
Isu Radikalisme Menyasar Islam
Dr. Kusman Sadik
Isu radikalisme hakikatnya untuk menyasar Islam dan kaum Muslim. Targetnya antara lain untuk menciptakan ketakutan terhadap kelompok Islam yang dituduh radikal. Kelompok Islam radikal umumnya identik dengan kelompok yang memperjuangkan syariah Islam secara kâffah dan menentang ideolog Barat.
Pertanyaannya: Mengapa harus dengan mengangkat isu radikalisme? Mengapa pula berbarengan dengan itu dimunculkan istilah ‘Islam moderat’? Yang tak kalah penting, bagaimana seharusnya kaum Muslim mersepon isu radikalisme ini yang selalu dikaitkan dengan Islam?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut, kali ini Redaksi mewawancarai Dr. M. Kusman Sadik, Ketua Forum Akademisi Muslim Indonesia (FAMI). Berikut paparannya.
Isu radikalisme akhir-akhir ini marak diperbincangkan. Apakah isu ini ada kaitannya dengan isu terorisme, Ustadz?
Jelas ada upaya untuk mengaitkan isu radikalisme dengan terorisme. Misal, dalam upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme, muncul wacana strategi deradikalisasi. Itu bertumpu pada asumsi bahwa pemicu terorisme adalah radikalisme atau paham radikal. Mereka biasa mengatakan bahwa radicalism is only one step short of terrorism.
Radikalisme kemudian mereka kaitkan dengan paham keagamaan yang radikal. Jika sebelumnya mereka mengaitkan terorisme dengan Islam, dengan mudah radikalisme juga mereka kaitkan dengan Islam. Artinya, mereka ingin mengatakan bahwa Islam itu mengandung paham radikal, yang berpotensi melahirkan aksi terorisme.
Padahal aksi terorisme yang terjadi di negeri ini masih menjadi tanda tanya besar bagi umat Islam. Siapakah sebenarnya pelaku terorisme dan apa motif di balik aksi tersebut. Memang bisa saja pelaku terorisme itu seorang Muslim, atau ada identitas keislaman yang melekat pada diri pelaku. Namun, siapa yang ada di balik pelaku tersebut masih kabur dan gelap.
Pemerintah mengklaim bahwa Islam tidak identik dengan terorisme. Apakah realitias di lapangan seperti itu?
Sulit dibantah bahwa hingga saat ini upaya mengaitkan terorisme dengan Islam itu masih terjadi. Kapolri Jenderal Tito Karnavian, misalnya, pernah mengatakan bahwa selama masih terjadi konflik di negara-negara Islam, permasalahan terorisme tidak akan pernah selesai. Menurut dia, Indonesia mendapatkan tumpangan problem saja dari ideologi salafi jihadi dan ideologi takfiri.
Itu beliau sampaikan pada saat pengukuhannya sebagai Guru Besar di Auditorium STIK/PTIK Jakarta 26 Oktober lalu. Memang patut disayangkan Kapolri mengeluarkan pernyataan seperti itu di sebuah forum akademik.
Mengapa hal itu disebut sebagai upaya mengaitkan terorisme dengan Islam?
Tentu karena yang dimaksud sebagai ideologi takfiri itu adalah Islam. Di Islamlah ada definisi yang jelas antara Muslim dan kafir. Pengkafiran (takfîri) itu diuraikan secara gamblang dalam al-Quran. Artinya, itu bagian dari ajaran Islam. Misal, mereka yang menolak al-Quran dan kerasulan Muhammad saw. disebut kafir. Itu sekedar contoh terkait takfiri. Bahkan surat ke-109 dalam al-Quran diberi nama al-Kafirun (Kaum Kafir). Surat ini termasuk yang paling sering dibaca saat shalat. Jadi umat Islam sudah terbiasa mendengar kata kafir, termasuk dalam ibadah shalat sekalipun.
Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa semua kata kafir dalam al-Quran tidak ada satupun yang menyuruh melakukan terorisme.
Lantas apa kira-kira tujuan pemunculan isu terorisme dan radikalisme itu?
