Al-Musâqâh
عَامَلَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْع
Rasulullah saw. pernah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan separuh dari hasilnya berupa buah atau hasil pertanian. (HR al-Bukhari no. 2329 dan 2331; Muslim no. 1551; Ahmad no. 4663, 4732 dan 4946; Abu Dawud no. 3408 dan 3409; at-Tirmidzi no. 1383; Ibnu Majah no. 2467).
Hadis ini diriwayatkan dari jalur Abdullah bin Umar ra. Dalam redaksi lainnya dari jalur Nafi’ dari Abdullah bin Umar, dari Nabi saw.:
أَنَّه أَعْطَى خَيْبَر الْيَهُودَ عَلَى أَنْ يَعْمَلُوهَا وَيَزْرَعُوهَا وَلَهم شَطْرُ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا
Nabi saw. menyerahkan (tanah) Khaibar kepada orang-orang Yahudi agar mereka mengerjakan dan menanami tanah tersebut dan untuk mereka separuh dari hasilnya (HR al-Bukhari no. 2285, 2499, 2720, 4248; an-Nasai no. 4647 di dalam Sunan al-Kubrâ; al-Baihaqi no. 11360 di dalam Sunan al-Kubrâ).
Imam an-Nawawi rahimahulLâh menyatakan di dalam Syarhu Shahîh Muslim (10/209): “Di dalam hadis ini ada ketentuan tentang kebolehan al-musâqâh. Ini menjadi pendapat Malik, ats-Tsawri, al- Laits, asy-Syafii, Ahmad, semua muhadditsin, ahlu azh-zhahir dan jumhur ulama. Sebaliknya, Abu Hanifah menyatakan tidak boleh.
Imam an-Nawawi juga menyatakan:
Mereka berbeda pendapat dalam al-asyjâr (pohon) yang terhadapnya boleh al-musâqâh. Dawud mengatakan, “Boleh terhadap kurma secara khusus.” Asy-Syafii berkata, “Terhadap kurma dan anggur secara khusus.” Malik berkata, “Boleh atas semua al-asyjar.” Itu adalah pendapat untuk asy-Syafii. Dawud berpandangan itu merupakan rukhshah sehingga tidak melampaui apa yang dinyatakan (al-manshûsh ‘alayh). Asy-Syafii sepakat dengan Dawud dalam keberadaannya sebagai rukhshah, tetapi ia berkata, “Hukum anggur adalah hukum kurma dalam sebagian besar bab.” Adapun Malik berkata, “Sebab kebolehan adalah keperluan dan maslahat. Ini mencakup semua jadi dikiaskan terhadapnya. WalLâh a’lam.”
Seperti penjelasan Imam an-Nawawi, hadis di atas merupakan dalil kebolehan muamalah yang disebut oleh para ulama sebagai al-musâqah. Al-Musâqâh merupakan bentuk mufâ’alah dari as-saqyu. Dikatakan: saqyu az-zar’I, jika ia menyiramnya dengan air (Rawas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’).
Menurut al-Azhari dalam Tahdzîb al-Lughah, dikatakan: sâqâ fulânun fulânan nakhlatahu, jika pohon kurma itu ia serahkan kepada orang lain agar diairi, disirami dan diperlakukan apa saja untuk kebaikan pohon kurma itu baik sumur atau yang lain, dan prosentase tertentu dari buahnya maka untuk al-‘âmil dan sisanya untuk pemiliknya.
Adapun secara syar’i, al-musâqâh adalah seseorang menyerahkan pohon miliknya kepada orang lain agar diairi dan diperlakukan apa saja yang diperlukan dan untuk orang yang mengairi itu prosentase tertentu dari buahnya. Disebut musâqâh karena merupakan bentuk mufâ’alah dari as-saqyu. Sebabnya, penduduk hijaz kebutuhan paling banyak dari pohon mereka adalah pengairan. Mereka mengairinya dari sumur sehingga disebut dengan sebutan itu, yaitu al-musâqâh (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, kitâb “Al-Musâqât,” Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm).
