Pro-kontra Islam Nusantara
Istilah Islam Nusantara kembali ramai menjadi bahan perbincangan di kalangan masyarakat. Banyak yang pro maupun kontrak terhadap istilah tersebut. Dikatakan “kembali” karena memang istilah ini sebenarnya sudah pernah muncul beberapa tahun sebelumnya.
Pemantik awalnya adalah saat Peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw. pada 17 Mei 2015 di Istana Negara. Saat tilawah ayat suci al-Quran, lantunan ayat dibacakan dibawakan dengan langgam Jawa. Sontak kemudian ramai masyarakat memperbincangkan hal tersebut.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pun kemudian menyampaikan alasannya mengapa ia menggunakan langgam Jawa pada saat itu. “Kenapa langgam Jawa yang ditampilkan? Karena saya belum menemukan langgam daerah lain yang tajwidnya baik. Bila ada, tolong kirim rekamannya,” tulis Menteri Agama di akun @lukmansaifuddin pada Ahad (17/5).1
Belum selesai polemik persoalan langgam Jawa tersebut, Menag kemudian menyampaikan narasi baru berupa istilah Islam Indonesia. Hal ini dia sampaikan pada Malam Haflah Akhirussannah dan Khatmil Quran Pondok Pesantren al-Fahham, Purworejo-Jawa Tengah, Rabu malam 10 Juni 2015. Dalam taushiyah-nya, Menag menyebut Islam Indonesia adalah Islam yang khas, apalagi penyebaran Islam di Indonesia berbeda dengan penyebaran Islam di Timur Tengah, Eropa, Afrika. Bahkan berbeda dengan daerah Persia dan Asia Selatan. Islam disebarkan di Nusantara tanpa menumpahkan setetes darah pun.2
Kemudian puncaknya saat Ketum PBNU Said Aqil Siradj memberikan sambutan saat membuka acara Istighotsah menyambut Ramadhan dan pembukaan Munas Alim Ulama NU, Minggu 14 Juni 2015 di Masjid Istiqlal, Jakarta. “Yang paling berkewajiban mengawal Islam Nusantara adalah NU,” kata Said Aqil.
Presiden Joko Widodo yang turut hadir dalam kegiatan tersebut, dalam sambutan juga, menyampaikan dukungannya terhadap Islam Nusantara. “Islam kita adalah Islam Nusantara. Islam yang penuh sopan santun. Islam yang penuh tatakrama. Itulah Islam Nusantara. Islam yang penuh toleransi,” ucap Joko Widodo.
Kemudian secara resmi, istilah Islam Nusantara digunakan oleh PBNU dalam tema Muktamar yang berlangsung pada 1 Agustus hingga 5 Agustus 2015 di Jombang, dengan mengusung tema utama, “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”.3
Melihat tema yang diambil tersebut, diduga kuat ada keinginan untuk menjadikan Islam Nusantara sebagai acuan kehidupan bagi umat Islam yang ada di Indonesia maupun di dunia.
Hal ini bisa disimpulkan dari apa yang dijelaskan oleh Rais Syuriyah PBNU kala itu oleh KH Masdar F Mas’udi. Ia menyatakan meskipun posisi Indonesia jauh dari tempat turun wahyu (Al-Quran, red,), pada aspek pemahaman, pengamalan dan tradisi, Indonesia sangat menjanjikan untuk dijadikan pegangan dunia Islam.
Kalau ditelaah lebih dalam, keluarnya istilah Islam Nusantara ini tidak terlepas dari pola pikir yang mencoba membandingkan kehidupan umat Islam yang ada di Indonesia dengan umat Islam yang ada di Timur Tengah. Mereka menyebut kehidupan umat Islam di Timur Tengah penuh dengan kekerasan. Ini sebagaimana yang terjadi di beberapa negeri Muslim seperti di Irak, Suriah, Libya, Mesir dan negeri-negeri Muslim lainnya. Menurut mereka, hal tersebut jauh berbeda dengan kehidupan umat Islam di Indonesia. Penuh dengan ketenangan, kedamaian, tidak ada perang dan tindak kekerasan lainnya. Inilah yang kemudian melahirkan gagasan atau ide berupa penggunaan istilah Islam Indonesia atau Islam Nusantara.
