Penjaminan
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا فَقَالَ هَلْ عَلَى صَاحِبِكُمْ مِنْ دَيْنٍ؟ فَقَالُوْا: نَعَمْ دِيْنَارَانِ. فَقَالَ: صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ. فَقَالَ أَبُوْ قَتَادَةَ: هُمَا عَلَيَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: فَصَلَّى عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Kepada Nabi saw. pernah didatangkan sesosok jenazah agar beliau shalatkan. Lalu beliau bertanya, “Apakah ia punya utang?” Para Sahabat berkata, “Benar. Dua dinar.” Beliau bersabda, “Shalatkan teman kalian!” Lalu Abu Qatadah berkata, “Keduanya (dua dinar itu) menjadi kewajibanku, ya Rasulullah.” Dikatakan: Nabi saw. pun lalu menshalatkan jenazah tersebut. (HR Ahmad no. 14159, Abu Dawud no. 333, an-Nasa’i no. 1962, Ibnu Hibban no. 3064, al-Baihaqi di Sunan al-Kubrâ no. 11397, ad-Daraquthni no. 3084 dan al-Hakim no. 2346).
Hadis dengan redaksi di atas dikeluarkan dari jalur Jabir bin Abdullah ra. Redaksi yang sama juga dikeluarkan dari jalur Abdullah bin Abi Qatadah, dari Abu Qatadah (yakni al-Harits bin Rib’iy al-Khazraji al-Anshari), oleh Imam Ahmad (w. 241 H) hadis no. 22543.
Dalam riwayat ad-Daraquthni (w. 385 H) di dalam Sunan ad-Dâraquthni no. 3084 dan al-Hakim (w. 405 H) di dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn no. 2346 dari Jabir bin Abdullah (Al-Hakim berkata: Hadis ini shahih sanadnya, tetapi keduanya tidak mengeluarkannya. Adz-Dzahabi di dalam Talkhîsh adz-Dzahabi menyatakan: shahih), disebutkan bahwa Abu Qatadah berkata:
يَا رَسُولَ اللهِ، هُمَا عَلَيَّ فَجَعَلَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُول: هُمَا عَلَيْكَ وَفِي مَالِكَ وَالْمَيِّتُ مِنْهُمَا بَرِيءٌ، فَقَالَ: نَعَمْ فَصَلَّى عَلَيْهِ فَجَعَلَ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا لَقِيَ أَبَا قَتَادَة يَقُول: مَا صَنَعَتِ الدِّينَارَانِ؟، حَتَّى كَانَ آخِرَ ذَلِكَ قَالَ: قَدْ قَضَيْتُهُمَا يَا رَسُولَ اللهِ قَال: الْآنَ حِينَ بَرَدَتْ عَلَيْهِ جِلْدُهُ
“Ya Rasulullah, keduanya kewajibanku.” Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Keduanya kewajibanmu. Dalam hartamu dan mayit itu terbebas dari kedua (dinar) itu.” Ia berkata, “Benar.” Kemudian beliau menshalatkan jenazah tersebut. Beliau, jika bertemu Abu Qatadah, berkata, “Apa yang telah diperbuat oleh dua dinar?” Akhirnya Abu Qatadah berkata, “Aku telah membayar keduanya, ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Sekarang kulitnya telah dingin.”
Dalam redaksi lainnya, dari Abdullah bin Abi Qatadah, dari Abu Qatadah, dituturkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِرَجُلٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ، فَإِنَّ عَلَيْهِ دَيْنًا، قَالَ أَبُو قَتَادَةَ: هُوَ عَلَيَّ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم: بِالوَفَاءِ، قَال: بِاْلوَفَاءِ، فَصَلَّى عَلَيْهِ
Kepada Nabi saw. didatangkan sesosok jenazah agar beliau shalatkan. Nabi saw. bersabda, “Shalatkan teman kalian karena dia punya utang!” Abu Qatadah berkata, “Itu menjadi kewajibanku.” Rasulullah saw. bertanya, “Untuk membayar utangnya?” Ia berkata, “(Ya). Untuk membayar utangnya.” Lalu beliau pun menshalatkan jenzah tersebut (HR Ahmad no. 22572, at-Tirmidzi no. 1069, an-Nasai no. 1960 dan ad-Darimi no. 2635).
