Menyoal Reaktualisasi Fikih
Dalam empat dekade terakhir ini, muncul istilah-istilah yang dikaitkan dengan perlunya mengubah sudut pandang terhadap Islam. Mulai dari reinterpretasi (penafsiran ulang), reaktualisasi (mengangkat dan menghidupkan kembali), reorientasi (memikirkan kembali), revitalisasi (membangkitkan kembali), kontekstualisasi (mempertimbangkan konteks kehidupan sosial budaya), Islam keindonesiaan hingga Islam Nusantara. Lalu baru-baru ini, pada Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-20, meskipun pada berita sebelumnya menggunakan istilah reaktualisasi, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas malah menyebutkan istilah rekontekstualisasi.1
Saat menjelaskan alasan pentingnya rekontekstualisasi, Yaqut menyatakan bahwa model pengamalan Islam harus dikontekstualisasikan dengan realitas aktual agar tidak justru membawa akibat yang bertentangan dengan substansi Islam itu sendiri, yaitu: tauhid, kejujuran, keadilan dan rahmah. Yaqut juga menyatakan bahwa dakwah Islam harus dijalankan dengan tetap memelihara harmoni masyarakat secara keseluruhan, walaupun tidak menjadikan non-Muslim berpindah (identitas) agama menjadi Muslim. Pengandopsian nilai-nilai substansial Islam sebagai nilai-nilai yang operasional dalam masyarakat adalah capaian dakwah yang amat tinggi harganya.2
Barang Lama
Reaktualisasi atau rekontekstualisasi sebetulnya adalah gagasan lama yang pernah diusung oleh Munawir Sjadzali, Menteri Agama Republik Indonesia (1983-1993) pada 15 April 1985. Istilah ini secara substantif mempunyai semangat yang sama dengan “sekularisasi” atau “desakralisasi” Nurcholish Madjid, “rasionalisasi” Harun Nasution, dan “pribumisasi” Abdurrahman Wahid.3
Munawir menuangkan gagasannya dalam tiga buku, Reaktualisasi Ajaran Islam (1988), Kontekstualisasi Ajaran Islam (1995) dan Ijtihad Kemanusiaan (1997).4 Adapun gagasan rekontekstualisasi yang disampaikan Menteri Agama sekarang setahu penulis belum dituangkan dalam karya tulis yang bisa menggambarkan konsepnya secara utuh. Baru sekadar lontaran-lontaran ide yang sangat umum. Melihat lontaran-lontaran ide itu, tampaknya apa yang dinyatakan oleh Pirol juga berlaku untuk reaktualisasi maupun rekontekstualisasi fikih yang digaungkan sekarang ini. Bahkan lebih ‘radikal’ lagi. Dulu tema khilafah dan jihad tidak dipermasalahkan keberadaannya dalam buku-buku fikih. Namun sekarang, itu dianggap sebagai hal yang berbahaya.
