Bangkrut
“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut itu?”
++++
Jika pertanyaan itu diajukan kepada kita, mungkin dengan cepat kita akan menjawab, orang yang bangkrut adalah orang yang tak lagi punya harta. Jika ia seorang pebisnis, modalnya habis, menyisakan utang pula. Begitulah juga kurang lebih jawaban para Sahabat tatkala Rasulullah saw. menanyakan tentang siapa orang yang bangkut itu. “Orang yang bangkrut di tengah-tengah kita adalah orang yang tidak punya dirham (uang perak) dan tidak punya harta (laa dirhama wa laa mataa’).” (HR Muslim).
Namun, melalui hadis di atas, Rasulullah saw. memberikan kepada kita perspektif yang sama sekali berbeda mengenai siapa orang yang dikatakan bangkrut itu. Kata beliau, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah yang datang pada Hari Kiamat nanti dengan membawa (amal) shalat, puasa dan zakat. (Namun) ia telah mencerca (seseorang), menuduh orang (berzina), memakan harta orang, menumpahkan darah orang, dan memukul orang. (Orang) ini diberi (amal) kebaikannya dan yang ini diberi dari kebaikannya. Jika amal kebaikannya habis sebelum terbayar (semua) tanggungannya, dosa-dosa mereka (yang dizalimi) diambil lalu ditimpakan kepadanya, kemudian dia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR Muslim).
Ringkasnya, orang yang bangkrut adalah orang yang habluminalLaah (hubungan dengan Allah), yakni ibadah shalat, puasa dan zakatnya bagus; tetapi habluminannaas (hubungan dengan manusia)-nya buruk, bahkan sangat buruk. Ia suka mencaci-maki orang lain, menuduh orang lain berzina, memakan harta orang lain tanpa haq, menyakiti bahkan menumpahkan darah atau membunuh orang lain.
++++
Kita memang dituntunkan untuk memperbagus hubungan dengan manusia sebagus hubungan dengan Allah. Begitu sebaliknya. Jika hubungan dengan Allah ditunjukkan melalui ibadah mahdah seperti shalat, puasa dan zakat maka hubungan dengan manusia ditunjukkan dengan menjaga harta, jiwa dan kehormatan sesama manusia. Dalam hadis shahih dikatakan, “Sungguh Allah telah mengharamkan atas sesama kalian darah kalian (untuk ditumpahkan) dan harta kalian (untuk dirampas) dan kehormatan (untuk dirusak); sebagaimana haramnya hari ini, haramnya bulan ini dan haramnya negeri ini.” (HR al-Bukhari).
Saat haji wada’, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Rasulullah saw. menunjukkan ciri-ciri Mukmin sejati, yakni ketika orang orang lain merasa aman dari gangguannya atas harta dan jiwanya; juga selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Sebegitu penting menjaga hubungan dengan sesama manusia, Rasulullah saw. melalui hadis riwayat Imam Muslim berpesan untuk tidak saling mendengki, saling tanaajusy (menyakiti dalam jual-beli), saling benci, saling membelakangi (mendiamkan) dan menjual di atas jualan saudaranya. Tidak boleh menzalimi sesama manusia, apalagi sesama Muslim, karena sesama Muslim adalah bersaudara. Tidak menelantarkan, mendustai dan menghina yang lain. Di ujung nasihatnya, Nabi saw. mengingatkan bahwa setiap Muslim atas muslim lainnya itu haram darahnya, hartanya dan kehormatannya.
Bagaimana jika darah, harta dan kehormatan manusia dilanggar? Hadis riwayat Imam Muslim tentang orang yang bangkrut di atas menjelaskan ganjarannya. Pertama: Pahala habluminalLaah dari ibadah shalat, puasa dan zakatnya diambil. Kedua: Kalau masih kurang, tidak cukup untuk menutupi kesalahan-kesalahannya itu, maka dosa orang yang dizalimi, yang dicaci-maki, yang dituduh berzina atau yang difitnah, yang diambil hartanya tanpa haq, yang disakiti dan dibunuh atau ditumpahkan darahnya, ditimpakan kepada dirinya. Alhasil, orang yang sudah bangkrut ini kemudian dimasukkan ke dalam neraka karena tak ada lagi pahala bersisa. Sudahlah pahala ibadah habis, masih juga ditumpuki dosa-dosa dari orang-orang yang dia zalimi.
