Ibrah

Imam Qatadah

Namanya adalah Imam Qatadah bin Da’imah as-Sadusi. Ia biasa disapa dengan panggilan Imam Qatadah. Para ulama berbeda pendapat tentang tanggal kelahirannya. Namun, Imam adz-Dzahabi dalam kitab Siyar A’lam an-Nubalâ’ mengatakan, ia lahir pada tahun 60 H, dan wafat pada tahun 118 H.

Imam Qatadah rahimahulLâh berasal dari suku as-Sadus, yaitu bagian dari Bani Syaiban, suku Arab bagian utara. Imam adz-Dzahabi menyebut Imam Qatadah sebagai Hâfizh al-‘Ashr (penghapal pada masanya) dan Qudwah al-Mufassirîn wa al-Muhadditsîn (Teladan Para Ahli Tafsir dan Ahli Hadis) (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalâ’, 1/272).

Imam Ahmad bin Hanbal juga berkata, “Qatadah adalah pakar hadis paling besar di Bashrah.” Selain hadis, beliau juga pakar dalam bidang gramatika bahasa Arab, sejarah dan nasab Arab (Adz-Dzahabi, Tadzkirah al-Huffâzh, 1/115).

Nama beliau banyak disebut dalam kitab-kitab Tafsir, khususnya tafsîr bi al-ma’tsûr (seperti: Tafsîr ath-Thabari, Tafsîr Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Baghawi, dan sebagainya).

Imam Qatadah banyak menimba ilmu dari para Sahabat Nabi saw. Di antaranya: Anas bin Malik ra., Abu at-Tufail ra., dll. Ia pun berguru kepada para ulama Tabi’în. Imam adz-Dzahabi mencatat bahwa guru Imam Qatadah dari kalangan Tâbi’în saat itu terdiri dari 42 ulama. Di antaranya seperti Said bin al-Musayyib, Abul Aliyah, Zurarah bin Aufa, Atha’ bin Abi Rabah, Imam Muhammad bin Sirin, Abi Mulih bin Usamah, Imam Hasan al-Bashri dan yang lainnya. Bahkan menurut Imam adz-Dzahabi, Qatadah berguru kepada Imam Hasan al-Bashri selama dua belas tahun.

Sebaliknya, banyak pula yang mengambil ilmu dari Imam Qatadah. Di antaranya Ayyub as-Sikhtiyani, Ma’mar bin Rasyid, al-Auza’i, Abu Hanifah dll (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalâ’, 2/3082; As-Suyuthi, Thabaqât al-Huffâzh, hlm. 47).

Menurut Ma’mar, Imam Qatadah menyukai hadis-hadis Rasulullah saw. tidak dibaca melainkan dengan berwudhu (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalâ’, 2/3082).

Imam Qtadah giat menuntut ilmu dan memiliki hapalan yang kuat. Karena itu ia  pernah berkisah tentang dirinya, “Aku tidak pernah mengatakan kepada orang yang bicara kepadaku, ‘Ulangi lagi!’ Tidaklah kedua telingaku ini mendengar sesuatu apa pun melainkan langsung ditangkap oleh hatiku.”

Imam Ahmad mengatakan, “Ia (Qatadah) adalah seorang yang paling hapal dari kalangan penduduk Bashrah. Tidaklah ia mendengarkan sesuatu melainkan langsung hapal.” (Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Ushûl fî ‘Ilm at-Tafsîr, hlm. 37-38).

Ulama yang hidup pada masa Tâbi’în dengan banyak kelebihan ini ternyata tidak bisa menikmati indahnya belajar menggunakan kedua matanya. Imam Qatadah terlahir dalam keadaan kedua matanya buta. Namun, bagi Imam Qatadah, kebutaan mata bukan berarti meniscayakan kebutaan hati dan pikiran. Justru kondisi itulah yang membuat beliau istimewa. Imam Qatadah sama sekali tidak menjadikan “kekurangannya” itu sebagai penghambat perjuangannya menuntut ilmu. Tentu perjalanan yang ia tempuh tidaklah gampang. Tak jarang ia terjatuh di jalanan dalam pengembaraannya  mencari ilmu.

Dengan bermodalkan semangat dan mengandalkan pikirannya, Imam Qatadah mampu melahap semua ilmu yang diajarkan oleh guru-gurunya. Tidak hanya paham, ia menghapal semuanya.

Pada akhirnya, perjalanan panjang yang dilalui Imam Qatadah, pengembaraannya dalam mencari ilmu yang menguras kekuatan, dengan segala keterbatasannya yang serba melelahkan berujung manis. Kegigihannya menuai hasil. Semangatnya telah terbayar. Ia sukses mendalami berbagai cabang ilmu syariah. Ia menjadi tokoh bersejarah dalam Islam. Ia adalah orang yang kuat daya ingatannya dalam menghapal dari kalangan penduduk Bashrah. Tidaklah ia mendengar suatu ilmu melainkan langsung bisa menghapalnya. Imam Said al-Musayyib sebagai guru dari Imam Qatadah begitu mengagumi muridnya yang satu ini. Pujiannya kepada muridnya pernah disampaikan secara langsung, “Aku tidak menyangka Allah SWT menciptakan manusia dengan kekuatan hafalan sepertimu.” (Imam adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalâ’, 1/272).

Selain alim dan faqih, Imam Qatadah adalah ahli ibadah. Menurut Salam bin Abi Muti’, Imam Qatadah, misalnya, biasa mengkhatamkan nacaan al-Quran setiap tujuh hari. Jika tiba Ramadhan, ia mengkhatamkan al-Quran setiap tiga hari. Jika tiba 10 terakhir Ramadhan, ia mengkhatamkan al-Quran setiap malam (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalâ’, 2/3082).

Di antara kata-kata bijaknya, “Jauhilah maksiat dan melampaui batas. Dengan dua sebab itulah Allah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (Ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari; QS Ali Imran [3]: 112).

Ada pernyataan Imam Qatadah yang menarik saat menafsirkan ayat al-Quran (yang artinya): Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar, keluarkanlah aku dengan cara keluar yang benar, dan berilah aku kekuasan yang bersifat menolong.” (TQS al-Isra’ [17]: 80).

Kata Imam Qatadah, “Di dalam ayat ini jelas dinyatakan, Nabi Muhammad saw. menyadari bahwa beliau tidak memiliki kesanggupan untuk menegakkan urusan (agama) ini kecuali dengan kekuasaan. Karena itulah beliau memohon kepada Allah SWT kekuasaan yang bisa menolong Kitabullah, menegakkan hudûd Allah, melaksanakan berbagai kewajiban dari Allah dan menegakkan agama Allah. Sebab sesungguhnya kekuasaan adalah rahmat dari Allah.” (Ibnu Katsir, Tafsîr Ibnu Katsîr, 5/111).

Imam Qatadah meninggal dunia pada tahun 118 hijrah (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalâ’’, 2/3082).  ûîâ

Wa mâ tawfîqi illâ bilLâh. [Arief B. Iskandar]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nine + three =

Back to top button