Pengertian al-musâqah ini juga digali dari hadis di atas yang menggambarkan muamalah Rasul saw. dengan Yahudi Khaibar. Tanah Khaibar ditaklukkan secara ‘anwat[an], atau menurut pendapat lain ditaklukkan secara shulh[an] dengan ketentuan tanahnya menjadi milik kaum Muslim. Di tanah Khaibar sudah ada pohon-pohon (kebun-kebun) kurma secara dominan. Kemudian Rasul saw. menyerahkan pengelolaan tanah Khaibar yang didominasi pohon (kebun) kurma itu kepada Yahudi Khaibar dan mereka mendapat separuh dari hasilnya. Aktivitas utama dalam pengelolaan kebun kurma itu adalah mengairi. Karena itulah muamalah Rasul saw dengan Yahudi Khaibar itu lantas disebut al-musâqah, menurut aktivitas yang dominan di situ.
Hanya saja, di antara tanah Khaibar itu ada yang bisa digunakan untuk bercocok tanam (pertanian), seperti di antara kebun atau di sela-sela pohon kurma. Namun, area pertanian itu tidak dominan, yakni jauh lebih sedikit. Yang dominan adalah area pohon kurma atau kebun kurma. Buktinya, hasil dominan tanah Khaibar adalah kurma, dan sebagian kecil jewawut. Ibnu Umar ra. menuturkan:
أَعْطَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَر بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ، فَكَانَ يُعْطِي أَزْوَاجَه كُلَّ سَنَةٍ مِائَة وَسْقٍ، ثَمَانِينَ وَسْقًا مِنْ تَمْرٍ، وَعِشْرِينَ وَسْقًا مِنْ شَعِيرٍ
Rasulullah saw. menyerahkan (tanah) Khaibar dengan separo hasilnya berupa kurma atau hasil pertanian. Beliau memberi istri-istri beliau tiap tahun 100 wasaq terdiri dari 80 wasaq kurma dan 20 wasaq jewawut (HR Ahmad no. 4732 dan 4946; Muslim no. 1551).
“Para ulama berkata: Ini adalah dalil bahwa area tanah di Khaibar yang menjadi area pertanian lebih sedikit dari syajar.” (Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, 10/211).
Karena yang dominan adalah syajar, yakni pohon kurma, maka pertanian (zar’[un]), yaitu jewawut itu adalah tâbi’[un] (mengikuti). Kaidah ushul menyatakan: at-tâbi’u ya’khudzu hukma al-matbû’ (yang mengikuti mengambil hukum yang diikuti); al-ghâlibu fî al-wâqi’, al-ghâlibu fî al-hukm (yang dominan dalam fakatanya maka juga dominan dalam hukumnya).
Jadi hukum zar’u di situ mengikuti tsamar dan syajar, yakni mengikuti al-musâqah. Artinya, muamalah yang dilakukan oleh Rasul saw. dengan penduduk Khaibar itu hanya satu muamalah, yaitu al-musâqah. Hal itu ditegaskan dalam hadis Nafi’ dari Ibnu ‘Umar ra. di atas: “A’thâ khaybara al-yahûda ‘alâ an ya’malûhâ wa yazra’ûhâ…”
Jadi di situ tidak ada akad al-muzâra’ah. Dengan demikian hadis ini tidak dapat dijadikan dalil atas kebolehan al-muzâra’ah atau penyewaan lahan untuk pertanian. Hadis di atas menunjukkan kebolehan al-musâqah. Dalam al-musâqah itu, selain perawatan dan pengelolaaan pohonnya, juga boleh tanahnya digunakan bercocok tanam oleh al-‘âmil, yakni orang yang merawat dan mengelola al-asyjâr itu. Hasilnya, baik buah atau hasil al-asyjâr dan hasil bercocok tanam, dibagi menurut prosentase yang telah disepakati di antara pemilik al-asyjâr dengan pengelola itu. Tentu saja, muamalah al-musâqah itu harus memenuhi ketentuan hukum syariah.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]