Ide mendasar dari istilah-istilah tersebut adalah mengubah dan mencocokkan pengamalan Islam dengan realitas aktual. Mengapa perlu diubah? Karena dianggap membawa akibat yang bertentangan dengan substansi Islam itu sendiri, yaitu: tauhid, kejujuran, keadilan dan rahmah. Lalu apa standar keadilan dan rahmah sehingga suatu hukum harus diubah? Tidak lain adalah nilai-nilai yang diagungkan Barat, seperti Hak Asasi Manusia (HAM), semangat egaliter, dan demokrasi, sebagaimana pandangan Mahmud Muhammad Taha.5
Pemikiran seperti ini sebenarnya bukan barang baru dalam model penafsiran ajaran agama, bukan pula produk asli Nusantara. Ribuan tahun lalu, Theodore (350 – 428 M), seorang teolog Kristen, dan Chrysostom (347-407M), Uskup Agung Konstantinopel, telah melakukan penafsiran Alkitab secara kontekstual, gramatikal dan historis.6 Biasa disebut dengan istilah hermeneutika. Model penafsiran ini berkembang hingga kemudian terjadi perubahan pada realitas kebenaran dan makna, yang ditentukan oleh alasan-alasan, dan tidak lagi ditentukan oleh “wahyu”.7 Tokoh yang berpikiran seperti ini adalah Rene Descartes (1596 – 1650M). ‘Ahli tafsir’ lain adalah Hans-Georg Gadamer (1900 – 2002 M). Dia menolak pandangan bahwa sebuah teks, khususnya teks Alkitab, adalah kepercayaan mutlak yang memiliki konten yang tetap stabil dan konstan. Dengan demikian penafsiran Alkitab kontemporer penuh dengan subjektivisme, relativisme, pluralisme dan hanya bersifat sementara.8
Terlihat bahwa model penafsiran Alkitab inilah yang sedang ditawarkan sebagai metode untuk merekontekstualisasi Islam. “Wahyu” tidak lagi menjadi penentu. Alasan-alasan manusialah yang menjadi penentu “wahyu”. Mirip dengan pandangan Rene Descartes. Entah gagasan tersebut ‘menyadur’ dari mereka ataukah kebetulan sama.
Menabrak Batas Ijtihad
Andai rekontekstualisasi sekadar dipahami secara bahasa sebagai proses masuk kembali ke dalam konteks,9 tentu tidak ada yang keliru dengan hal tersebut. Bahkan seharusnya memang begitu. Had pencurian, misalnya, tentu akan keliru jika diterapkan untuk kasus korupsi atau pesero yang menghianati harta pesero lainnya. Jihad dalam makna perang tentu akan keliru jika digunakan dalam menghadapi unjuk rasa damai menuntut hak-hak rakyat.
Sayangnya di lapangan tidak sedikit, dengan alasan kontekstualisasi dan ijtihad, justru batas ijtihad dilanggar, persis ungkapan Gadamer bahwa tidak ada kepercayaan mutlak yang sifatnya tetap dan konstan. Kontekstualisasi tidak lagi berpijak pada memahami dalil/nas, memahami realitas dan selanjutnya menerapkan kandungan nas pada realitas. Yang terjadi adalah bagaimana memikirkan realitas yang ada agar bisa dijustifikasi oleh nas. Rekontekstualisasi juga kadang menabrak hukum yang qath’i (pasti) sumbernya, yakni al-Quran dan al-Hadis yang mutawatir, serta qath’i pula dalâlah (penunjukan) maknanya.
Menurut Munawir, dalam aspek kemasyarakatan, nas yang qath‘i sekali pun dapat dimodifikasi. Alasannya, dalam sejarahnya juga ada beberapa ayat yang di-mansukh (dibatalkan hukumnya) oleh ayat lain.10 Dulu yang me-nasakh ayat adalah ayat juga. Sekarang, untuk meninjau kembali suatu hukum dapat dilakukan dengan penggunaan penalaran intelektual, dengan kepentingan masyarakat sebagai dasar pertimbangan atau tolak ukur utama.11 Inilah yang membedakan aktualisasi dan sejenisnya dengan konsep ijtihad yang sudah dikenalkan oleh para ulama.
