Lebaran Di Tengah Keterpurukan
Idul Fitri semestinya menjadi kebahagiaan bagi kaum Muslim. Namun, tidak semua umat Islam merasakan kebahagiaan hakiki ini, baik di negeri ini maupun di belahan Dunia Islam lainnya.
Berbagai masalah dihadapi kaum Muslim, baik secara internal maupun eksternal. Ada masalah yang baru muncul. Ada masalah lama yang tak kunjung terselesaikan dari waktu ke waktu. Makin hari, persoalan bertambah dan berulang. Beban hidup umat kian berat.
Moral
Meski banyak orang telah melakukan ibadah Ramadhan, tidak otomatis mereka meraih buahnya. Sebagaimana sabda Nabi saw., banyak dari umat ini yang hanya mendapatkan lapar dan haus saja. Tidak ada perubahan signifikan dalam ketaatan kepada Allah SWT. Ketakwaannya tidak meningkat. Ketakutannya kepada Allah minim, bahkan nihil. Akibatnya, berbagai tindak kejahatan dan kemaksiatan terus terjadi.
Di negeri ini, korupsi terus menghantui. Berdasarkan data dari Transparency International Indonesia (TII), Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2022 melorot empat poin menjadi 34, dari sebelumnya 38 pada 2021. Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Wawan Heru Suyatmiko mengatakan, penurunan ini merupakan jumlah yang paling drastis sejak era reformasi dan ini sangat signifikan karena turun lebih dari tiga poin.
Dengan turunnya Indeks Persepsi Korupsi atau IPK pada 2022 itu menempatkan Indonesia kini berada di poisi 110 dari 180 negara di dunia. Padahal pada 2021, Indonesia menempati posisi ke-96 dari 180 negara.
Di tingkat negara-negara di Asia Tenggara, skor IPK Indonesia tertinggal jauh dari Singapura yang mendapatkan skor 83 poin, Malaysia dengan 47 poin, Timor Leste dengan 42 poin, Vietnam dengan 42 poin, dan Thailand dengan 36 poin. Indonesia hanya unggul dari Filipina dengan skor CPI 34 poin, Laos dengan 31 poin, Kamboja 24 poin, dan Myanmar 23 poin.
Dalam situasi seperti ini muncul gaya hidup mewah (flexing) di antara para pejabat dan keluarganya, dan orang-orang kaya. Mereka memamerkan kekayaan mereka berupa produk-produk branded dan barang-barang mahal, yang diunggah di media sosial. Berlibur ke tempat-tempat wisata luar negeri. Padahal di antara mereka diketahui hanyalah pejabat yang nilai gajinya tidak akan setara dengan kehidupan mewahnya. Kasus Rafael Alun Trisambodo, misalnya, seorang pejabat pajak, punya kekayaan yang luar biasa. Belakangan ia diduga melakukan tindak pidana pencucian uang, mirip dengan kasus Gayus Tambunan beberapa tahun lalu. Dengan kelihaiannya, pejabat dan pegawai negara berhohong dalam menutupi kekayaan mereka. Temuan Menko Polhukam Mahfud MD bahwa ada transaksi janggal di Kementerian Keuangan sebesar Rp 349 triliun—jauh melebih skandal Century Rp 7 triliun—membuka fakta ada moral yang tak beres di level aparat negara.
Di level masyarakat, rasa kemanusiaan mulai terkikis. Remaja-remaja bertindak bengis dan sadis. Kasus Mario Dandy Satryo (20) yang menghajar David Ozora hingga luka parah dan koma, menjadi salah satu potretnya. Di Bogor, siswa SMK disabet clurit hingga tewas. Padahal korban tidak punya masalah dengan pelaku. Siswa pembunuh ini hanya terprovokasi tantangan yang muncul di media sosial dan mencari sasaran secara acak. Di Yogyakarta, muncul geng-geng motor bersenjata tajam yang melakukan tindak pembegalan dan kekerasan. Masih banyak fakta lainnya.