Faktanya umat Islam jadi tertuduh dengan kedua isu tersebut. Itu akibat dari berbagai upaya pengaitan seperti yang tadi disebutkan. Nah, berdasarkan hal tersebut, tujuan kedua isu itu tentu untuk menyerang umat Islam; atau minimal mengekang umat Islam supaya tidak membawa ajaran Islam ke ranah politik.
Sebagai contoh, pada saat Pilkada DKI yang lalu, isu terbesarnya adalah haramnya pemimpin kafir. Isu tersebut semakin membesar ketika ada fakta penistaan terhadap ayat al-Maidah 51. Kondisi itulah yang kemudian melahirkan Aksi 212 yang sangat fenomenal hingga acara Reuni 212 kemarin.
Muncul kemudian berbagai pihak, termasuk media massa, yang melakukan respon negatif. Di antaranya menuding kelompok Islam yang menolak pemimpin kafir adalah kelompok radikal, intoleran dan berbagai label buruk lainnya. Mereka menggunakan isu radikalisme untuk memukul umat Islam.
Contoh lainnya?
Aksi pelaku terorisme selalu dikaitkan dengan Muslim. Sebliknya, kalau aksi serupa dilakukan oleh selain Muslim disebut bukan aksi terorisme. Tentu kita masih ingat, pada awal November lalu ada sebuah kelompok di Tembagapura Papua yang menyandera ribuan warga di dua desa, yakni Desa Kimbely dan Desa Banti. Sebelumnya kelompok tersebut juga dikabarkan menyerang anggota Brimob dan mobil ambulans.
Anehnya, para pejabat dan media massa mainstream di negeri ini tidak menyebut itu sebagai kelompok teroris, melainkan sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB). Coba bayangkan label apa yang akan disematkan andaikata yang melakukan aksi tersebut adalah kelompok Islam.
Jadi ada penerapan standar ganda terhadap aksi terorisme. Tentu itu sebagai indikasi bahwa yang dibidik untuk isu terorisme itu memang umat Islam.
Benarkah istilah radikalisme dan terorisme itu ambigu?
Benar. Itu sangat kasatmata. Terminologi radikal yang membentuk istilah radikalisme awalnya berasal dari bahasa Latin radix atau radices yang artinya akar. Menurut The Concise Oxford Dictionary, radikal berarti akar, sumber, atau asal mula. Dalam kamus Oxford ini disebutkan, istilah radikal ketika dikaitkan dengan perubahan atau tindakan bermakna sesuatu yang mampu mempengaruhi karakteristik dasar (fundamental nature) serta menyeluruh.
Jadi secara bahasa sebenarnya istilah radikal itu justru bersifat positif, yakni sesuatu yang bersifat fundamental. Namun kemudian, secara sengaja istilah radikal tersebut dikonotasikan dengan sesuatu yang negative, yakni sebagai pendorong terorisme.
Adapun istilah moderat, lawan dari istilah radikal, mereka konotasikan sebagai sesuatu yang positif. Kemudian mereka mendefinisikan sesuka hatinya makna moderat itu. Misal, mereka mencirikan orang moderat itu adalah orang yang apabila agamanya dihina diam saja. Sebaliknya, orang yang melawan penghinaan tersebut akan dikategorikan radikal. Orang yang mendukung sekularisme-liberalisme akan dikategorikan moderat. Adapun orang yang mendukung upaya penerapan syariah secara kâffah akan dikategorikan radikal.
Jadi siapa yang menjadi target pembungkaman dengan isu terorisme dan radikalisme ini?
Sangat jelas yang menjadi target adalah Islam. Tidak hanya orang dan ormas Islam, namun juga ajaran Islam itu sendiri yang dibidik melalui isu tersebut. Misalnya belum lama ada sebuah lembaga kajian yang menyebut masjid-masjid di Depok sebagai sarang radikalisme. Tidak terkecuali masjid di Universitas Indonesia. Itu sebuah framing untuk memojokkan para aktivis dakwah Islam yang pusat aktivitasnya memang di masjid.
Tentu kajian itu punya target untuk memperkuat isu radikalisme. Satu paket dengan berbagai proyek deradikalisasi yang diselenggarakan secara massif termasuk di berbagai kampus. Ditambah lagi dengan upaya pembentukan opini melalui berbagai media massa.
Proyek deradikalisasi yang membidik Islam itu sebelumnya juga menggunakan tangan kampus; baik melalui dana penelitian, seminar, penerbitan buku maupun jurnal. Misalnya Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta menerbitkan buku berjudul, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia.
