompanye yang akan memberikan sertifikat kepada warga di kampung tua? Jika warga disebut tidak punya legalitas, apakah Perusahaan milik Tomy Winata punya legalitas? Banyak pertanyaan lain yang terus menggelayut di benak publik.

Belum lagi banyaknya kebohongan rezim seputar kasus ini. Amdal yang dinyatakan sudah ada, padahal belum. Xinyi disebut sebagai Perusahaan kaca terbesar dunia. padahal masuk sepuluh besar pun tidak. Xinyi disebut akan berinvestasi sebesar Rp 381 Triliun, padahal total aset konsolidasi holdingnya hanya sebesar Rp 105 Triliun. Klaim Menteri Bahlil bahwa masyarakat setuju untuk “digeser” sepanjang tidak dipindahkan ke luar pulau itu. Faktanya, sejumlah warga yang terdampak langsung justru menyatakan tetap menolak.

Alhasil. yang terjadi di  Rempang adalah kezaliman yang sangat menyesakkan dada. Negara yang harusnya berfungsi menenteramkan kehidupan masyarakat, menjaga kedamaian jiwa, pelindung dan pengayom justru bertindak sebaliknya. Negara merampas tanah warga yang sudah mendiami pulau tersebut selama raturan tahun, jauh sebelum NKRI ada.

 

Benang Kusut Konflik Agraria di Indonesia

Masalah konflik agraria di Indonesia sudah seperti benang kusut. Kasus Rempang hanya salah satu kasus saja. Masih banyak kasus penyerobotan lahan mengatasnamakan investasi-PSN. Sebelumnya, masih hangat dalam ingatan konflik di beberapa daerah seperti Bendungan Jatigede, PLTU Batang, Wadas, Lampung, Banten, Kalteng dan Sulawesi. Menurut catatan Katadata pada tahun 2023 tidak ada satu pun provinsi di Indonesia yang tidak ada konflik agraria.

Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat 2.710 konflik agraria selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Sejak 2015 hingga 2022, ribuan kasus agraria itu telah berdampak pada 5,8 juta hektare tanah milik masyarakat dan korban mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia.

Sebanyak 1.615 rakyat ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya. Sebanyak 77 orang menjadi korban penembakan. Sebabnya, aparat dimobilisasi di wilayah-wilayah konflik agraria. Bahkan 69 orang harus kehilangan nyawa.

Berdasarkan aduan ke Komnas HAM, selama tahun 2023 terjadi eskalasi yang lebih masif konflik agraria di berbagai lokasi di Indonesia. Jumlahnya mencapai 692 kasus. Jumlah ini setara dengan 4 kasus perhari yang dilaporkan ke Komnas HAM. Data konflik agraria tersebut terjadi dalam delapan bulan terakhir berdasarkan perhitungan Komnas HAM.

Dalam konteks klasifikasi pengadu, dari empat teratas (kelompok masyarakat, individu, kelompok masyarakat adat, dan organisasi), peringkat pertama ditempati oleh kelompok masyarakat, yakni sebesar 53 persen. Dalam hal teradu, empat tertinggi ditempati oleh Korporasi (30,6 %), Pemerintah Daerah (17,7 %), Pemerintah Pusat (17,6 %) dan kepolisian (7,4 %).  Dalam hal korporasi dilaporkan sebagai pihak yang diberi ijin oleh Pemerintah, menunjukkan masifnya pemberian ijin yang tidak memperhatikan keberadaan masyarakat di lokasi ijin.

Dalam konteks aduan konflik agraria terbanyak, dari empat aduan tertinggi (sektor lahan/pertanahan, perkebunan, infrastruktur, dan perumahan), sebanyak 80 persen merupakan konflik lahan/pertanahan. Kasus yang masuk ke Komnas HAM dapat dilihat terkait erat antara satu sektor dengan sektor lainnya, seperti kasus pertanahan terkait dengan perkebunan dan infrastruktur.

Penyelesaian atas berbagai sengketa lahan tersebut jauh dari rasa keadilan. Lahan masyarakat yang diserobot sering tidak mendapatkan ganti rugi yang memadai atau bahkan hilang begitu saja. Hingga kini masih banyak tuntutan di sana-sini atas ganti rugi yang belum terlaksana. Contohnya di Minahasa, Konawe, juga tanah warga yang dipakai untuk membangun Tol di Semarang-Demak dan daerah lain. Bahkan termasuk di Penajam, tanah warga yang dipakai sebagai penyangga pembangunan di IKN juga tidak jelas ganti ruginya.

Akibatnya, sebagian besar lahan Indonesia dikuasai oleh perusahaan. Dari 53 juta hektare penguasaan/pengusahaan lahan yang diberikan Pemerintah, hanya 2,7 juta hektare yang diperuntukkan untuk rakyat, 94,8 persen untuk korporasi.

 

Sumber: Katadata.com

 

Khusus untuk izin pertambangan hingga tahun 2022, hanya ada 2,7 juta ha atau 5,2% izin penguasaan/pengusahaan lahan yang diperuntukkan bagi rakyat. Sebaliknya, Pemerintah memberikan 94,8% izin kepada korporasi. Pada Juli 2022, luas lahan konsesi tambang tercatat seluas 10 juta ha.

Walhi mencatat Joko Widodo adalah presiden yang paling banyak memberikan izin pengusahaan lahan tambang dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya. Delapan tahun menjabat, Jokowi memberikan izin usaha pertambangan (IUP) seluas 5,37 juta ha.

