Stop Polarisasi! Saatnya Rajut Ukhuwah Hakiki
Pemilu 14 Februari 2024 sudah berlalu. Pemilu di Indonesia ternyata belum menjadi pelajaran berharga bagi umat Islam. Umat ini masih menjadi obyek dari hegemoni politik demokrasi. Seolah umat Islam masih terhalang untuk menjadi subjek yang mampu mengarahkan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Beruntung, pasca Pemilu 2024 umat Islam dipertemukan dengan Ramadhan. Bulan ini bisa starting point untuk kembali memformat diri. Tidak hanya ketakwaan individu, tetapi juga ketakwaan sosial. Polarisasi politik yang terjadi pra dan pasca Pemilu selayaknya menjadi pelajaran penting. Tidak ada guna berpecah-belah sebagai umat yang sejatinya ummat[an] waahidah. Justru pengarusutamaan takwa dan ukhuwah menjadi landasan kehidupan umat Isam ke depan.
Apalagi momentum Idul Fitri menjadi puncak setelah Ramadhan. Terdapat kearifan umat Islam di Indonesia untuk saling bermaafan dan menyambung silaturahmi. Idul Fitri bisa menjadi pengokoh komitmen keumatan untuk kembali lagi kepada Allah; kembali hidup dalam bingkai syariah Islam.
Demokrasi Melahirkan Polarisasi?
Istilah polarisasi dalam KBBI adalah pembagian atas dua bagian atau lebih pihak yang berlawanan. Jika dikaitkan dengan politik, polarisasi merujuk pada pembagian (pembelahan, red.) masyarakat dalam pandangan dan keyakinan terhadap isu seputar politik. Hampir semua pembahasan tentang polarisasi dalam ilmu politik mempertimbang-kan polarisasi dalam konteks partai politik dan sistem pemerintahan demokratis.
Polarisasi politik, menurut Emilia Palonen (Ilmuwan Politik di University of Helsinki), adalah alat politik yang diartikulasikan untuk memberikan batas antara ‘kita’ dan ‘mereka’ dan untuk mengintai komunitas yang dianggap sebagai tatanan moral. Palonen menjelaskan polarisasi sebagai situasi dua kelompok yang satu sama lain menciptakan demarkasi/batas di antara mereka. Batasan politik yang dominan menciptakan titik identifikasi dan konfrontasi dalam sistem politik. Alhasil, konsensus hanya ditemukan dai dalam kubu politik itu sendiri.1
Palonen menegaskan situasi ini merupakan masalah bagi demokrasi. Sebabnya, demokrasi dipandang sebagai artikulasi, kombinasi dan promosi nilai-nilai politik, juga tuntutan dan preferensi yang mengarahkan kebijakan dan mencari landasan di luar elit politik, bukan sekadar Pemilu biasa.
Di sisi lain, sesungguhnya landasan politik demokrasi adalah sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan). Demokratisasi, ketika memasuki Dunia Islam, telah merusak alam pikiran umat dengan meninggalkan politik Islam yang agung nan mulia. Ditambah lagi liberalisasi politik yang akhirnya menjasdikan manusia bebas berkehendak. Tak mempedulikan efek buruk dari keterbelahan masyarakat yang akibatnya fatal. Kondisi ini telah menjadi luka yang menganga dan kadang sulit untuk dirajut kembali.
Polarisasi paling fatal terjadi pada Pemilu 2019. Istilah ‘cebong’ dan ‘kampret’ terbawa di kehidupan nyata dan media sosial. Sebutan ‘kadal gurun (kadrun)’ menandai preferensi pada kelompok Islam yang dianggap radikal. Sementara itu, kelompok sekuler-liberal merapat pada kekuasaan untuk mencari aman dan penghidupan.
Bagaimana dengan Pemilu 2024? Ternyata masih ada pro-kontra dan polarisasi di tubuh umat Islam. Demikian seperti yang pernah terungkap dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Ma’ruf mengatakan pembelahan di masyarakat dapat terjadi di pelbagai tempat. Mulai dari di masyarakat, tempat ibadah hingga pesantren.2
Deklarasi dukungan pun datang dari ulama kondang di Pilpres 2024. Ulama menjadi panutan umat sebagai getting voter dan indikator penentuan pilihan. Meski demikian, dukungan ulama ini belum tentu sejalan dengan pilihan umat. Kondisi ini akibat depolitisasi dan sekularisasi kesadaran umat.