Memang benar ada nasakh-mansukh. Namun, nas yang qath‘i hanya dapat di-nasakh oleh nas yang qath’i pula. Selain menyalahi ketentuan ijtihad, membatalkan sesuatu yang pasti dengan alasan yang tidak pasti, juga menyalahi akal sehat. Imam As-Syairazi menyatakan, “Demikian juga boleh me-nasakh as-Sunnah dengan as-Sunnah, sebagaimana boleh me-nasakh al-Quran dengan al-Quran, khabar ahad dengan ahad, mutawatir dengan mutawatir dan ahad dengan mutawatir. Adapun khabar mutawatir tidak boleh di-nasakh dengan khabar ahad. Karena mutawatir menghasilkan ‘ilmu (keyakinan) maka ia tidak boleh di-nasakh dengan yang hanya menghasilkan zhann (dugaan).”12
Lebih parah lagi adalah Nashr Hamid Abu Zayd. Jika Munawir hanya mempermasalahkan aspek kemasyarakatan, Abu Zayd lebih “kaffah” lagi. Dia berpendapat dan mengatakan bahwa al-Quran adalah produk budaya (muntaj tsaqafi) karena itu ia mengingkari status azali al-Quran sebagai Kalamullah. Dia memandang syariah adalah faktor penyebab kemunduran umat Islam. Tidak berhenti di situ. Perkara-perkara gaib yang disebut dalam al-Quran seperti ‘arsy, malaikat, setan, jin dan neraka dia anggap mitos belaka. Iman pada perkara-perkara gaib ini dia anggap sebagai indikator akal yang larut dalam mitos.13
Tidak aneh jika pada 14 Juni 1995 dia dihukumi murtad oleh Mahkamah dengan dukungan lebih 2000 Ulama Azhar.14 Diminta bertobat atau dikenakan had riddah. Namun, dia lari ke Spanyol, lalu ke Belanda dan menjadi profesor tamu di Universitas Leiden.15 Dari sanalah dia kembali menyebarkan pemikirannya tersebut.
Memang, batasan dan metodologi ijtihad yang dipegang ulama selama ribuan tahun itulah yang sepertinya akan ditabrak atas nama rekontekstualisasi dan sejenisnya. Alasannya, sebagaimana kata Abdullahi Ahmed An-Na’im, hal tersebut tak mampu menjawab kebuntuan metodologis untuk memecahkan paradoks yang selama ini melekat dalam syariah yang dia sebut diskriminatif terhadap perempuan, non-Muslim, dll. An-Na’im kemudian mengajukan metodologi pembaruan Mahmoud Mohamed Taha yang revolusioner. Menurut dia, jika pendekatan ini diterapkan, ia akan mampu memecahkan kebuntuan antara tujuan pembaruan, keterbatasan konsep dan teknik syariah historis.16
Gagasan Taha sendiri tidak kalah anehnya dengan gagasan Abu Zayd. Menurut Taha, nas-nas periode Madinah yang banyak berisi hukum/syariah bisa di-nasakh oleh periode Makkah, yang dia sebut sebagai “ar-risalah al-ula”.17 Karena itu, menurut Nai’m, harus ada syariah baru yang didasarkan pada naskh atau penghapusan ayat-ayat Madaniyyah oleh ayat-ayat Makiyyah yang menekankan kebebasan beragama, kesetaraan laki-laki dan perempuan, anti perbudakan, larangan penggunaan kekuatan terhadap negara lain, konstitusionalisme, dan sekularisasi.18
Inilah sebetulnya nilai-nilai yang mereka anggap substantif itu. Jika pengamalan fikih dianggap bertentangan dengan “subtansi” ini, maka fikih perlu diubah atas nama reaktualisasi, kontekstualisasi dsb.
Menundukkan Islam Pada Nilai-Nilai Barat
Jika ditarik benang merahnya, reaktualisasi, kontekstualisasi, maupun rekontekstualisasi yang diusung pihak-pihak tersebut semuanya memiliki semangat yang sama, yakni menundukkan Islam pada realitas atau nilai-nilai Barat. Karena konsep ijtihad yang digunakan ulama selama ribuan tahun dianggap tidak mampu menjawab kebuntuan metodologis untuk menundukkan Islam pada realitas, maka dirumuskanlah metode “ijtihad” baru yang mirip dengan metodenya Theodore, Descartes, maupun Gadamer dalam memahami agama mereka.
