Hadis Pilihan

Musaqat

عَامَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ

Rasulullah saw. mempekerjakan penduduk khaybar dengan separuh dari hasilnya berupa tsamar (buah-buahan) atau zar’un (hasil pertanian).(HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan al-Baihaqi).

Hadits ini diriwayatkan dari penuturan Abdullah bin Umar ra. Di dalam riwayat lainnya, Ibnu Umar ra. berkata:

أَنَّهُ أَعْطَى خَيْبر الْيَهُودَ عَلَى أَنْ يَعْمَلُوهَا وَيَزْرَعُوهَا وَلَهُمْ شَطْرُ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا

Nabi saw. menyerahkan (tanah) Khaybar kepada Yahudi agar mereka mengerjakan dan menanami tanah itu dan untuk mereka separuh dari hasilnya (HR al-Bukhari dan al-Baihaqi).

 

Dalam riwayat lainnya dinyatakan bahwa Ibnu Umar ra. berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَفَعَ إِلَى يَهُودِ خَيْبَرَ نَخْلَ خَيْبَرَ وَأَرْضَهَا عَلَى أَنْ يَعْتَمِلُوهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَلِرَسُولِ اللهِ شَطْرُ ثَمَرِهَا

Nabi saw. pernah menyerahkan kepada Yahudi Khaybar pohon kurma dan tanahnya dengan ketentuan agar mereka kerjakan dari harta mereka dan untuk Rasulullah saw. separuh buahnya (HR Muslim, Abu Dawud dan an-Nasai).

 

Imam an-Nawawi di dalam Syarhu Shahîh Muslim menyatakan, “Di dalam hadis-hadis ini (ada dalil) kebolehan al-musâqâh. Kebolehan al-musâqâh itu dikatakan oleh Malik, ats-Tsawriy, al-Layts, asy-Syafi’i, Ahmad dan seluruh fuqaha muhadditsin, ahlu zhahir dan jumhur ulama.

Imam Muslim meriwayatkan hadis di atas dalam Kitab Al-Musâqâh wa al-Mu’âmalah. Ini mengisyaratkan bahwa istilah al-musâqâh sama dengan al-mu’âmalah. Dalam hal ini Imam al-Khathabi di dalam Ma’âlim as-Sunan menyatakan, “Itu (al-musâqâh) disebut oleh para ulama Irak dengan istilah al-mu’âmalah.

Penyebutan al-mu’âmalah mengambil lafal hadis di atas: ‘âmala Rasûlullâh ahla khaybar

Istilah al-musâqâh dijelaskan oleh Imam Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughnî, “Disebut musâqâh karena merupakan bentuk mufâ’alah dari as-saqyu sebab penduduk Hijaz, kebutuhan paling banyak atas pohon mereka, adalah pengairan. Karena mereka mengairi pephonan mereka dari sumur maka disebut dengan sebutan itu, yaitu al-musâqâh”. (Ibnu Qudamah, al-Mughnî).

Al-Musâqâh secara bahasa menurut al-Azhari dalam Tahdzîb al-Lughah, “Dikatakan: Sâqâ fulân[un] fulân[an] nakhlatahu. Ini jika pohon kurma itu ia serahkan kepadanya agar dia genangi, dia sirami dan dia lakukan apa saja untuk kebaikan pohon kurma itu baik sumur atau yang lain; lalu prosentase tertentu dari buahnya untuk al-‘âmil dan sisanya untuk pemiliknya.”

Secara syar’i, al-musâqâh adalah seseorang menyerahkan pohonnya kepada orang lain agar orang lain itu mengairinya dan melakukan apa saja yang diperlukan, lalu untuk dia (orang yang mengairi) nisbah tertentu dari buahnya  (Ibnu Qudamah, Al-Mughni; Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm).