 

Sumber: Walhi.or.id

 

Menurut catatan Walhi, Sinar Mas menjadi korporasi yang memiliki luas lahan terbesar. Grup Sinar Mas memiliki 3,07 juta hektare lahan konsesi tambang, hutan dan sawit. Luas lahan Sinar Mas ini bahkan lebih luas dari gabungan lahan konsesi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Walhi mencatat lahan konsesi gabungan BUMN seluas 2,06 juta ha. April Group memiliki lahan terluas ketiga dengan luas 1,65 juta ha. Lahan April Group meliputi kelapa sawit dan hutan untuk pabrik kertas.

 

Sumber: Walhi.or.id

 

Jika Perusahaan menguasai lahan mencapai jutaan hektar, kondisi sebaliknya dengan kepemilikan lahan oleh petani di Indonesia. Menurut Publikasi BPS, pada tahun 2018 saja rata-rata petani Indonesia hanya menguasai 0,5 Hektar. Angka terkini sudah pasti kurang dari itu. Sebabnya, alih fungsi lahan pertanian setiap tahun mencapai 100.000 hektare untuk infrastuktur, bandara, industry, property, dsb. Berkurangnya lahan pertanian secara signifikan akan menjadi ancaman serius terhadap ketersediaan pangan dalam negeri. Realitas ini diperburuk oleh minimnya regenerasi disektor pertanian. Petani di Indonesia rata-rata sudah berusia tua. Bagi generasi muda sektor pertanian bukanlah sektor yang menarik.

 

Mengurai Benang Kusut Konflik Agraria

Pepatah Melayu Minang menyatakan, tidak ada kusut yang tak akan selesai, tidak ada keruh yang tidak akan jernih. Demikian juga dengan benang kusut konflik agraria, bukanlah sesuatu yang mustahil diurai, diselesaikan untuk kembali direnda dan dirajut dengan indah.

Mengurai benang kusut harus dilakukan dengan mengetahui ujung pangkal serta di mana persoalan tersebut tersimpul. Jika simpul persoalan utama dapat diselesaikan maka terurai pula seluruh persoalan agraria. Namun, jika simpul persoalan utama tidak diatasi maka yang terjadi adalah kusut semakin ruwet.

Sesungguhnya simpul utama persoalan agraria adalah penerapan ideologi Kapitalisme dalam pengaturan agraria. Dalam kapitalisme agraria, penguasaan lahan, pengelolaan lahan dan produksi menggunakan pandangan kapitalis. Pandangan ekonomi kapitalis dibangun di atas satu keyakinan bahwa masalah utama ekonomi adalah kelangkaan. Aktor-aktor ekonomi harus meningkatkan produksi sebanyak-banyaknya. Tanah yang mereka anggap sebagai faktor produksi juga harus dikuasai sebanyak-banyaknya.

Sudut pandang inilah yang mengawali kekusutan itu. Pada sudut pandang ini pula permasalah tersimpul. Atas dasar sudut pandang ini, para pemodal besar menjadi makin rakus dan akan terus berusaha untuk mengakumulasi kepemilikan tanah. Dalam negara kapitalis, pemodal besar itu merupakan tuan yang disembah oleh penguasa. Kebijakan yang diambil, termasuk aturan regulasi yang dikeluarkan, mesti selaras dengan kepentingan para pemodal besar. Karena itu keluarnya UU Omnibus Law yang sangat berpihak kepada cukong bukanlah perkara yang aneh. UU Omnibus Law merupakan manifesto keserakahan kapitalis. UU tersebut menjadi pintu gerbang perampasan lahan oleh para oligarki yang sering berujung konflik.

Jika terjadi konflik antara pemodal besar dan rakyat, sudah pasti penguasa akan membela tuannya dan rakyat dianggap sebagai pengganggu. Tidak heran jika di banyak lokasi konflik, aparat yang digerakkan oleh tangan kekuasaan dengan sangat brutal mengejar dan menghajar masyarakat. Bahkan tidak jarang rakyat harus meregang nyawa. Mereka lupa bahwa seragam, pentungan dan senjata yang mereka pakai berasal dari pajak yang dibayar masyarakat.

Ketimpangan kekayaan termasuk ketimpangan dalam kepemilikan lahan tidak dapat dihindari dalam negara Kapitalisme. Lahan akhirnya hanya dikuasai oleh 1% orang, sedangkan 99% orang berpotensi landless. Penerapan Kapitalisme itu berawal dari pandangan tentang kelangkaan berujung pada ketimpangan kepemilikan yang parah. Ideologi kapitalis terbukti menciptakan kebangkrutan tatanan alam, gagal menciptakan kesejahteraan yang merata.

Nyata sudah bahwa simpul utama persoalan agraria adalah penerapan ideologi kapitalis. Karena itu simpul kapitalis itu perlu segera dicampakkan. Sudah cukup pelajaran bagi kita bahwa berbagai konflik agraria dengan dampaknya yang luar biasa besar sebagai akibat buruk dari penerapan Ideologi kapitalis. Ideologi Kapitalisme itu jahat sebagaimana Sosialis-Komunis.

Jika di benak masyarakat Indonesia sudah tertanam dengan sangat kuat kejahatan komunis dengan PKI-nya, maka kejahatan kapitalis terjadi setiap hari dengan korban jauh lebih masif. Setiap hari terjadi perampas lahan, eksploitasi alam, pengerukkan terhadap kekayaan bumi Indonesia serta memiskinkan masyarakat itu semua terjadi karena penerapan kapitalis.

Karena itu sudah saatnya masyarakat menyadari hal ini. Jika setiap bulan September diperingati sebagai hari kejahatan Komunisme, mestinya negeri ini menjadikan setiap hari sebagai hari kejahatan Kapitalisme! [Dr. Erwin Permana; Direktur PAKTA]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seventeen − 10 =

Back to top button