Virus Corona dan Resesi Ekonomi
Virus Corona tak hanya melumpuhkan ekonomi Cina, namun juga berpotensi menyeret ekonomi global ke dalam resesi. Ketika tren penyebaran kasus Corona menurun di Cina, kasus baru justru tumbuh pesat di negara-negara lain seperti Iran, Korea Selatan, Italia, Spanyol, Jerman dan Amerika Serikat. Tidak ada yang mampu memprediksi seberapa lama wabah ini akan berakhir dan seberapa banyak korbannya. Namun, kekhawatiran terhadap penyebaran virus ini membuat roda ekonomi global berputar lebih lambat.
Cina yang saat ini menjadi kekuatan ekonomi nomor dua di dunia setelah AS, dan menjadi motor utama perdagangan internasional, diperkirakan hanya tumbuh 4,5 persen tahun ini. Virus Corona menyebabkan kegiatan ekonomi di negara itu anjlok, seperti konsumsi, investasi dan ekspor. Negara-negara lain yang berkaitan kuat dengan ekonomi Cina ikut terkena getahnya. Pasalnya, selain menjadi negara eksportir terbesar, Cina juga menjadi importir terbesar dunia, khususnya untuk bahan baku.
Meningkatnya kekhawatiran terhadap penyebaran Corona membuat perdagangan internasional juga melambat. Apalagi kasus Corona dalam jumlah masif terjadi negara-negara eksportir besar seperti Cina, Jerman, Italia dan Korea Selatan. Peran mereka dalam rantai pasok utama perdagangan sangat besar. Jika ekonomi negara-negara tersebut turun, pasokan bahan baku industri manufaktur di banyak negara akan tersendat. Contohnya, industri elektronik dan farmasi di Indonesia, yang mengandalkan bahan baku dari Cina, kini mulai kesulitan bahan baku.
Sebagai dampak dari turunnya pasokan barang dan jasa, pendapatan pelaku usaha khususnya di negara-negara yang mengalami pandemi Corona juga turun. Di Italia, misalnya, restoran dan pertokoan kosong melompong karena orang berusaha menghindari paparan Corona di samping adanya kebijakan isolasi yang diberlakukan Pemerintah.
Penyebaran virus Corona juga membuat industri pariwisata anjlok. Pengetatan arus masuk wisatawan asing di banyak negara membuat banyak orang enggan bepergian terutama dari Cina. Padahal Cina merupakan penyumbang wisatawan terbanyak di bumi ini sekaligus negara tujuan terbesar keempat dunia setelah AS, Prancis dan Spanyol. Berbagai kegiatan yang mengumpulkan banyak orang, seperti bisnis, olahraga, konser dan pameran terpaksa ditunda bahkan dibatalkan. Arab Saudi bahkan menutup sementara pintu negaranya dari jamaah umrah dari negara lain.
Bursa saham di berbagai negara juga rontok akibat meningkatnya kekhawatiran investor terhadap potensi meluasnya eskalasi penyebaran virus Corona. Kondisinya bahkan disebut terburuk sejak krisis 2008 silam. Indeks Dow Jones Amerika Serikat turun tajam. Indeks FTSE London dan Nikkei Jepang masing-masing turun tiga persen pada minggu pertama bulan Maret.
Ancaman Resesi
Sebagai respon atas meningkatnya kekhawatiran terjadi resesi ekonomi, sejumlah bank sentral telah melakukan pemangkasan suku bunga acuan mereka. The Fed, bank sentral AS, bahkan secara mengejutkan menurunkan suku bunga kebijakannya hingga setengah persen sebagai respon terhadap ancaman ekonomi dari virus Corona. Pemotongan ini pertama kali dilakukan sejak Desember 2008, ketika terjadi krisis keuangan menghantam negara itu. Bank Sentral Uni-Eropa dan Bank of Japan memiliki ruang moneter yang lebih terbatas mengingat suku bunga mereka sudah di bawah nol persen. Kebijakan moneter lainnya seperti pembelian aset juga sudah mendekati batas maksimal.
Meningkatnya dampak Corona terhadap ekonomi global membuat beberapa lembaga, seperti IMF, Bank Dunia, dan OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun ini akan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. OECD, misalnya, memangkas pertumbuhan ekonomi tahun ini yang semula diperkirakan 2,5 persen turun menjadi 2,4 persen. Lembaga itu bahkan menyebutkan bahwa jika wabah virus Corona menyebar dalam skala yang lebih luas dan berkepanjangan maka angka tersebut bisa terkoreksi hingga 1,5 persen.
Sebagai dampak dari meningkatnya tekanan ekonomi tahun ini, beberapa negara juga telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi mereka. Singapura, misalnya, telah memangkas pertumbuhan ekonominya menjadi negatif 0,5 hingga 1,5 persen tahun ini. Thailand memangkas pertumbuhannya dari 3,3 persen menjadi 2,8 persen tahun ini. Jepang, yang ekonominya berada di peringkat ketiga setelah AS dan Cina, juga akan tertekan dengan perlambatan ekonomi Cina dan negara-negara tujuan ekspor negara itu. Tahun lalu saja ekonomi negara ini hanya tumbuh negatif 1,6 persen.