Karena itulah muncul berbagai pendapat nyleneh yang tidak pernah dilontarkan oleh para ulama selama ribuan tahun. Terkait hukum waris, misalnya, menurut Na’im non-Muslim berhak mewarisi seorang Muslim. Padahal Nabi saw. bersabda:
وَلاَ يَرِثُ الكَافِرُ الْمُسْلِمَ
Orang kafir tidak bisa mewarisi orang Muslim (HR al-Bukhari dan Muslim).19
Sabda Nabi saw. ini, juga pandangan para ulama, sama sekali tidak diperhatikan karena dia anggap bertentangan dengan standar HAM.20
Yang lebih parah, iman dan kafir juga “direkontekstualisasi”. Misal, dikatakan oleh mereka, “Jika kita gunakan analisis bahasa, dalam ayat itu (QS 98: 1) tersebut kata ‘min’ oleh mufasir disebut li at-tab’îdh, yang artinya sebagian. Jadi, orang kafir itu sebagian berasal dari Ahlul Kitab. Artinya, tidak semua Ahlul Kitâb itu kafir.” 21 Pertanyaannya, mufassir mana yang memahami demikian. Bukankah para mufassir justru memahami “min” dalam ayat tersebut sekadar lil bayân atau li at-tabyîn?.22
Kata mereka, bukan hanya Ahlul Kitab, kaum Majusi (penyembah api) dan kaum musyrik pun—dengan mengutip QS al-Hajj ayat 17—dianggap masih bisa selamat di akhirat, dengan alasan kan nanti Allah juga yang memutuskan.23 Padahal dalam urusan agama, Rasulullah saw. telah dengan gamblang memisahkan mana Muslim mana kafir, misalnya dalam sabda beliau:
وَالَّذِيْ نَفْسِ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ نَصْرَنِي وَلاَ يَهُوْدِي ثُمَّ يَمُوْتُ وَلمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Demi Allah Yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seorang dari umat ini, baik dia Yahudi atau Nasrani, lalu ia mati dan tidak mengimani risalah yang aku bawa (Islam), kecuali termasuk penghuni neraka.24
Jika atas nama reaktualisasi umat dibiarkan melakukan perombakan hukum Islam mengikuti metode Theodore, Descartes, Gadamer dll maka sadar atau tidak, selangkah demi selangkah, mereka akan sama seperti yang mereka tiru. Bahkan bisa jadi lebih parah. Wal iyâdzu bilLâh. [Muhammad Taufik Nt]
Catatan kaki:
1 “AICIS 2021, Menag Sebut Empat Alasan Pentingnya Rekontekstualisasi Fikih,” diakses 27 October 2021, https://kemenag.go.id/read/aicis-2021-menag-sebut-empat-alasan-pentingnya-rekontekstualisasi-fikih-xknwx; “Dibuka Wapres, AICIS 2021 Akan Bahas Reaktualisasi Fikih Dan Kebijakan Publik Di Era Global,” diakses 4 November 2021, https://kemenag.go.id/read/dibuka-wapres-aicis-2021-akan-bahas-reaktualisasi-fikih-dan-kebijakan-publik-di-era-global-lmn15.
2 “AICIS 2021, Menag Sebut Empat Alasan Pentingnya Rekontekstualisasi Fikih.”
3 Abdul Pirol, Reaktualisasi Ajaran Islam: Studi Atas Gagasan Dan Pemikiran Munawir Sjadzali, Baderiah, Cet. I. (Gorontalo: Sultan Amai Press, 2008), h. 76.
4 Yunahar Ilyas, “Reaktualisasi Ajaran Islam: Studi Atas Pemikiran Hukum Munawir Sjadzali,” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 44, no. 1 (1 June 2006): h. 230.
5 Azwarfajri, “Pemikiran Mahmud Muhammad Thaha Tentang Syariat Yang Humanis,” Jurnal Substantia Vol. 15, no. 2 (Oktober 2013): h. 206.
