Hadis Pilihan

Kepemilikan dan Pertanggungjawaban

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاه

Kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada Hari Kiamat sampai dia ditanyai: tentang umurnya, dalam hal apa dia habiskan; tentang ilmunya, dalam hal apa dia amalkan; tentang hartanya, dari mana dia peroleh dan untuk apa dia belanjakan; dan tentang tubuhnya, dalam hal apa dia manfaatkan (HR at-Tirmidzi, ad-Darimi, al-Baihaqi. Redaksi at-Tirmidzi).

 

Hadis ini diriwayatkan dari jalur Abu Barzah al-Aslami oleh at-Tirmidzi di dalam Sunan at-Tirmidzî, ad-Darimi di dalam Sunan-nya, ar-Ruwiyani (w. 307) di dalam Musnad ar-Ruwiyani, al-Baihaqi di dalam Al-Madkhal ilâ as-Sunan al-Kubrâ dan Syu’ab al-Îmân dan Abu Ya’la di dalam Musnad-nya.

Hadis ini juga diriwayatkan dari jalur Muadz bin Jabal oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushannaf-nya, ad-Darimi di dalam Sunan-nya, al-Bazar di dalam Musnad-nya, ath-Thabarani di dalam Mu’jam al-Kabîr, Tamam bin Muhammad (w. 414) di dalam Fawâid Tamâm, al-Baihaqi di dalam Al-Madkhal ilâ as-Sunan al-Kubrâ dan Syu’ab al-Îmân dan Abu Bakar Ahmad bin Marwan ad-Daynuri (w. 333 H) di dalam Al-Mujâlasah wa Jawhâr al-‘Ilmi.

Dalam sebagian riwayat Muadz bin Jabal menggunakan redaksi sedikit berbeda:

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعِ خِصَالٍ : عَنْ عُمُرُهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ، وَعَنْ عَلِمهِ مَاذَا عَمِلَ فِيهِ

Kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada Hari Kiamat sampai dia ditanyai tentang empat perkara: tentang umurnya, dalam hal apa dia habiskan; masa mudanya,  untuk apa dia gunakan; tentang hartanya, dari mana dia peroleh dan untuk apa dia belanjakan; dan tentang ilmunya, untuk apa dia amalkan (HR ath-Thabarani, Tamam bin Muhammad, Abu Bakar ad-Daynuri).

 

Dalam hadis di atas, Rasul saw. menyatakan bahwa di akhirat kelak, setiap manusia harus mempertanggungjawabkan penggunaan umurnya, masa mudanya dan jasad (tubuh)-nya. Setiap manusia juga harus mempertanggungjawabkan ilmunya, apa yang dia lakukan dengan ilmunya itu. Juga setiap manusia harus mempertanggungjawabkan atas hartanya, dari mana dia peroleh dan dia belanjakan dalam apa saja.

Muhammad Ali ash-Shidiqi asy-Syafi’i (w. 1057 H) di dalam Dalîl al-Fâlihîn li Thuruq Riyâdh ash-Shâlihîn menjelaskan sabda Nabi saw. “min ayna iktasabahu”, yakni apakah dari yang halal atau yang haram; wa fî mâ anfaqahu. Wa ‘an jizmihi fîmâ ablâhu, yakni dalam ketaatan kepada Allah SWT atau dalam selainnya.

Al-Mubarakfuri (w. 1353 H) di dalam Tuhfah al-Ahwadzi juga menjelaskan, “min ayna iktasabahu”, yakni apakah dari yang haram atau yang halal, “wa fîmâ anfaqahu” yakni dalam ketaatan atau kemaksiatan.

Pertanyaan di akhirat tentang harta terkait dari mana perolehannya dan ke mana pembelanjaannya itu mengisyaratkan kepemilikan manusia atas harta itu. Sebab perolehan dan pembelanjaan itu bermakna penguasaan dan kepemilikan.

