Membongkar Proyek Radikalisme
Isu radikalisme kembali menghiasi panggung politik di negeri ini. Kali ini menjelang maupun sesudah Pilpres. Radikalisme adalah isu lama. Isu ini kembali dipropagandakan dan ditudingkan pada kelompok-kelompok umat Islam yang dianggap berseberangan dengan kepentingan negara-negara penjajah kafir Barat, termasuk kepentingan status quo para penguasa boneka Barat di beberapa negara, termasuk di negeri ini.
Tujuannya jelas, yaitu untuk menakuti-nakuti masyarakat secara umum, termasuk umat Islam secara khusus. Bagi masyarakat umum, akan semakin tertanam di dalam pemahaman mereka bahwa radikalisme adalah sebuah tindak kejahatan yang harus dijauhi bahkan dilawan. Bagi umat Islam, istilah ini akan menyebabkan mereka semakin menjauhi ajaran agamanya yang paripurna. Akibatnya, keterikatan terhadap Islam akan semakin lemah.
Propaganda radikalisme juga akan melemahkan ghirah umat Islam dalam memperjuangkan ajaran agamanya, khususnya perjuangan penerapan syariah Islam secara kaffah dalam institusi khilafah. Inilah tujuan utama dari propaganda radikalisme.
Radikal dan Radikalisme
Ada perbedaan mendasar antara istilah radikal dan radikalisme. Radikal diambil dari bahasa Latin yakni radix yang berarti “akar”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata radikal memiliki arti: mendasar (sampai pada hal yang prinsip); sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); maju dalam berpikir dan bertindak.1
Secara bahasa, Islam adalah ajaran yang radikal. Sebabnya, Islam terdiri atas akidah (yang sangat mendasar) dan syariah (sebagai implementasi dari akidah).
Akidah memberi jawaban yang komprehensif dari pertanyaan mendasar tentang kehidupan, yaitu: Kita hidup dari mana? Setelah hidup kita mau kemana? Hidup kita ini untuk apa? Islam menjawab: Kehidupan berasal dari Allah. Setelah kehidupan ini manusia akan menghadap Allah. Manusia hidup ini tak lain adalah untuk beribadah kepada Allah. Jelas akidah Islam sangat mendasar atau radikal.
Adapun istilah radikal ditambah isme di belakangnya sehingga menjadi radikalisme, menurut KBBI, memiliki arti: paham atau aliran yang radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap ekstrem dalam aliran politik.2
Radikalisme dengan arti ini jelas bertolak-belakang dengan Islam. Di dalam al-Quran, misalnya, disebutkan: Lâ ikrâha fî ad-dîn (Tak ada paksaan dalam memeluk Islam) (QS al-Baqarah [2]: 256).
Dengan demikian jelas berbeda antara radikal dan radikalisme. Bisa dikatakan bahwa Islam adalah radikal, namun Islam menolak radikalisme. Mungkin ada yang mengatakan itu sikap tidak konsisten, yakni menyebut radikal namun menolak radikalisme. Sebenarnya tidak. Contoh: Islam mengakui manusia sebagai makhluk sosial, tetapi Islam menolak Sosialisme. Islam mengakui bahwa berbisnis butuh kapital (modal), tetapi Islam menolak kapitalisme. Tambahan kata isme itulah yang membuat arti sebuah kata berubah secara fundamental.
Namun, karena kuatnya media dalam memberitakan radikalisme ini, istilah ini kemudian melekat pada mereka yang teguh dalam melaksanakan ajaran Islam. Mereka yang terlihat berpenampilan secara islami seperti celana cingkrang, cadar, jilbab/kerudung, misalnya, akan dicap sebagai Muslim yang telah terpapar radikalisme. Umat Islam yang menyerukan untuk kembali pada ajaran Islam yang kaffah juga akan dicap sebagai Muslim berpaham radikalisme.
Melawan “Radikalisme”
- Pencabutan BHP HTI.
Pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM, melakukan pencabutan terhadap Badan Hukum Perkumpulan (BHP) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017.
Pemerintah beralasan, ide atau ajaran yang dibawa oleh HTI bertentangan dengan ideologi Pancasila. Ironisnya, di dalam fakta persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), pihak tergugat/Pemerintah tidak bisa membuktikan Khilafah sebagai ajaran yang menyimpang.
Dalam dakwahnya, HTI pun selalu berpegang teguh pada tiga (3) prinsip yang telah digariskan oleh muassis (pendiri) Hizbut Tahrir, Al-’Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahulLah, yakni: fikriyyah (intelektual), siyasiyyah (politis) dan la ‘unfiyah (tanpa kekerasan).