Itu belum ditambah kesadisan pelaku kejahatan yang makin hari kian ganas. Mutilasi kini seperti menjadi berita sehari-hari. Korbannya tidak hanya satu orang, tetapi banyak orang. Terjadi di kota hingga nun jauh di sana, di Timika. Aksi ini dilakukan orang muda, dewasa hingga sudah tua. Ada rakyat biasa sampai aparat negara.
Tanpa ada proses hukum, enam Laskar Front Pembela Islam (FPI) dibantai aparat kepolisian berpakaian preman di KM 50 Tol Cikampek. Padahal pengawal Habib Rizieq Syihab ini tidak bersenjata dan bukan penjahat yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) aparat kepolisian.
Namun, masyarakat menjadi maklum begitu tahu Kepala Divisi Propam Mabes Polri Irjen Ferdy Sambo menembak ajudannya sendiri Brigadir Joshua di rumah dinasnya. Ia melakukan itu dengan penuh rekayasa dan melibatkan anak buahnya sesama anggota Polri. Mulai dari CCTV diganti hingga mengarang cerita bohong. Ini mirip dengan kejadian di KM 50, yang kabarnya tim Ferdy Sambo juga terlibat dalam penanganannya.
Di tengah ketidakberdayaan masyarakat ini, perjudian merajalela. Judi online meramaikan jagat media sosial. Negara tak mampu mencegah dan menghabisinya hingga sekarang. Kementerian Kominfo memberikan data, ada 566 ribu situs yang diblokir sejak 2018. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat ada Rp 155 triliun perputaran uang di bisnis judi ini. Belakangan ada dugaan bisnis haram ini bisa berjalan karena ada back up aparat keamanan.
Pada saat yang sama LGBT mulai berani terang-terangan menunjukkan eksistensinya. Berbagai lembaga survei independen dalam dan luar negeri menyebutkan bahwa di Indonesia ada 3 persen kaum LGBT dari total penduduknya. Maraknya fenomena LGBT di Indonesia sangat terkait dengan tren negara-negara liberal yang memberikan pengakuan dan tempat bagi komunitas LGBT di masyarakat.
Bersamaan dengan itu narkoba makin menyebar hingga ke kampung-kampung. Data Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2022, prevalensi penggunanya naik 0,15 persen dibandingkan tahun 2019. Saat itu pengguna 1 tahun berjumlah 1,8 persen dari jumlah penduduk Indonesia menjadi 1,95 persen. Yang parah, peredaran itu pun melibatkan aparat kepolisian. Di antaranya yang dilakukan Irjen Pol Teddy Minahasa dan anak buahnya, yang kasusnya masih dalam proses persidangan.
Ekonomi
Kondisi ekonomi Indonesia belum pulih setelah diterpa krisis dan hantaman pandemi Covid-19. Utang menumpuk. Jauh dari normal. Kementerian Keuangan melaporkan total utang Indonesia sampai Desember 2022 sebesar Rp 7.733,99 triliun. Rasio utang Pemerintah tersebut mencapai 39,57 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah ini harus ditanggung oleh rakyat.
Utang ini kian berat karena harus disertai bunga alias riba. Tahun lalu, bunga utang ini mencapai Rp 405,9 triliun. Angka ini naik 10,8 persen dari outlook APBN 2021 yang sebesar Rp 366,2 triliun.
Sebagian utang diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur. Sebagian megaproyek infrastruktur mangkrak karena tidak sesuai dengan kebutuhan. Akibatnya, ia tidak mendatangkan keuntungan, tetapi malah merugi karena tidak beroperasi.
Badan Usaha Milik Negara pun terbebani oleh utang yang menumpuk. Jauh dibandingkan di masa sebelumnya. Ironisnya, proyek seperti kereta cepat Jakarta-Bandung dananya membengkak. Tak sesuai rencana. Bandara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat, dan Bandara Sudirman di Purbalingga, Jawa Tengah, menjadi contoh nyata sebuah pembangunan yang ugal-ugalan. Kedua bandara itu tak beroperasi. Triliunan uang seolah hilang begitu saja. Bahkan ada informasi Bandara Kertajati ditawarkan ke pihak asing.