Pertanyaan atau pertanggungjawaban itu sekaligus mengisyaratkan bahwa ada cara perolehan harta yang diizinkan oleh Allah SWT. Sebaliknya, ada cara perolehan yang tidak tidak diizinkan oleh Allah SWT. Artinya, ada penguasaan riil atas harta yang dibenarkan dan diizinkan oleh Allah SWT dan ada yang tidak.

Di sisi lain, pertanyaan tentang ke mana harta itu dibelanjakan, bermakna bahwa harta yang diperoleh dan dikuasai dengan cara yang benar, ke mana dibelanjakan akan dimintai pertanggungjawaban. Artinya, ada pembelan-jaan harta yang merupakan ketaatan yakni dibenarkan dan diizinkan oleh Allah SWT. Sebaliknya, ada juga pembelanjaan harta yang merupakan kemaksiatan, yakni tidak dibenarkan dan tidak diizinkan oleh Allah SWT.

Dari sisi kekuasaan dan kepemilikan atas harta, semua harta di dunia kepemilikan hakikinya adalah milik Allah SWT. Sebab Allah SWT adalah pemilik apa saja yang ada di langit dan di bumi. Allah juga menegaskan bahwa kepemilikan hakiki atas harta adalah milik-Nya.

وَءَاتُوهُم مِّن مَّالِ ٱللَّهِ ٱلَّذِيٓ ءَاتَىٰكُمۡۚ ٣٣

Berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang Dia karuniakan kepada kalian (QS an-Nur [24]: 33).

 

Lalu Allah SWT memberikan hak kepemilikan kepada manusia atas harta melalui istikhlâf (penguasaan):

وَأَنفِقُواْ مِمَّا جَعَلَكُم مُّسۡتَخۡلَفِينَ فِيهِۖ ٧

Nafkahkanlah sebagian dari harta kalian yang telah Allah jadikan untuk dikuasai oleh kalian (QS al-Hadid [57]: 7).

 

Berikutnya, hadis di atas menyatakan bahwa cara memperoleh dan menguasai harta akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak, yakni pertanggungjawaban atas penguasaan riil atas harta. Penguasaan riil atas harta itu bermakna kepemilikan riil atas harta. Kepemilikan riil atas harta oleh individu-individu itu dilihat dari ada atau tidaknya izin dari Allah SWT, yakni dari Asy-Syâri’, terhadap cara perolehan atau penguasaan harta itu. Atas dasar penguasaan atau cara perolehan yang diizinkan itu, berikutnya orang yang menguasai atau memperoleh harta itu mendapat izin Asy-Syâri’ untuk memanfaatkan harta itu dengan cara yang diizinkan atau dibenarkan oleh asy-Syari’.

Dengan demikian, kepemilikan itu pada dasarnya adalah izin Asy-Syâri’ untuk memanfaatkan harta. Di situlah—terkait  kepemilikan individu—dalil-dalil syariah di dalam al-Quran dan as-Sunnah menjelaskan berbagai cara yang diizinkan atau dibenarkan bagi seseorang untuk menguasai atau memperoleh harta atau sebab kepemilikan. Misalnya, sebabnya dalam bentuk menghidupkan tanah mati: Sabda Nabi saw., “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu miliknya.” (HR Ahmad dan at-Tirmidzi). Misal lain: berburu (QS al-Maidah [5]: 2; 96); menjadi makelar (HR Ahmad); menjadi pengelola syirkah khususnya mudhârabah, musâqah; bekerja kepada pihak lain; menggali rikâz; dan sebab-sebab lainnya yang diizinkan oleh syariah.

Syariah juga menjelaskan cara yang diizinkan untuk mengembangkan kepemilikan dan untuk memperbanyak harta. Syariah pun  menjelaskan berbagai pembelanjaan yang disyariatkan baik pembelanjaan wajib, sunnah maupun mubah. Semua itu—yaitu cara perolehan harta, pengembangan kepemilikan dan perbanyakan harta serta pembelanjaan harta—akan dimintai pertanggungjawaban kelak akhirat.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

12 + 18 =

Check Also
Close
Back to top button