Terdapat nama Ustadz Abdul Somad (UAS), Ustadz Adi Hidayat dan Habib Rizieq Shihab yang menyatakan dukungan kepada Anies-Muhaimin. Habib Luthfi bin Yahya dan Gus Miftah mendukung Prabowo-Gibran. Kiai Abuya Muhtadi Dimyathi Pengasugh Ponpes Roudotul Ulum Cidahu, Pandeglang, Banten, mendukung Ganjar Pranowo Mahfud MD.3
Deklarasi santri, kyai, bu nyai, gawagis, nawaning dan pondok pesantren kerap diselenggarakan, khususnya di Pulau Jawa.
Polarisasi yang terjadi bisa dianalisis sebagai berikut:
Pertama, ketiadaan panduan politik dari ideologi yang shahih (Islam). Akhirnya, umat masih termakan isu demokratisasi yang sebenarnya tidak menguntungkan Islam. Konteks Pemilu demokrasi bukanlah jalan untuk menegakkan Islam.
Kedua, liberalisasi politik melalui upaya penyamaan demokrasi dengan Islam. Ayat-ayat dan hadis kerap dipakai untuk mendukung orang dan partai tertentu. Sayangnya, konteksnya tidak tepat dan gothak-gathik-mathuk. Kondisi ini diperparah dengan sikap politik tokoh umat yang cenderung dimanfaatkan dan dekat dengan kekuasaan.
Ketiga, fanatisme yang berlebihan pada figur. Tak ayal diskusi seputar suksesi kepemimpinan dan politik masih didominasi sosok. Seharusnya fanatisme umat didorong ke arah sistem Islam. Selama figur tidak berjalan di atas Islam, maka berarti ini melanjutkan model kepemimpinan sebelumnya dengan cara yang beda.
Keempat, banjirnya informasi di media sosial tanpa penyaringan. Hoax di mana-mana untuk menyesatkan pilihan politik umat. Liberalisasi informasi tanpa mempertimbangkan kebenaran dan kebohongan mengakibatkan masyarakat mudah mencaci, menghina dan berkomentar yang esensinya jauh dari Islam.
Menarik mencermati laporan survei Litbang Kompas bertajuk Tantangan Menepis Polarisasi Politik Pemilu 2024. Terekam sejumlah penyebab yang dianggap publik sebagai faktor keterbelahan atau polarisasi politik. Hasil survei menunjukkan, 56% dari total responden merasa khawatir akan adanya polarisasi politik pada masa Pemilu 2024.4
Alhasil, umat selayaknya sadar-sesadarnya untuk tidak masuk jebakan demokrasi yang melahirkan polarisasi. Apalagi membela mati-matian sosok yang memang tidak berjuang untuk penegakkan Islam. Pro-kontra menjadi sia-sia jika itu bukan untuk perjuangan ‘izzul Islaam wal Muslimiin. Sangat rugi pula umat yang besar dan sistem kehidupan yang komperhensif jika tak mampu menghadirkan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin.
Berukhuwah Lebih Berkah
Kesadaran sebagai umat yang satu perlu ditandaskan berulang di pikiran dan tindakan umat Islam. Layaknya bersaudara, kasih-sayang dan upaya menghindari perselisihan memunculkan keberkahan. Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ ١٠
Sungguh kaum Mukmin itu bersaudara. Karena itu damaikanlah kedua saudara kalian (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kalian mendapat rahmat (QS al-Hujurat [49]: 10).
An-Nu’man bin Basyir ra. menuturkan bahwa Nabi Muhammad saw. juga bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
Perumpamaan kaum Mukmin dalam saling mencintai, saling menyayangi dan bahu-membahu adalah seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Kunci dari ukhuwah yang melahirkan berkah terletak pada kesamaan pemikiran, perasaan dan tindakan dalam kehidupan Islam. Persatuan umat inilah yang menjadi kekuatan untuk memperjuangkan penegakan Islam dalam kehidupan. Berukhuwah tak hanya terwujud pada kepentingan ritual. Perlu juga perwujudan ukhuwah dalam politik, kenegaraan dan kebangsaan secara konseptual.