Padahal pola pikir dengan pemahaman yang demikian tidaklah tepat. Alasanya, karena apa yang terjadi di Timur Tengah yang terus bergolak sesungguhnya bukan karena faktor Islam. Wilayah ini terus memanas karena strategi penjajah Barat. Timur Tengah selama ini telah menjadi arena pertarungan kepentingan antara Inggris, Amerika, Rusia dan Prancis. Sebagai contoh, konflik yang sedang terjadi di Yaman sekarang ini.
Konflik tersebut sebenarnya bukanlah konflik Syiah-Sunni, tetapi pertarungan Amerika dengan Inggris untuk merebut kue kekuasaan di Yaman. Karena itu mengaitkan konflik Timur Tengah dengan sikap keberislaman kaum Muslim di sana merupakan tindakan naif dan diskriminatif. Tindakan ini telah menutup mata terhadap apa yang telah dilakukan negara-negara penjajah di wilayah tersebut.
Pro Kontra Islam Nusantara
Istilah Islam Nusantara ini secara resmi telah disuarakan oleh NU sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Hal ini didukung oleh Joko Widodo selaku pemimpin di negeri dengan mayoritas umat Islam terbesar di dunia ini. Namun demikian, istilah Islam Nusantara ini menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat, khususnya umat Islam di negeri ini.
Juru Bicara HTI Ismail Yusanto menyebut tidak fair menyandingkan kondisi Timur Tengah sekarang dengan kondisi di Indonesia pada tahun 2015. “Agak kurang fair kalau membandingkan Timur Tengah sekarang dengan Indonesia pada tahun 2015,” kata Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia Ismail Yusanto kepada BBC Indonesia, Minggu (14/06) malam.
Menurut Ismail, yang terjadi saat ini di sejumlah negara di wilayah Timur Tengah, misalnya Suriah, adalah proses perlawanan melawan penguasa yang zalim. “Ini minus persoalan ISIS yang mencoreng peradaban Islam, spirit perubahan dan perlawanan Islam itu ada di Timur Tengah saat ini. Ingat fenomena Arab Spring,” jelasnya.
Tokoh Pengusung Islam Nusantara
Sebagian orang menilai gagasan Islam Nusantara adalah reinkarnasi dari gagasan “Islam Liberal”, “Islam Moderat”, “Islam Indonesia” dan label lainnya yang disifatkan pada Islam. Jualan Islam Liberal sendiri sudah tidak laku di Indonesia. Lalu mereka beralih ke jualan nama lain, yakni Islam Nusantara.
Mungkin ada benarnya jika dikatakan gagasan Islam Nusantara adalah peralihan dari gagasan Islam Liberal. Karena jika dilihat, nama-nama tokoh yang menjadi pelopor, pengusung dana atau yang setuju dengan gagasan Islam Nusantara mayoritas adalah nama-nama yang tercantum di dalam buku yang berjudul 50 Tokoh Islam Liberal di Indonesia, yang dikarang oleh Budi Handrianto tahun 2007, terbitan Hujjah Press.
Azyumardi Azra, misalnya. Ia setuju dengan gagasan Islam Nusantara. Ia termasuk ke dalam list 50 tokoh Islam Liberal di Indonesia tersebut. Begitu juga dengan nama-nama lainnya seperti Komaruddin Hidayat, Masdar F. Mas’udi, Said Aqiel Siradj, Abdul Moqsith Ghazali, Ahmad Sahal dan lainnya.
Dalam penjelasannya tentang Islam Nusantara, Azyumardi menjelaskan bahwa model Islam Nusantara bisa dilacak dari sejarah kedatangan ajaran Islam ke wilayah Nusantara yang dia sebut melalui proses vernakularisasi.