Tentang hukuman terhadap orang zalim juga dinyatakan oleh Allah dalam QS al-Kahfi ayat 29. Intinya, orang-orang zalim akan dimasukkan ke dalam neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
Siapakah orang yang bisa berbuat zalim? Siapa saja. Utamanya mereka yang memiliki kekuatan, kekuasaan atau kewenangan dan kekayaan. Semakin besar atau tinggi kekuatan, kekuasaan, kewenangan dan kekayaan yang mereka miliki, semakin besar kemungkinan mereka melakukan kezaliman. Kedzaliman yang mereka lakukan itu pasti skalanya sangat besar. Kezalimannya itu mengenai banyak orang dan dengan tingkat kezaliman yang luar biasa. Itulah yang dilakukan oleh orang seperti Fira’un atau Namrudz pada masa lalu; atau orang seperti Hitler, Polpot di Vietnam atau Jenghish Khan, penguasa Mongol, yang dalam sejarahnya dengan sangat sadis membunuh lebih dari 40 juta manusia.
Penguasa pada masa kini juga melakukan banyak kedzaliman yang serupa. Lihatlah yang mereka lakukan di Gaza Palestina, Uighur, Rohingya, Afghanistan dan berbagai tempat lain. Sebelumnya, lihat pula yang mereka lakukan atas suku Indian di Amerika, atau suku Aborigin di Australia, yang mengakibatkan jutaan orang tewas di sana.
Dalam porsi yang sedikit berbeda adalah kezaliman yang dilakukan oleh penguasa di negeri ini. Merampas tanah rakyat di Pulau Rempang dengan semena-mena. Di KM 50 membunuh 6 orang laskar. Mencurangi Pemilu. Membubarkan kelompok dakwah. Korupsi. Merampas tambang batubara, nikel dan banyak lagi barang tambang lainnya yang hakikatnya milik rakyat untuk diberikan kepada para pengusaha kroninya.
++++
Memang tidak ada manusia yang sempurna. Selagi manusia, siapa saja bisa melakukan kesalahan, baik dalam habluminnaas maupun dalam habluminalLaah. Namun, sebagaimana disebut dalam hadits riwayat Imam Ibnu Majah, sebaik-baik orang, jika melakukan kesalahan segera bertobat. Apa syarat tobat?
Menurut para ulama, seperti tersebut dalam syarah Hadits ‘Arba’iin, syarat tobat itu ada 4. Pertama: Al-Iqlâ’u, berhenti dari perbuatan dosa dan maksiat yang ia pernah lakukan. Kedua: An-Nadamu, menyesali perbuatan dosanya itu. Ketiga: Al-‘Azmu, bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa itu. Keempat: Jika perbuatan dosanya itu ada hubungannya dengan orang lain, maka ditambah satu syarat lagi, yaitu harus ada pernyataan bebas dari orang yang dirugikan atau dizalimi. Jika yang dirugikan itu hartanya, maka hartanya itu harus dikembalikan. Jika berupa tuduhan jahat, maka ia harus meminta maaf.
Terhadap orang yang dizalimi dituntunkan untuk mau memberi maaf kepada orang yang telah menzalimi dirinya. Dalam hadis riwayat Imam Ahmad, Nabi saw. menunjukkan akhlak yang paling mulia di dunia dan di akhirat kelak, yaitu menyambung tali silaturahmi dengan orang yang memutuskannya, memberi orang yang enggan memberi, dan memaafkan orang yang menzalimi.
Namun, tampaknya tidak mudah bagi rakyat yang dizalimi untuk memaafkan penguasa zalim. Mengapa? Karena para penguasa itu, alih-alih menyesal, meminta maaf lalu berhenti dan tak lagi mengulangi perbuatan zalim itu. Yang ada untuk menutupi dosa-dosanya itu, mereka justru berbuat dosa-dosa berikutnya dengan aneka cara. Termasuk melakukan segala rekayasa untuk membuat kroninya bisa berkuasa guna melindungi dirinya. Juga, alih-alih mau mengembalikan harta korupsinya, yang ada justru harta itu ia gunakan untuk menutupi kasusnya, menyuap aparat, jaksa, hakim dan lainnya. Alhasil, makin bertumpuk-tumpuklah dosanya itu sehingga makin buruklah kualitas habluminannaas-nya.
Tak terbayang oleh kita bagaimana hukuman yang bakal diterima oleh para penguasa zalim itu di akhirat kelak. Jika orang yang bagus dalam hubungannya dengan Allah, tetapi buruk dalam hubungan dengan sedikit manusia saja, bisa bangkrut, apalagi jika hubungan buruk itu terjadi dengan rakyatnya yang sangat banyak, tentu akan lebih bangkrut lagi. Na’udzubilLaah min dzaalik! [H.M. Ismail Yusanto]