Dengan demikian al-musâqâh adalah akad antara pemilik pohon dengan orang lain agar orang lain itu mengairi dan merawat pohon itu, lalu dia mendapat nisbah dari buah yang dihasilkan. Orang lain itu disebut as-sâqi al-‘âmil. Dengan akad al-musâqâh itu, as-sâqi al-‘âmil tersebut nantinya akan mendapatkan bagian dari buah yang dihasilkan oleh pohon yang dirawat itu. Dengan itu dia jadi memiliki buah tersebut dari sebelumnya tidak memilikinya. Dengan demikian bagi as-sâqial-‘âmil, al-musâqâh itu merupakan sebab kepemilikan harta.

Al-Musâqâh itu boleh dilakukan atas kurma, anggur serta tsamar dan syajar (pepohonan) pada umumnya.   Sebab riwayat Ibnu Umar di atas jelas menyatakan tsamar (buah-buahan) dan itu bersifat umum pada semua tsamar. Tsamar (buah-buahan) adalah apa yang dihasilkan oleh syajar (Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab), atau al-hamlu (kandungan) yang dikeluarkan oleh syajar baik bisa dimakan atau tidak (Ahmad bin Muhammad al-Fayyumi, Al-Mishbâh al-Munîr). Juga karena syajar bisa berbuah tiap tahun jadi serupa dengan kurma dan anggur. Dengan demikian musâqâh boleh pada semua syajar seperti itu.

Menurut para ulama, batasan syajar itu adalah tumbuhan yang memiliki pokok (batang) yang buahnya bisa ambil tanpa harus memotong atau mencabut pokoknya. Artinya, buahnya bisa dipanen tiap musim dan pokok/batangnya masih ada dan nantinya akan berbuah lagi.

Hanya saja, tidak semua syajar boleh untuk al-musâqâh. Al-Musâqâh hanya boleh pada syajar yang buahnya diinginkan (dicari/dibutuhkan). Adapun syajar yang tidak punya buah seperti cedar, atau memiliki buah yang tidak diinginkan (tidak dicari/dibutuhkan) seperti pinus dan cemara, maka tidak boleh dilakukan musâqâh sebab musâqâh itu tidak lain dengan imbalan bagian dari buahnya, sementara syajar seperti jenis ini tidak memiliki buah yang diinginkan.

Berbeda halnya jika berupa syajar yang diinginkan/dicari daunnya, seperti mulberi, atau diinginkan bunganya, seperti mawar dan melati, maka boleh dilakukan musâqâh atasnya.  Sebab, daun dan bunga itu statusnya sama dengan buah karena tumbuh berulang-ulang setiap tahun dan mungkin dilakukan musâqâh atasnya dengan imbalan sebagian dari hasil bunga atau daun itu sehingga berlaku hukum tsamar padanya (Lihat, an-Nabhani, Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm; Ibn Qudamah, Al-Mughni, kitâb al-musâqât).

Jadi, akad musâqâh bisa dilakukan untuk pohon kurma, anggur, zaitun, jeruk, mangga, apel, jambu, kelapa, sawit, dsb.  Bisa juga dilakukan untuk pohon cengkeh, karet, dsb.  Namun, musâqâh tidak bisa dilakukan untuk semangka, padi, melon, palawija, bunga cabut, sayur-mayur, tanaman sekali panen, dsb.

Harus diingat, musâqâh itu bukan muzara’ah.  Sebabnya, musâqâh itu adalah ta’jîr syajar atas prosentase dari buahnya, atau ta’jîr syajar bersama tanah yang menjadi ikutannya atas prosentase dari tsamar dan zar’un dengan ketentuan. Syajar harus lebih banyak/dominan dari tanah pertanian.

Adapun ta’jîr tanah agar ditanami syajar maka itu adalah muzâra’ah, bukan musâqâh, sehingga tidak boleh. Sebab di dalam Anîs al-Fuqahâ’ disebutkan bahwa az-zar’u adalah tharhu al-badzri (melempar benih).  Di dalam Al-Mughrib disebutkan az-zar’u adalah tanaman yang ditumbuhkan dari benih.  Jadi tidak boleh menyerahkan tanah kepada orang lain agar ditanami syajar sebab itu bukan al-musâqâh.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × two =

Check Also
Close
Back to top button