“Vernakularisasi itu adalah pembahasaan kata-kata atau konsep kunci dari Bahasa Arab ke bahasa lokal di Nusantara, yaitu bahasa Melayu, Jawa, Sunda dan tentu saja bahasa Indonesia,” (Bbc.com, 15/06).
Kemudian proses ini diikuti pribumisasi (indigenisasi). Karena itu, menurut dia, Islam menjadi embedded (tertanam) dalam budaya Indonesia. “Jadi, tidak lagi menjadi sesuatu yang asing. Karena itu dalam penampilan budayanya, Islam Indonesia jauh berbeda dengan Islam Arab…Telah terjadi proses akulturasi, proses adopsi budaya-budaya lokal, sehingga kemudian terjadi Islam embedded di Indonesia,” jelas mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut.
Adapun Masdar F. Mas’udi berpendapat bahwa meskipun posisi Indonesia jauh dari tempat turunnya wahyu (al-Quran, red.), pada aspek pemahaman, pengamalan dan tradisi, Indonesia sangat menjanjikan untuk dijadikan pegangan dunia Islam (Nu.or.id, 09/03).
Gagasan Pokok Islam Nusantara
Mengutip tulisan Rais Aam Nahdlatul Ulama KH Ma’ruf Amin yang berjudul, “Khitah Islam Nusantara”4, disebutkan bahwa ada tiga pilar atau rukun penting di dalam Islam Nusantara. Pertama, pemikiran (fikrah). Kedua, gerakan (harakah). Ketiga, tindakan nyata (amaliyyah/amaliah).
Terkait pilar pertama, pemikiran, dijelaskan oleh beliau yakni meliputi cara berpikir yang moderat (tawassuth). Terkait pilar kedua, gerakan, diartikan sebagai semangat yang mengendalikan Islam Nusantara yang ditujukan pada perbaikan-perbaikan. Adapun terhadap ketiga, amaliah, dijelaskan bahwa Islam Nusantara sebagai identitas Aswaja NU yang menekankan bahwa segala hal yang dilakukan Nahdliyin harus lahir dari dasar pemikiran yang berlandaskan pada fikih dan usul fikih. Ini adalah disiplin yang menjadi dasar untuk menyambungkan amaliah yang diperintah al-Quran dan Sunnah Nabi saw.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj menyatakan bahwa Islam Nusantara adalah gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya dan adat-istiadat di Tanah Air. Menurut Said, Islam di Indonesia tidak harus seperti Islam di Arab atau Timur Tengah. Islam Nusantara, tegasnya, adalah Islam yang khas ala Indonesia (Republika.co.id, 10/03).
Azyumardi Azra mengatakan model Islam Nusantara atau Islam Nusantara dibutuhkan oleh masyarakat dunia saat ini. Ini karena ciri khasnya mengedepankan “jalan tengah”. “Karena bersifat tawasut (moderat), jalan tengah, tidak ekstrem kanan dan kiri, selalu seimbang, inklusif, toleran dan bisa hidup berdampingan secara damai dengan penganut agama lain, serta bisa menerima demokrasi dengan baik,” kata Azyumardi Azra (Bbc.com, 15/06).
Pandangan Pihak yang Kontra
Ide Islam Nusantara, menurut sebagian masyarakat Muslim yang lain, adalah sebuah ide, paham atau gagasan yang membahayakan.
Menurut Ketua Komisi Dakwah dan Pengambangan Masyarakat MUI Pusat, KH M Cholil Nafis, ada dua makna Islam Nusantara, yakni objektif dan subjektif, “Objektif adalah memaknai Islam itu berdasarkan sesuatu yang berlaku di Indonesia tetap berdasar al-Quran dan Hadis. Hanya saja pada saat dalam al-Quran dan Hadis tidak ada, ia mengkayakan dengan budaya di Indonesia, yang menurut ilmu ushul fiqh berdasarkan ‘urf,” terangnya pada Rabu, 04/07/2018.