6 Yohanes Verdianto, “Hermeneutika Alkitab Dalam Sejarah: Prinsip Penafsiran Alkitab Dari Masa Ke Masa,” Mitra Sriwijaya: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Vol. 1, no. 1 (July 2020): h. 48, https://media.neliti.com/media/publications/317494-hermeneutika-alkitab-dalam-sejarah-prins-6cff0f98.pdf.
7 Ibid., h. 49.
8 Ibid., h.54-55.
9 M. Wahid, Filsafat Umum: Dari Filsafat Yunani Kuno Ke Filsafat Modern, Cet. I. (Serang: Penerbit A-Empat, 2021), h. 11-12.
10 Ilyas, “Reaktualisasi Ajaran Islam.”
11 Ibid.
12 Abu Ishak Ibrahim bin ‘Ali as-Syairozi, Al-Luma’ Fî Ushûl al-Fiqh, Cet. II. (Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003), h. 71-72.
13 Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Cet. 1. (Depok: Gema Insani, 2008), h. 188.
14 “Mengenang (Kafirnya) Nasr Hamid Abu Zayd – Kompasiana.Com,” diakses 8 November 2021, https://www.kompasiana.com/alparslan/552ff7896ea8343d748b45fc/mengenang-kafirnya-nasr-hamid-abu-zayd.
15 Alfitri, “Studi Qur’an Kontemporer: Telaah Atas Hermeneutik Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd,” Millah Vol. II, no. 1 (Agustus 2002): h. 56, diakses 10 November 2021, https://journal.uii.ac.id/Millah/article/download/6011/5427.
16 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah (Jilid 1)/ ; Wacana Kebebasan Sipil, HAM Dan Hubungan Internasional Dalam Islam (Penerbit LKiS, 2010), h. 58.
17 Azwarfajri, “Pemikiran Mahmud Muhammad Thaha Tentang Syariat Yang Humanis,” h. 206.
18 Tholkhatul Khoir, “Titik Temu Pemikiran Mahmoud Mohamed Thaha Dan Abdullahi Ahmed An-Na’im,” International Journal Ihya’ ’Ulum al-Din 18, no. 1 (7 September 2017): 65.
19 Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Pentahkik. Muhammad Zuhair bin Nashir, Cet. I. (Dâr Tûq al-Najâh, 1422), Juz 8, h. 156; Muslim bin Hajjâj, Shahih Muslim, Pentahkik. Muhammad Fuad Abd al-Baqi (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, t.th), Juz 3, h. 1233.
20 Nuril Habibi, “Kritik Terhadap Pemikiran Abdullahi Ahmed An-Na’im Tentang Konsep Waris Bagi Non Muslim,” AL-‘ADALAH: Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 1, no. 1 (March 2016): h. 55.
21 “Apakah Non-Muslim Itu Kafir? | NU Online,” diakses 11 November 2018, http://www.nu.or.id/post/read/74012/apakah-non-muslim-itu-kafir.
22 Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin Al-Suyuthi, Tafsîr Al-Jalâlain, Cet. I. (Kairo: Dâr al-Hadits, tt), h. 816; Nashiruddin Abu Said Abdullah bin ‘Umar Al-Baidhawi, Anwâr At-Tanzîl Wa Asrâr at-Ta’wîl, Pentahkik. Muhammad Abdurrahman al-Mar’asyali, Cet. I. (Beirut: Dâr Ihya al-Turats al-Arabi, 1418), Juz 5, h. 328.
23 “Moderasi Beragama Merajut Nasionalisme & Toleransi Beragama, Mabes Polri Jakarta | Buya Syakur – YouTube,” diakses 5 November 2021, https://www.youtube.com/watch?v=smv6pCL20Ew.
24 Hajjâj, Shahih Muslim, No. 134; Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Al-Syaibani, Musnad Al-Imam Ahmad Bin Hanbal, Pentahkik. Syu’aib al-Arnauth dkk (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2001), No. 8203.