Kehadiran ukhuwah islamiyah dalam politik umat Islam tak cukup menghadirkan sosok yang baik, tetapi juga sistem yang baik, yang berasal dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Karena itu perjuangan politik umat bukan dalam kerangka demokrasi, tetapi dalam kerangka islami. Syariah Islam menggariskan politik itu bermakna mengurusi urusan umat, baik dalam negeri maupun luar negeri dengan syariah Islam. Pemimpin yang dihadirkan pun mau menerapkan syariah kaaffah dalam konsep berbangsa dan bernegara.
Kesadaran politik Islam akan terbentuk jika umat kembali mengkaji dan menelaah Islam dalam pembinaan (tastqiif), baik secara jama’i ataupun intensif. Umat perlu memahami kebobrokan demokrasi dan dampak buruknya dalam kehidupan. Jangan sampai energi umat habis gegara polarisasi yang esensinya tidak islami. Tiada guna menopang demokrasi yang merupakan ide asing untuk menghancurkan kehidupan umat Islam.
Perwujudan ukhuwah islamiyah menjadikan hidup lebih berkah. Polarisasi tak malah menguntungkan, tetapi membingungkan. Di sinilah peran penting ulama sebagai penjaga Islam untuk melakukan pencerahan yang benar dalam membina persaudaraan dalam bingkai ukhuwah islamiyah. Aqidah Islam menjadi ikatan kuat yang menembus batas sekat-sekat yang selama ini menjadikan umat tidak rekat. Ikatan Islam tak memandang suku, ras, warna kulit dan bangsa. Karakternya yang universal menjadikan Islam diterima secara global.
Ulama juga perlu meneguhkan kembali sikap untuk bersatu dalam perjuangan Islam. Fokus perjuanganya hanya pada Islam dan untuk Islam. Penting juga ulama memiliki kesadaran politik Islam agar tak dimanfaatkan politisi nakal demokrasi. Ulama tak boleh menjadi stempel pada sistem yang berpotensi melahirkan pemimpin zalim dan jauh dari Islam. Karena itu ulama juga menjadi contoh dari penerapan seruan ukhuwah islamiyah.
Jika ukhuwah islamiyah menjadi dasar kehidupan, umat tidak akan mudah terpecah-belah. Umat tidak mudah terprovokasi dengan pola pecah-belah musuh-musuh Islam. Kekuatan umat pun full untuk membela dan berjuang demi Islam. Standar hidup umat lebih berkah karena dalam bingkai syariah kaaffah.
Komitmen ukhuwah islamiyah akan kembali menyatukan umat. Sebabnya, umat Islam memiliki Tuhan yang satu, Allah SWT. Panutan yang sama, Muhammad Rasulullah saw. Kitab panduan yang sama, al-Quran. Saudara yang diikat aqidah Islam yang kuat. Juga kesamaan sumber hukum Islam selain al-Quran yaitu as-Sunnah, Ijmak Shahabat dan Qiyas.
Kini saatnya yang tepat untuk merajut kembali ukhuwah islamiyah dan persatuan umat. Apalagi momentum Idul Fitri sebagai perayaan akbar. ia menjadi tonggak penting meneguhkan komitmen umat. Saling memaafkan menghilangkan kekhilafan dan dosa yang pernah diperbuat. Saling silaturahmi dan anjangsana menguatkan satu jiwa. Saling memberi hadiah dan kabar baik di momen yang suci membuahkan rasa cinta. Sungguh indah kehidupan umat Islam.
WalLaahu a’lam. [Hanif Kristianto ; (Analis Politik-Media)]
Catatan kaki:
1 https://www.populismstudies.org/Vocabulary/political-polarization/
3 https://www.alinea.id/pemilu/peta-dukungan-ulama-kondang-di-pilpres-2024-b2icx9PwU