Tidak berlebihan jika sejumlah pengamat berpandangan bahwa wabah virus Corona dapat menjadi pemicu resesi global jika Cina dan negara-negara yang terkena wabah tidak segera mengatasi pandemi tersebut. ءngel Talavera, Kepala Ekonomi Eropa Oxford Economics, berpendapat bahwa sangat sulit untuk menghindari resesi pada periode pertama tahun ini. Tingkat keparahannya bergantung pada seberapa dalam dan seberapa lama wabah ini akan berakhir (New York Times, 3/9/20).
Ekonomi Indonesia Terancam
Sebagai negara yang memiliki hubungan kuat dengan Cina dan negara-negara yang terdampak Corona, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terancam melambat. Dari sisi perdagangan, ekspor Indonesia akan menyusut tajam sebab negara-negara yang mengalami pandemi Corona merupakan tujuan utama ekspor Indonesia. Contohnya, sebesar 20 persen pangsa pasar ekspor Indonesia adalah Cina. Pada saat yang sama, harga komoditas ikut turun. Harga minyak bahkan sempat turun hingga 30 persen akibat turunnya permintaan dan mencuatnya ‘perang minyak’ antara Arab Saudi dan Rusia. Konsekuensinya, ekspor Indonesia yang sangat bergantung pada komoditas mentah dan setengah jadi semakin tertekan.
Sektor pariwisata Indonesia yang melibatkan berbagai industri seperti transportasi, perhotelan, dan restoran juga melambat. Apalagi Cina merupakan penyumbang wisatawan asing terbanyak ke dua setelah Malaysia. Jumlah wisatawan asing pada bulan Januari anjlok 8 persen (BPS, 2020). Jika kecemasan terhadap penyebaran virus Corona meningkat, penurunan penumpang pesawat udara tersebut akan berlanjut pada bulan-bulan berikutnya.
Pelambatan ekonomi Cina dan negara-negara utama lainnya membuat industri manufaktur domestik ikut terpukul. Pasalnya, industri Indonesia sangat bergantung pada bahan baku impor. Berhentinya operasi sejumlah pabrik bahan baku di Cina membuat pasokan industri Indonesia ikut tersendat. Beberapa industri yang sangat bergantung pada bahan baku impor yaitu: peralatan komunikasi (84%), komponen elektronik (77%), pakaian jadi (60%), farmasi (50%) serta logam dari besi dan baja (50%) (BPS, 2019).
Kondisi ekonomi global yang memburuk juga memberikan sentimen negatif terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sepanjang bulan Februari 2020, nilai tukar Rupiah terdepresiasi hingga 5 persen dibandingkan dengan Januari. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun tajam hingga 13% pada bulan Februari (year to date). Angka ini tertinggi di negara-negara ASEAN. Jumlah modal keluar dari bursa saham mencapai Rp 4 triliun (IDX Monthly Statistics, February 2020).
Bank Indonesia pada bulan Februari juga telah menurunkan suku bunga acuan dari 5% menjadi 4,75% di samping mengeluarkan paket kebijakan untuk mendorong agar ekonomi tidak turun tajam. Dari sisi fiskal, Pemerintah menanggung pajak pendapatan pekerja dalam enam bulan ke depan. Meskipun demikian, situasi global yang memburuk dan berdampak luas bagi ekonomi domestik membuat target Pemerintah Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5% tahun ini dipastikan akan meleset.
Faktor Fundamental
Sebelum mencuatnya virus Corona, ancaman resesi ekonomi global tahun ini sebenarnya telah diprediksi tahun lalu. Seperti dipaparkan di atas, wabah Corona membuat ancaman tersebut semakin nyata. Nouriel Roubini, satu dari sedikit ekonom yang pernah memperingatkan ancaman krisis 2008, berpandangan bahwa selain virus Corona, ada beberapa faktor yang menjadi ancaman terbesar ekonomi tahun ini sejak krisis keuangan 2008. Di antaranya adalah gejolak geopolitik beberapa negara seperti Cina, Rusia, Iran dan Korea Utara; pemilihan presiden di AS yang berpotensi kacau; munculnya kembali ketegangan perdagangan dengan Cina; perubahan iklim; juga potensi peningkatan perang cyber.
Selain faktor pandemi virus Corona, ada beberapa faktor fundamental yang membuat ekonomi global rentan mengalami resesi dan krisis. Salah satunya adalah besarnya peran sistem finansial dalam mempengaruhi ekonomi global. Parahnya lagi, sistem finansial tersebut dipengaruhi sentimen non-rill, yang tidak berhubungan langsung dengan sektor riil. Sebagai contoh, harga saham di berbagai sektor anjlok akibat virus Corona. Padahal tidak semua industri yang saham-sahamnya anjlok tersebut terdampak langsung oleh virus tersebut.