Dalam redaksi Imam Ahmad hadis no. 22573 dan Ibnu Hibban no. 3060, disebutkan bahwa Abu Qatadah berkata, “Ana akfulu bihi (Aku menjamin [pembayaran utang]-nya).”
Lalu dalam redaksi Ibnu Majah no. 2047 dintakan, “Ana atakaffalu bihi (Aku menjamin [pembayaran utang]-nya).” Beliau lalu bersabda, “Bi al-wafâ`i (Membayarkan [utang]-nya)?” Ia berkata, “Bi al-wafâ`i ([Ya]. Membayarkan [utang]-nya).”
Riwayat lainnya dari Salamah bin al-Akwa’ ra., dituturkan (redaksi Imam al-Bukhari):
كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذْ أُتِي بِجَنَازَةٍ، فَقَالُوا: صَلِّ عَلَيْهَا، فَقَالَ: هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ؟، قَالُوا: لاَ، قَالَ: فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا؟، قَالُوا: لاَ، فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ الله، صَلِّ عَلَيْهَا، قَالَ: هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ؟، قِيل: نَعَمْ، قَالَ: فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا؟، قَالُوا: ثَلاَثَة، دنانير، فَصَلَّى عَلَيْهَا، ثُمَّ أُتِيَ بالثَّالِثَةِ، فَقَالُوا: صَلِّ عَلَيْهَا، قَالَ: هَلْ تَرَكَ شَيْئًا؟، قَالُوا: لاَ، قَا ل: فَهَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ؟، قَالُوا: ثَلاَثَةُ دَنَانِيرَ، قَال: صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ ، قَالَ أَبُو قَتَادَةَ صَلِّ عَلَيْه، يَا رَسُولَ الله وَعَلَيَّ دَيْنُهُ، فَصَلَّى عَلَيْهِ
Kami sedang duduk di sisi Nabi saw. ketika didatangkan sesosok jenazah. Lalu mereka berkata, “Shalatkan dia.” Beliau bertanya: “apakah dia punya utang?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Mereka menjawab, “Tidak.” Lalu beliau menshalatkan jenazah tersebut. Kemudian didatangkan sesosok jenazah lainnya. Mereka lalu berkata, “Ya Rasulullah, shalatkan dia!” Beliau bertanya, “Dia punya utang?” Mereka menjawab, “Ya.” Beliau bertanya, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Mereka menjawab, “Tiga dinar.” Lalu beliau menshalatkan jenazah tersebut. Kemudian didatangkan sesosok jenazah yang ketiga. Mereka berkata, “Shalatkan dia!” Beliau bertanya, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya, “Dia punya utang?” Mereka menjawab, “Tiga dinar.” Beliau bersabda, “Shalatkan teman kalian.” Abu Qatadah berkata, “Shalatkan dia, ya Rasulullah, dan utangnya menjadi kewajibanku.” Kemudian beliau menshalatkan jenazah tersebut (HR al-Bukhari no. 2289; Ahmad no. 16527; ath-Thabarani di dalam Mu’jam al-Kabîr no. 6290 dan 6291; al-Baihaqi di dalam Sunan ash-Shughra no. 2096).
Menurut Imam Ibnu Baththal (w. 449 H) di dalam Syarhu Shahîh al-Bukhârî li Ibni Baththâl bahwa Ibnu Abi Laila, Muhammad, Abu Yusuf, asy-Syafi’i (artinya pendapat jumhur) bahwa kafâlah (penjaminan) atas mayit adalah boleh, baik ia meninggalkan harta atau tidak.
Imam al-Baghawi (w. 516 H) di dalam Syarhu as-Sunnah mengatakan, di dalam hadis itu ada dalil kebolehan jaminan (adh-dhamân) atas mayit, baik ia meninggalkan harta untuk membayarnya atau tidak. Itu merupakan pendapat mayoritas ahlul ‘ilmi. Ini juga merupakan pendapat asy-Syafi’i.