- Narasi Menyerang Khilafah.
Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu saat Halal Bi Halal Mabes TNI yang dilangsungkan di GOR Ahmad Yani, Cilangkap, Rabu (19/6), menyebut ada sekitar 3 persen prajurit TNI yang terpapar radikalisme dan tak setuju Pancasila sebagai ideologi negara (CNN Indonesia, 19/06/2019).
Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko turut merespon apa yang disampaikan oleh Menhan Ryamizard Ryacudu. “Pada dasarnya, di TNI tegas. Kalau indikasinya sudah tidak bisa diperbaiki, ya buang ke laut,” ujar Moeldoko. (Kompas.com, 20/06/2019).
Narasi yang mereka bangun di atas terkait adanya pihak-pihak yang terpapar khilafah, baik dari TNI, ASN, mahasiswa, pegawai swasta dan lainnya. Tujuannya, untuk memberikan opini kepada masyarakat bahwa khilafah adalah paham radikalisme yang harus dilawan.
- Survey Tentang Radikalisme.
Narasi perang melawan radikalisme juga digencarkan dengan opini yang dibangun melalui hasil survey yang dilakukan oleh beberapa lembaga survey. Misalnya survey yang dilakukan oleh Setara Institute. Direktur Riset Setara Institute, Halili mengungkapkan, sebanyak 10 perguruan tinggi negeri di Indonesia terpapar paham radikalisme. Hal itu diungkapkan Halili berdasar hasil penelitian bertajuk, “Wacana dan Gerakan Keagamaan di Kalangan Mahasiswa: Memetakan Ancaman atas Negara Pancasila di PTN.” (Suara.com, 31/05/2019).
Setara Institute juga merekomendasikan Pemerintah untuk mengaudit Aparatur Sipil Negara (ASN) di beberapa wilayah yang rentan terpapar radikalisme. Menurut hasil survei Alvara Research pada Oktober 2018, ada 19,4 persen ASN di 6 kota yang tidak setuju dengan ideologi Pancasila. Keenam wilayah tersebut adalah Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Makassar (Voaindonesia.com, 24/01/2019).
Ada juga survey yang diakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah 2018. Survey menyebutkan sebanyak 63,07 persen guru memiliki opini intoleran pada pemeluk agama lain. Adapun guru yang mempunyai opini toleransi terhadap pemeluk agama lain mencapai 36,92 persen (Voaindonesia.com, 16/10/2018).
Survey yang dilakukan oleh Pengawas Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) menyatakan terdapat 41 masjid yang terindikasi menyebarkan paham radikal (Republika.co.id, 19/11/2019).
- Tindakan Persekusi.
Persekusi yang kerap dilakukan oleh sekelompok pihak kepada pihak lain juga bagian dari perang melawan radikalisme. Beberapa ulama dan ustadz dipersekusi dengan alasan ceramah yang disampaikan berbau radikal. Contohnya sebagaimana yang dialami oleh Ustadz Abdul Shomad, Ustadz Felix Siauw, KH Tengku Dzulqarnain dan lainnya.
Dugaan terpapar radikalisme juga menimpa umat Islam. Di beberapa universitas, misalnya, ada kebijakan larangan memakai niqab/cadar. Bahkan di Pemerintahan sendiri, yakni di Kementerian Dalam Negeri, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pernah mengeluarkan aturan baru berupa Instruksi Mendagri No. 025/10770/SJ tahun 2018 tentang tata tertib penggunaan Pakaian Dinas dan Kerapihan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Dalam aturan itu, ASN (PNS) lelaki diwajibkan merapikan jenggot, jambang dan kumis. ASN laki-laki juga diwajibkan mengenakan celana yang menutup hingga mata kaki. ASN perempuan yang berjilbab, jilbabnya harus dimasukkan dalam kerah pakaian. Seolah umat Islam yang mengenakan pakaian atau berpenampilan tertentu telah terpapar paham radikalisme. Aturan ini dicabut karena menuai kontroversi di tengah-tengah masyarakat.
- Menyoal Artis Hijrah.
Ditengah gemerlap dunia para artis, alhamdulillah kita menyaksikan bagaimana beberapa artis akhirnya memilih hijrah. Mereka meninggalkan profesi keartisannya. Ada juga , yang masih menjadi artis, namun memilih mengambil job pekerjaan yang mereka nilai masih sesuai dengan Islam. Bahkan mereka kemudian membentuk kegiatan yang dikenal dengan Hijrah Fest.
