Kontrak Kerja
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ
Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda: Allah SWT berfirman, “Ada tiga golongan yang Aku perkarakan pada Hari Kiamat: laki-laki yang memberi (janji atau sumpah) atas nama-Ku, lalu dia melanggar; laki-laki yang menjual orang merdeka dan dia makan harganya; dan laki-laki yang mempekerjakan seorang pekerja dan pekerja itu telah menunaikan (pekerjaan) untuk dia, tetapi dia tidak memberikan upahnya.” (HR al-Bukhari).
Sabda Rasul saw. dalam hadis di atas, “tsalâtsat[un] ana khashmuhum (tiga golongan yang Aku perkarakan).” Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan al-Isma’ili ada tambahan, “wa man kuntu khashmuhu khashamtuhu (siapa saja yang Aku perkarakan, Aku benar-benar memperkarakan dia).”
Ibnu Hajar al-‘Ashqalani (w. 852 H.) di dalam Fathu al-Bârî mengatakan tentang tiga golongan itu bahwa Ibnu at-Tin mengatakan, “Allah SWT menjadi lawan perkara semua orang zalim. Hanya saja, Allah ingin memberi penegasan terhadap mereka (tiga golongan) itu dengan pernyataan yang terang.”
Badruddin al-‘Ayni (w. 855 H.) di dalam ‘Umdah al-Qârî Syarh Shahîh al-Bukhârî menyatakan, pada lafal a’thâ bî ada maf’ul (obyek) yang disembunyikan; taqdir-nya adalah a’thâ al-‘ahda bi ismî wa al-yamîna bihi (memberi janji dan bersumpah atas nama-Ku).
Makna hadis di atas dijelaskan oleh Ibnu Baththal (w. 449 H.) di dalam Syarhu Ibni Baththal, “Allah SWT mencela orang yang mengikat perjanjian lalu melanggar. Allah pun mencela orang yang menjual orang merdeka. Dia menghina dan merendahkan orang merdeka tersebut. Dia pun menghalangi orang merdeka itu dari hak mengelola apa saja yang Allah bolehkan untuk dirinya. Ini merupakan dosa besar karena dia menyaingi Allah yang berwenang atas hamba-Nya. Allah pun mencela orang yang menelantarkan hak pekerja. Dia telah menzalimi pekerja ketika dia memanfaatkan pekerja tersebut dan mengeksploitasi keringatnya tanpa upah. Dia menyalahi pengawasan Allah atas hamba-hamba-Nya. Pasalnya, Allah menggunakan mereka dan menjanjikan kepada mereka pahala besar dan imbalan agung atas ibadah kepada-Nya. Padahal Dialah Yang telah menciptakan mereka dan memberi mereka rezeki.”
Ibnu al-Jauzi (w. 597 H.) di dalam Kasyfu al-Musykil min Hadîts ash-Shahîhayn menjelaskan, “A’tha bî yakni bersumpah dengan nama-Ku. Yang demikian karena dia lancang kepada Tuhannya, Allah ‘Azza wa Jalla. Lalu orang yang menjual orang merdeka karena Allah menimpakan perbudakan terhadap orang kafir. Adapun Mukmin adalah hamba Allah yang murni. Siapa saja yang menjual orang Mukmin berarti dia telah menjual hamba Allah yang murni. Siapa saja yang berbuat dosa terhadap hamba-Nya maka Tuannya (Allah SWT) pasti memperkarakan dia. Adapun orang yang mempekerjakan seorang pekerja, maka pekerja itu mempercayai keamanahan majikannya. Jika sang majikan mengkhianati amanahnya, Allahlah yang membalas pengkhianatannya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani (w. 852 H.) di dalam Fathu al-Bârî menjelaskan: Sabda Rasul saw., “wa rajul[un] ista`jara ajîran fa[i]stawafâ minhu wa lam yu’thihi ujrahu,” bermakna orang yang menjual orang merdeka dan memakan harganya. Sebabnya, pekerja itu telah menunaikan jasanya tanpa imbalan. Seolah-olah sang majikan memakan (harga)-nya karena dia memanfaatkan jasa sang pekerja tanpa upah seolah-olah dia memperbudak dirinya”.
Muhammad bin Muhammad ‘Alan ash-Shidiqi al-Bakri asy-Syafi’i (w. 1057 H.) di dalam Dalîl al-Fâlihîn li Thuruq Riyâdh ash-Shâlihîn mengutip Imam Taqiyuddin as-Subki yang menjelaskan, “Orang yang mempekerjakan seorang pekerja diposisikan seperti orang yang memperbudak orang merdeka dan menelantarkan dirinya dari banyak ibadah nafilah. Lalu Allah menyerupakan dia dengan orang yang menjual orang merdeka dan memakan harganya. Karena itu Allah besarkan dosanya.”
Jadi hadis di atas menjelaskan siapa saja yang melakukan tiga perbuatan itu, dia telah melakukan dosa besar. Salah satunya adalah orang yang mempekerjakan seseorang dan orang itu telah memenuhi pekerjaannya, tetapi dia tidak memberikan upahnya.
Hadis ini juga menunjukkan bahwa bekerja itu boleh dan syar’i selama memenuhi ketentuan hukumnya. Hal itu juga dinyatakan dan ditegaskan dalam al-Quran (QS ath-Thalaq [65]: 6) maupun dalam banyak Hadis Nabi saw.
Hadis di atas juga mengisyaratkan bahwa seorang pekerja berhak mendapat upah atas pekerjaan atau jasa yang dia berikan kepada majikannya (orang yang mempekerjakan dirinya). Upah itu merupakan haknya yang menjadi kewajiban majikan itu. Jika majikan itu mangkir dari memberikan upah itu, maka dia berdosa besar sebagaimana yang ditegaskan di dalam hadis di atas. Bahkan pembayaran upah kepada pekerja disyariatkan untuk disegerakan begitu dia menunaikan pekerjaan atau jasa yang diakadkan. Rasul saw. bersabda:
أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ، قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
Berilah pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya (HR Ibnu Majah, al-Baihaqi, ath-Thabarani, Ibnu Zanjawayh, al-Qudha’i dan Tamam bin Muhammad).
Dari sisi pekerja, dengan bekerja dia berhak mendapat upah. Sebelum kontrak kerja itu, pekerja tersebut tidak memiliki harta yang merupakan upah itu. Setelah kontrak kerja itu dan dia menunaikan pekerjaan atau jasa yang diakadkan, maka dia mendapat upah, yakni mendapat harta. Harta itu menjadi haknya, yakni miliknya. Dengan demikian kontrak kerja itu menjadi salah satu sebab kepemilikan harta bagi seorang pekerja.
Di lihat dari sisi jasa/manfaat yang diakadkan, dapat berupa manfaat personal. Dalam hal ini, dia pada satu waktu hanya dapat bekerja kepada satu majikan. Pekerja inilah yang disebut ajîr al-khâsh. Dapat pula jasa/manfaat yang diakadkan adalah manfaat dari pekerjaan tertentu, bukan manfaat personalnya. Dalam hal ini pekerja tersebut dapat bekerja kepada banyak orang. Pekerja inilah yang disebut ajîr al-‘âm. Syariah merinci lebih jauh hukum ijârah dalam semua jenis ajîr dan ijârah.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]