Nasib yang sama dialami proyek Food Estate. Proyek yang digagas oleh Presiden Joko Widodo itu jauh dari impian. Berharap mencegah krisis pangan, proyek yang sudah berjalan selama dua tahun di Kalimantan Tengah itu hasilnya gagal. Perkebunan singkong seluas 600 hektare mangkrak dan 17.000 hektare sawah baru tak kunjung panen. Temuan LSM di sana menunjukkan bahwa proyek Lumbung Pangan Nasional di wilayah ini hanya memicu persoalan baru. Bencana banjir kian meluas dan berkepanjangan. Kondisi ini memaksa masyarakat Dayak mengubah kebiasaan mereka menanam.
Publik merasakan ada kepentingan para oligarki di balik berbagai megaproyek itu. Yang paling kentara adalah pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur. Dalam kondisi keuangan negara tidak baik-baik saja, proyek itu dipaksakan. Dulu janjinya tak menggunakan APBN. Nyatanya investasi seret. Akhirnya, APBN juga yang harus menanggung. Padahal kebutuhannya tidak mendesak.
Munculnya UU Cipta Kerja setelah sempat ditinjau ulang di Mahkamah Konstitusi (MK), menurut berbagai kalangan, membuktikan kuatnya pengaruh para oligarki itu. Seperti diketahui, MK menyatakan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang pertama cacat secara formil sehingga MK memerintahkan agar pemerintah memperbaikinya selama dua tahun. Bukannya memperbaiki, Pemerintah justru membuat Perppu Cipta Kerja yang isinya mirip dengan UU yang dinyatakan cacat itu. Kemudian Perppu itu disahkan oleh DPR menjadi UU. Protes banyak kalangan bahwa tidak ada kegentingan yang memaksa sebagai syarat keluarnya Perppu tak digubris Pemerintah.
Politik
Secara politik rezim Jokowi belum mampu menyatukan rakyat negeri Indonesia. Polarisasi yang terjadi pasca Pilpres masih kental. Seolah kondisi ini terus dipelihara oleh rezim demi mempertahankan kekuasaannya. Politik belah bambu tampak sekali. Ormas tertentu dianakemaskan, sementara ormas yang lain dihantam. Penggunaan para buzzerRp untuk memecah belah itu sangat dirasakan oleh masyarakat. Mereka tak peduli dengan aksi-aksi mereka menghantam sesama anak bangsa demi uang.
Melalui tangan para buzzerRp ini pula siapapun yang berbeda pendapat ‘dihabisi’. Kalangan opisisi dianggap sebagai musuh negara meski memiliki gagasan yang baik demi kepentingan bersama. Mereka yang bersuara lantang dibungkam dengan menggunakan dalih pelanggaran hukum yang lain. Mulai dari UU ITE sampai aturan lainnya.
Posisi umat Islam sendiri begitu lemah. Cap radikal-radikul terus digunakan oleh rezim untuk menghantam umat Islam. Partai politik Islam dipecah-belah sedemikian rupa sehingga kekuatannya melemah. Tokoh-tokoh umat dan ulama yang kritis dikriminalisasi, dibungkam agar berbicara kritis lagi di hadapan publik. Bahkan ada yang dikait-kaitkan dengan terorisme dengan cara yang dipaksakan.
Hukum
Di bidang hukum, keadilan kian jauh dari harapan masyarakat. Hukum seolah menjadi alat kekuasaan. Tak lagi menjadi panglima. Apalagi dengan keluarnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Tampak arah yang dituju dari terbitnya UU yang akan berlaku 2025 itu. Meski tidak tersurat, publik tahu bahwa umat Islam yang menjadi salah satu sasaran karena dianggap gerakan kanan—sama dengan cara pandang Orde Baru dulu.