Sayang, fenomena artis hijrah tersebut diikuti dengan opini kekhawatiran akan masuknya paham radikal di kalangan artis. Ini tidak terlepas dari opini yang dibangun oleh sebagian pihak, sebagaimana yang kita bisa lihat pada salah satu postingan Komika Uus di twitternya. “Artis-artis yang udah hijrah ini. Aman. Tetep laku. Endorsan banyak. Sering posting ustad favorit. Ternyata ustadnya menanam bibit radikal,” cuit Uus, Senin (14/5/2018).
Proyek Nasional dan Internasional
Perang melawan radikalisme ini bukan hanya di Indonesia. Proyek ini juga digagas oleh negara lainnya. Cina, misalnya. Negara komunis ini sampai sekarang menganggap Provinsi Xingjiang di daerah Turkistan Timur sebagai basis Muslim yang berpaham radikal.
Cina menggunakan semua cara untuk dapat menghapus identitas etno-religius Uighur. Bahkan jutaan orang Uighur diduga telah dikurung oleh Pemerintah Cina di kamp-kamp konsentrasi.
AS juga memainkan isu radikalisme selain isu terorisme. Henry Kissinger, Asisten Presiden AS untuk urusan Keamanan Nasional 1969-1975, dalam sebuah wawancara November 2004, mengungkapkan pandangannya dengan menyatakan “…What we call terrorism in the United States, but which is really the uprising of radical Islam against the secular world, and against the democratic world, on behalf of re-establishing a sort of Caliphate (…Apa yang kita sebut sebagai terorisme di Amerika Serikat, tetapi sebenarnya adalah pemberontakan Islam radikal terhadap dunia sekular, dan terhadap dunia yang demokratis, atas nama pendirian semacam Kekhalifahan).”
Strategi Barat dalam Melawan Radikalisme
Pada tahun 2003, lembaga think-tank (gudang pemikir) AS, yakni Rand Corporation mengeluarkan sebuah kajian teknis yang berjudul Civil Democratic Islam.3 Secara terbuka, Rand Corp membagi umat Islam menjadi 4 kelompok, yakni kelompok Muslim Fundamentalis (radikal, red.), Tradisionalis, Modernis dan Sekularis.
Setelah dilakukan pengelompokan terhadap umat Islam, langkah berikutnya yang dilakukan Barat adalah melakukan politik belah bambu; mendukung satu pihak dan menjatuhkan pihak lain serta membenturkan antar kelompok.
Pada Tahun 2007 Rand Corporation juga menerbitkan sebuah dokumen setebal 217 halaman, terdiri atas 10 bab, yang berjudul Building Moderate Muslim Networks.4
Dalam dokumen tersebut, Rand Corp mengungkapkan peta jalan (road map) bagaimana membangun jaringan Muslim moderat dengan mulai memberikan prioritas bantuannya kepada pihak-pihak yang dinilai paling cepat memberikan dampak dalam perang pemikiran, yakni: (1) Akademisi dan intelektual Muslim yang liberal dan sekular; (2) Mahasiswa muda religius yang moderat; (3) Komunitas aktivis; (4) Organisasi-organisasi yang mengkampanyekan persamaan gender; (5) Wartawan dan penulis moderat.
Kesimpulan
Jelas, perang melawan radikalisme adalah proyek Barat untuk menjaga kepentingannya, yakni untuk menguasai dunia dengan sistem Kapitalisme-sekularnya. Proyek radikalisme ini akan menguntungkan Barat, termasuk para antek mereka yang berkuasa di beberapa negara.
Siapa yang dirugikan dengan proyek radikalisme ini? Jelas umat Islam secara keseluruhan. Bukan hanya kelompok-kelompok Islam yang selama ini aktif dalam perjuangan penegakan syariah Islam secara kaffah melalui institusi khilafah.
Oleh karena itu, umat Islam harus bangkit dan bersatu untuk melawan stigmatisasi negatif terhadap istilah radikal. Teruslah berjuang hingga Allah memenangkan agama ini, atau kita mati dalam perjuangan untuk kemenangan agama ini dengan kembali tegaknya kehidupan Islam secara kaffah di dalam institusi Khilafah Rasyidah Islamiyah.
WalLahu a’lam bi ash-shawwab. [Adi Victoria; (Penulis & Aktivis Dakwah)]
Catatan kaki:
2 https://kbbi.web.id/radikalisme
3 https://www.rand.org/pubs/monograph_reports/MR1716.html
4 http://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/monographs/2007/RAND_MG574.pdf