Ketidakpastian di sektor finansial berdampak pada sikap investor yang mengalihkan portofolio investasi mereka ke aset-aset yang dianggap lebih aman, misalnya dari saham ke obligasi pemerintah yang lebih terjamin tingkat pengembaliannya. Mereka juga dengan mudah mengalihkan investasi mereka dari satu negara ke negara lain yang dianggap lebih menguntungkan. Kondisi tersebut diperparah oleh rezim nilai tukar mengambang yang berbasis mata uang kertas yang berlaku di semua negara. Akibatnya, nilai mata uang negara-negara tersebut rentan untuk berfluktuasi.
Kondisi ini sebenarnya telah disadari oleh banyak kalangan. Sistem finansial dalam sistem Kapitalisme lebih banyak menjadi sarana spekulasi ketimbang sebagai sarana untuk mendukung kegiatan pembiayaan di sektor riil. Smaghi (2010), anggota Dewan Gubernur Bank Sentral Uni Eropa, dalam makalahnya, “Has the financial sector grown too big?” menyatakan bahwa di antara persoalan sektor keuangan saat ini adalah massif-nya perburuan rente, kecenderungan untuk menggiring dan menciptakan gelembung, ketidakselarasan insentif yang diberikan dengan manfaatnya, juga perkembangan instrumen keuangan inovatif yang kompleks yang lebih besar daripada manfaatnya dari sisi keuangan.
Hal serupa dinyatakan oleh riset Cecchetti dan Kharroubi (2015) yang dipublikasikan oleh Bank of International Settlement (BIS). Disebutkan bahwa pertumbuhan yang lebih tinggi di sektor keuangan telah mengurangi pertumbuhan di sektor riil. Sektor keuangan telah bersaing dengan sektor ekonomi lainnya untuk mendapatkan sumberdaya. Mereka juga membuktikan bahwa ledakan kredit yang biasanya dianggap sebagai mesin pertumbuhan justru membahayakan ekonomi. Oleh karena itu mereka menyimpulkan bahwa perlu mengevaluasi kembali hubungan sistem keuangan dengan pertumbuhan rill dalam sistem ekonomi modern.
Dalam situasi demikian, Pemerintah hanya menggunakan kebijakan-kebijakan penangkal yang berefek pendek untuk menstimulus ekonomi, meredakan kepanikan pada sistem keuangan dan menstabilkan nilai tukar mata uang mereka. Salah satunya adalah memanipulasi tingkat suku bunga acuan mereka dan melakukan intervensi pasar melalui perdagangan mata uang dan surat-surat berharga.
Celakanya, dampak kebijakan mereka justru menyulut persoalan di negara lain. Penurunan suku bunga di suatu negara, misalnya, akan direspon oleh para investor dengan mengalihkan investasi mereka ke negara lain yang menawarkan suku bunga yang lebih tinggi. Nilai tukar mereka, yang membuat harga produk mereka di luar negeri menjadi lebih mahal, menyebabkan daya saing ekspor mereka turun. Negara-negara yang mata uangnya menguat berupaya untuk mendevaluasi mata uang mereka agar ekspor tetap kompetitif.
Demikianlah, sistem moneter dan keuangan global saat ini menghadapi masalah serius. Upaya perbaikan ekonomi di satu negara menyebabkan kerusakan ekonomi negara lain. Sistem ini terjadi sebab standar moneter saat ini tidak lagi diserahkan kepada mekanisme otomatis. Tidak sebagaimana yang berlaku pada standar emas dan perak yang berlaku sebelum berlakunya standar mata uang fiat atau mata uang kertas di seluruh dunia saat ini.
Pada rezim standar emas, jumlah uang beredar di suatu negara ditentukan berdasarkan kemampuan ekspornya. Semakin tinggi ekspornya maka cadangan emasnya menjadi lebih banyak. Meningkatnya pasokan emas menyebabkan inflasi domestik di negara tersebut naik sehingga harga barangnya menjadi lebih mahal. Dampak berikutnya, ekspornya turun karena tidak kompetitif dibandingkan negara-negara lain. Ketika ekspor lebih rendah dibandingkan impor, maka jumlah uang yang beredar di negara itu turun sehingga inflasi-nya turun. Pada saat yang sama, nilai tukar tetap stabil sebab yang dipertukarkan adalah emas dengan emas. Dengan mekanisme otomatis ini, kebijakan moneter bank sentral untuk mempengaruhi jumlah uang beredar menjadi tidak relevan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa potensi resesi ekonomi global, yang juga berdampak pada Indonesia, berpeluang besar terjadi jika wabah Corona menjadi semakin masif dan berkepanjangan. Hanya saja, potensi resesi tersebut juga dipicu oleh rapuhnya sistem ekonomi kapitalisme saat ini. Sistem moneter yang berbasis mata uang kertas juga membuat kestabilan mata uang berbagai negara termasuk Indonesia sangat fluktuatif sehingga merugikan para pelaku ekonomi. Sementara itu, sektor keuangan saat ini bahkan lebih banyak merugikan perkembangan sektor riil karena lebih banyak didorong oleh motif spekulasi. Tanpa ada perubahan sistem tersebut, potensi resesi dan krisis akan terus menghantui ekonomi global. []