Istilah “salafi radikal” tentu sangat tendensius pada gerakan Islam. Ada empat kelompok yang dimasukkan sebagai salafi radikal dalam buku itu, yaitu Front Pembela Islam, Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia. Penggunaan istilah salafi radikal tersebut sangat subyektif dan bias. Pasalnya, apa yang dimaksud dengan “salafi” dan apa yang dimaksud dengan “radikal” sangat tidak jelas kriterianya. Jadi buku tersebut lebih tepatnya sebagai sarana propaganda untuk mendiskreditkan ormas Islam, bukan buku ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan secara data, metodologi dan analisis.
Mereka juga menyatakan bahwa perjuangan penegakan syariah dan Khilafah akan menyuburkan terorisme dan radikalisme. Bagaimana tanggapan Ustadz?
Saya pikir itu sekadar tuduhan, bagian dari penyesatan politik. Kalau kita perhatikan, umat Islam yang memperjuangkan penegakan syariah dan Khilafah itu dilakukan melalui dakwah. Ini adalah proses yang bersifat edukatif dan argumentatif. Tidak ada satu pun bukti bahwa perjuangan mereka itu disertai kekerasan apalagi aksi terorisme.
Tuduhan semacam itu adalah wujud ghazwul-fikri (perang pemikiran) yang memang gencar dilakukan oleh negara-negara Barat pimpinan Amerika Serikat. Inilah fakta perang peradaban antara Islam dan Barat seperti yang diramalkan Huntington dalam bukunya The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order.
Sebenarnya Khilafah itu merupakan entitas politik yang akan menerapkan syariah Islam secara kâffah. Artinya, melalui Khilafah inilah ideologi Islam akan eksis secara politis dan praktis. Dalam kacamata perang peradaban tentu keberadaan Khilafah semacam itu sangat tidak diinginkan oleh Barat di bawah pimpinan Amerika dan sekutunya.
Mereka pasti akan menghadang setiap upaya yang dapat mengantarkan pada tegaknya syariah Islam dalam institusi Khilafah. Salah satu caranya adalah mengkriminalisasi syariah dan Khilafah dengan cara monsterisasi dan stigmatisasi melalui isu terorisme dan radikalisme tersebut.
Lalu apa yang harus umat Islam lakukan untuk membendung isu miring tentang terorisme dan radikalisme itu?
Pertama: Harus terus berdakwah untuk menjelaskan ajaran Islam. Dengan itu masyarakat paham bahwa semua ajaran Islam, termasuk di dalamnya Khilafah, merupakan rahmat dari Allah SWT, bukan keburukan sebagaimana yang dipropagandakan oleh pihak yang mengidap penyakit islamophobia.
Dakwah Islam bersifat fikriyyah (pemikiran) dan lâ ‘unfiyah (tanpa kekerasan) sehingga tidak mungkin melahirkan terorisme.
Kedua: Perlu pula menjelaskan bahwa ancaman sesungguhnya bagi negeri ini adalah sistem kapitalisme-liberalisme. Umat harus paham bahwa berbagai kerusakan di bidang ekonomi, hukum, sosial dan politik yang terjadi di negeri ini bersumber pada penerapan sistem Kapitalisme ini. Dana Moneter Internasional/IMF turut mengakui bahwa Kapitalisme telah gagal untuk mensejahterakan dunia.
Seperti yang dilaporkan Oxfam pada awal tahun lalu bahwa krisis kesenjangan global mencapai titik ekstrem. Sebesar 1% orang kaya di dunia memiliki kekayaan yang setara dengan semua penduduk dunia ini jika digabungkan.
Ketiga: Menyadarkan masyarakat bahwa apabila kita peduli untuk melepaskan negeri ini dari berbagai persoalan, kita harus memilih sistem yang baik dan benar. Itulah syariah Islam yang berasal dari Yang Mahabaik, yakni Allah SWT. Keberadaan syariah sebagai rahmat adalah natîjah (hasil) dari syariah yang diterapkan. Konsekuensinya, syariah hanya akan mewujudkan rahmatan lil ‘alamin manakala diterapkan secara keseluruhan atau kâffah. []