Adapun yang subjektif, menurut Kiai Cholil, dapat memalingkan makna Islam dan istilah Islam Nusantara tersebut sehingga dapat dijadikan sebuah alat baru untuk memecah-belah umat Islam itu sendiri, “Yang subjektif itu dapat memalingkan makna Islam Nusantara menjadi berlawanan dengan Islam yang turun di Arab, dan kadang-kadang rasis kepada Arab dan memaknai Islam untuk menghancurkan islam itu sendiri” lanjut Pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah tersebut. 5
KH Yahya Zainul Ma’arif (Pengasuh PP. Al-Bahjah, Cirebon) yang biasa dipanggil Buya Yahya, saat menjelaskan persoalan yang di bawakan dalam tema, “Solusi Dinamika Islam Kekinian Di Indonesia dan Dunia”, dalam seminar ilmiah yang diadakan Pondok Pesantren Sidogiri pada hari ahad 24 Juni 2016, menjelaskan, “Ketentuan ini adalah ajaran ulama sejak zaman dulu dan menjadi identitas Ahlussunnah wal Jamaah di seluruh dunia sejak generasi awal. Dengan ini tidak perlu ada Islam Arab, Islam Inggris ataupun Islam Nusantara,” tukas Alumnus Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah, Bangil, Pasuruan ini.6
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Rembang Jawa Tengah sekaligus putra KH Maimoen Zubair, sesepuh PPP, yakni KH Muhammad Najih Maimoen (Gus Najih), menolak dengan tegas rumusan Islam Nusantara. Gus Najih beranggapan rumusan itu mengarah pada penyesatan opini publik. Apalagi Islam Nusantara tersebut dicetuskan dan didakwahkan oleh tokoh-tokoh yang sudah dikenal berpaham liberal bahkan Syiah. Gus Najih khawatir gerakan Islam Nusantara itu menjadi gerbong besar liberalisasi dan syiahisasi bagi umat Islam Idonesia.7
Memecah-Belah Umat
Ide Islam Nusantara ini adalah sebuah ide yang berbahaya. Mengapa? Karena bisa jadi ke depan akan muncul Islam versi yang lain, seperti Islam Timur Tengah, Islam Asia, Islam Afrika, dan sebagainya. Istilah-istilah ini akan semakin membuat perpecahan di tengah-tengah umat Islam.
Jika perpecahan itu terjadi, hal demikian akan mengamini strategi Barat dalam memecah-belah umat Islam. Ini sebagaimana yang terungkap dalam dokumen yang dikeluarkan oleh lembaga think-tank (gudang pemikir) AS, yakni Rand Corporation yang berjudul: Civil Democratic Islam.
Karena itu gagasan Islam Nusantara ini harus dihentikan. Gagasan ini akan membuat perpecahan di kalangan Umat Islam di dunia. Bahkan ia akan mencegah umat Islam di seluruh dunia bersatu di bawah naungan institusi Khilafah Islamiyyah.
WalLâhu a’lam bi ash-shawab. [Adi Victoria ; (Penulis & Aktivis Dakwah)]
Catatan kaki:
- https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/05/18/nojplh-mengapa-langgam-jawa-ditampilkan-ini-kicauan-menag
- https://www2.kemenag.go.id/berita/267116/menag-islam-indonesia-dipandang-dunia-sebagai-islam-damai
- http://www.nu.or.id/post/read/58077/ini-tema-muktamar-nu-ke-33-di-jombang
- https://www.pondokbanjar.or.id/2018/07/khitah-islam-nusantara-oleh-kh-maruf.html
- https://cholilnafis.com/2018/07/10/islam-nusantara-masing-masing-orang-mempunyai-makna-sendiri/
- https://sidogiri.net/2016/01/buya-yahya-jangan-menentang-ijmak-yang-telah-ditetapkan-para-ulama/
- https://www.bangsaonline.com/berita/19441/gus-najih-tetap-menolak-islam-nusantara