Dalam praktiknya, hukum kian tumpul ke atas. Ada riset yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), juga penelusuran pada SIPP pengadilan, direktori keputusan Mahkamah Agung dan pemberitaan daring sepanjang tahun lalu. Berdasarkan semua itu total, selama 2021, terdapat 1.282 perkara dan 1.404 terdakwa kasus korupsi yang ditangani oleh KPK dan Kejaksaan, baik Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, maupun Kejaksaan Negeri. Rata-rata hukuman penjara bagi koruptor pada 2021 hanya 3 tahun 5 bulan penjara. Menurut ICW, angka 3 tahun 5 bulan ini tidak menggambarkan pemberian efek jera.
Belakangan 23 koruptor narapidana korupsi menghirup udara segar pada Selasa, 6 September setelah mendapatkan pembebasan bersyarat (PB). Beberapa dari mereka telah mendekam di penjara selama bertahun-tahun. Namun, di antaranya baru menjalani pidana singkat seperti mantan jaksa, Pinangki Sirna Malasari. Ini mengindikasikan korupsi tak lagi dianggap kejahatan luar biasa.
Yang mengagetkan publik, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis nihil dan kewajiban membayar uang pengganti Rp 5,733 triliun kepada Direktur Utama PT Hanson International Tbk. Benny Tjokrosaputro dalam perkara korupsi pengelolaan dana PT Asabri (Persero) serta pencucian uang. Padahal jaksa menuntut hukuman mati dan ganti rugi Rp 5,733 triliun.
Demikian juga vonis bebas kepada dua pembunuh enam laskar FPI di KM 50. Padahal, fakta persidangan dengan jelas membuktikan aksi kejam kedua polisi itu. Hakim membebaskan keduanya dengan alasan mereka membela diri. Adapun tim yang ikut serta dalam pembantaian itu tidak diproses sama sekali. Pelanggaran HAM berat pun tak diterapkan dalam kasus ini.
Di kasus Kanjuruhan, Majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya memberikan vonis bebas kepada mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi dan mantan Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto. Panitia Pelaksana Arema FC Abdul Haris dan Security Officer Suko Sutrisno divonis ringan. Padahal korbannya lebih dari 130 orang tewas.
Mancanegara
Di luar negeri, kondisi umat Islam belum banyak berubah. Justru Ramadhan ini menjadi masa yang sulit bagi warga Palestina khususnya yang berada di Yerusalem. Masjid al-Aqsha yang mulia diserbu oleh pasukan Israel. Kaum Muslim ditangkapi. Beberapa bagian masjid dirusak oleh pasukan Zionis.
Di bagian wilayah Palestina lainnya, Israel terus memperluas pendudukannya dengan memaksa warga Palestina pergi dari pemukiman mereka. Rumah yang ditinggalkan itu kemudian dihancurkan dan dibangun pemukiman baru bagi warga Israel.
Di Xinjiang, Cina, umat Islam masih dalam kondisi terkungkung. Mereka tak berani berpuasa Ramadhan karena larangan pemerintah komunis Cina. Aksi cuci otak masih terus dilancarkan. Kaum Muslim masih dianggap musuh dan tidak bisa leluasa melaksanakan syariah Islam. Sementara itu, dunia diam terhadap kondisi tersebut.
Kondisi yang tak jauh berbeda dialami kaum Muslim di Rakhine, Myanmar. Warga Rohingya belum bisa kembali ke pemukimannya karena telah dibumihanguskan oleh rezim komunis Myanmar. Mereka terlunta-lunta di berbagai wilayah negara lain. PBB sendiri tak berbuat apa-apa atasnya.
Di negeri Islam yang lain, kaum Muslim berada dalam kungkungan rezim yang tidak pro kepada Islam. Di Suriah, Irak, Libya, mereka harus berjibaku untuk bertahan hidup. Demikian pula di negeri Arab yang lain, kondisinya tak jauh berbeda.
Kaum Muslim masih belum menjadi umat terbaik, khayru ummah. Sampai kapan keadaan terpuruk ini akan berakhir? [Agus Suryana, S.S., M.Pd.; (Direktur Lingkar Studi Islam Strategis – LSIS)]