Hadis-hadis di atas memberikan potret yang jelas atas penjaminan (adh-dhamân atau al-kafâlah). Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm menyatakan tentang hadis ini. Kata beliau, di dalam hadis ini jelas bahwa Abu Qatadah menggabungkan jaminan (dzimmah)-nya pada jaminan si mayit dalam tanggung jawab menunaikan hak finansial milik kreditur yang telah wajib. Jelas pula bahwa dalam penjaminan (adh-dhamân) itu ada penjamin (dhâmin), pihak yang dijamin (madhmûn ‘anhu) dan pihak yang mendapat jaminan (madhmûn lahu). Jelas bahwa adh-dhamân itu merupakan tanggung jawab menunaikan hak yang ada dalam tanggungan tanpa mendapat kompensasi. Juga jelas di situ bahwa pihak yang dijamin (madhmûn ‘anhu), yakni si mayit, dan pihak yang mendapat jaminan (madhmûn lahu), yaitu si kreditur, keduanya tidak jelas (majhûl) ketika penjaminan (adh-dhamân) itu dilakukan. Jadi hadis tersebut telah memuat syarat-syarat sah adh-dhamân dan syarat-syarat in’iqâdnya. Demikian penjelasan Al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani.
Selain itu, dari hadis di atas juga jelas bahwa adh-dhamân di situ sah semata dengan pernyataan sepihak dari Abu Qatadah. Hal itu ditunjukkan dengan kesediaan Rasulullah saw. menshalatkan mayit itu setelah ada pernyataan dhamân oleh Abu Qatadah. Artinya, penjaminan (adh-dhamân) itu sah semata dengan kehendak sepihak si penjamin (adh-dhâmin). Jadi penjaminan itu termasuk tasharruf yang merupakan kehendak sepihak (irâdah munfaridah). Keabsahan adh-dhamân itu tidak memerlukan persetujuan atau penerimaan (qâbul) dari pihak yang dijamin (madhmûn ‘anhu) dan pihak yang mendapat jaminan (madhmûn lahu). Bahkan keduanya boleh tidak jelas (majhûl) atau tidak disebutkan, seperti dalam hadis di atas.
Dari hadis di atas juga jelas bahwa penjaminan (adh-dhamân) itu sifatnya tabarru’ (donasi), bukan kompensatif (mu’âwadhah), apalagi komersial (tijârî). Jadi penjaminan itu sifatnya tolong-menolong, kebaikan dan bukan bisnis untuk mendapatkan imbalan dan keuntungan.
Hanya saja, dalam adh-dhamân, sebagaimana yang dijelaskan potretnya dalam hadis di atas, harus ada hak finansial yang wajib ditunaikan, yang dalam hadis di atas adalah utang si mayit yang wajib ditunaikan kepada krediturnya. Jadi adh-dhamân, seperti dijelaskan oleh Imam al-Mawardi (w. 450 H) di dalam al-Hâwî al-Kabîr, hakikatnya dibentuk dari dhammu dzimmah ilâ dzimmah (penggabungan jaminan ke jaminan pihak lain). Hal itu terjadi jika ada hak finansial yang wajib ditunaikan. Jika tidak ada tanggungan atau tanggung jawab finansial yang wajib tentu saja tidak bisa ada penjaminan. Maka dari itu, seperti yang dinyatakan oleh Al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani di dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, juga Imam Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughnî, batasan atau definisi penjaminan (adh-dhamân) adalah dhammu dzimmah adh-dhâmin ilâ dzimmah al-madhmûn ’anhu fî iltizâm al-haqq (penggabungan jaminan penjamin ke jaminan pihak yang dijamin dalam tanggung jawab menunaikan hak). Hak yang dimaksudkan adalah hak finansial yang wajib ditunaikan, baik telah wajib atau nantinya menjadi wajib ditunaikan.
Alhasil, hadis di atas telah menjelaskan batasan atau definisi dan ketentuan penjaminan (adh-dhamân) yang syar’i.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]