Ibrah

Istiqamah

Idealnya, setelah melewati masa-masa “training” sebulan penuh selama Ramadhan, setiap Muslim akan menjadi “sosok baru” yang berbeda dengan sebelumnya.

Setelah Ramadhan, ia makin rajin beribadah (melakukan banyak shalat sunnah, shaum sunnah, berzikir dan ber-taqarrub kepada Allah SWT, dll); makin banyak bersedekah; makin berakhlakul karimah; makin rajin mencari ilmu, makin giat berdakwah dan beramar makruf nahi mungkar, dan seterusnya. Sebaliknya, ia pun makin jauh dari perbuatan dosa dan maksiat kepada Allah SWT. Singkatnya, ia makin taat atau makin bertakwa kepada Allah SWT.

Takwa inilah yang menjadi “buah” dari shaum yang ia jalani selama sebulan penuh selama Ramadhan (QS al-Baqarah [2]: 183).

Takwa tentu memiliki sejumlah tanda.  Terkait itu Zubair bin al-Awwam pernah menulis surat yang berisi nasihat untuk dirinya sendiri. Di dalam surat itu dinyatakan, “Amma ba’du. Sesungguhnya orang bertakwa itu memiliki sejumlah tanda yang diketahui oleh orang lain maupun dirinya sendiri, yakni: sabar dalam menanggung derita, ridha terhadap qadha’, mensyukuri nikmat dan merendahkan diri (tunduk) di hadapan hukum-hukum al-Quran.” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, I/170; Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyah Awliyaa’, I/177).

Berbicara tentang takwa, Baginda Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Muadz bin Jabal ra. saat beliau mengutus dia ke Yaman, “Bertakwalah engkau kepada Allah dimanapun/kapanpun/dalam keadaan bagaimanapun…” (HR at-Tirmidzi).

Terkait dengan frasa ittaqilLaah (bertakwalah engkau kepada Allah) dalam potongan hadis di atas, banyak sifat yang dilekatkan kepada orang-orang bertakwa (muttaqiin). Orang bertakwa adalah orang yang: mengimani yang gaib, mendirikan shalat, menginfakkan sebagian harta, mengimani al-Quran dan kitab-kitab yang Allah SWT turunkan sebelum al-Quran dan meyakini alam akhirat (QS al-Baqarah [2]: 1-4); juga menginfakkan hartanya pada saat lapang ataupun sempit, mampu menahan amarah, mudah memaafkan kesalahan orang lain, jika melakukan dosa segera ingat kepada Allah SWT dan memohon ampunan-Nya serta tidak meneruskan perbuatan dosanya (QS Ali Imran [3]: 133-135). Tentu masih banyak sifat orang bertakwa yang disebutkan di dalam al-Quran maupun as-Sunnnah.

Adapun terkait frasa haytsuma kunta, secara lebih rinci dapat dijelaskan bahwa kata haytsu bisa merujuk pada tiga: tempat (makaan), waktu (zamaan) dan keadaan (haal). Karena itu sabda Baginda Rasul saw. kepada Muadz ra. tersebut sebagai isyarat agar ia bertakwa kepada Allah SWT tidak hanya di Madinah: saat turunnya wahyu-Nya, saat ada bersama beliau, juga saat dekat dengan Masjid Nabi saw. Namun, hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT di mana pun, kapan pun dalam keadaan bagaimana pun  (‘Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah, 42/4-8).

Alhasil, kita pun sejatinya bertakwa tidak hanya saat berada pada bulan Ramadhan saja, tetapi juga di luar Ramadhan selama sebelas bulan berikutnya. Dengan kata lain, seorang Muslim harus istiqamah dalam ketakwaan kepada Allah SWT sepanjang masa hingga akhir hayatnya.

Namun, istiqamah dalam ketakwaan tidak selalu mudah dilakukan oleh setiap orang. Betapa banyak Muslim yang selama Ramadhan berusaha shalat tepat waktu, khusyuk di dalamnya, bahkan selalu berjamaah di masjid; banyak membaca, mengkaji dan mengamalkan al-Quran; berusaha menutup aurat dan berjilbab syar’i (bagi Muslimah); banyak melakukan shalat malam dan zikir; banyak bersedekah; dll. Namun, selepas Ramadhan, kadar keimannya seolah berkurang. Tingkat ketakwaannya seolah menurun. Ibadah shalatnya kembali bolong-bolong, membaca al-Quran kembali jarang-jarang, auratnya kembali terbuka, ragam maksiat kembali dilakukan.

Pertanyaannya: bagaimana agar hal demikian tidak terjadi? Terkait itu, Abu ‘Amrah Sufyan bin ‘Abdullah ra. pernah berkata kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku tentang Islam suatu perkataan yang aku tak akan menanyakannya lagi kepada seorang pun kecuali kepada engkau.” Rasulullah saw. bersabda, “Katakanlah, ‘Aku telah beriman kepada Allah.’ Kemudian beristiqamahlah.” (HR Muslim).

Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT: Hendaklah kamu beristiqamah seperti yang diperintahkan kepadamu (TQS Hud [11]: 112).

Menurut Ibnu ‘Abbas, tidak satu pun ayat al-Quran yang turun kepada Rasul saw. yang dirasakan lebih berat dari ayat ini. Karena itu Imam al-Qusyairi berkata, “Istiqamah itu hanya bisa dijalankan oleh orang-orang besar karena istiqamah adalah menyimpang dari kebiasaan, menyalahi adat dan kebiasaan sehari-hari. Istiqamah adalah teguh di hadapan Allah SWT dengan kesungguhan dan kejujuran.”

Karena itu, dalam konteks puasa Ramadhan, yang di akhiri dengan Hari Raya Idul Fitri, hanya Muslim yang berhasil mewujudkan takwa sekaligus istiqamah dalam ketakwaanlah yang pantas merayakan Idul Fitri.

Hari Raya Idul Fitri sering disebut dengan “Hari Kemenangan”. Mungkin maksudnya: hari kemenangan dalam mengalahkan setan dan menundukkan hawa nafsu, khususnya selama bulan Ramadhan. Pada Hari Raya Idul Fitri ini seorang Muslim memang layak bergembira karena pada hari ini ada dua kebahagiaan, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Ada dua kebahagiaan bagi orang yang berpuasa yaitu: kebahagiaan saat berbuka (ber-Idul Fitri) dan kebahagiaan saat berjumpa dengan Allah (di surga).” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).

Namun demikian, dalam pandangan Imam Anas bin Malik ra., ada lima hari raya yang di dalamnya seorang Muslim lebih layak untuk bergembira. Pertama: Setiap hari yang di dalamnya setiap Muslim tidak melakukan dosa. Itulah hari raya bagi dirinya.

Kedua: Suatu hari ketika seorang Mukmin wafat meninggalkan dunia dengan membawa iman. Itulah hari raya bagi dirinya.

Ketiga: Suatu hari saat seorang Mukmin melewati jembatan shiraath dan selamat dari huru-hara Hari Kiamat. Itulah hari raya bagi dirinya.

Keempat: Suatu hari ketika seseorang Mukmin memasuki surga. Itulah hari raya bagi dirinya.

Kelima: Suatu hari saat seorang Mukmin melihat Tuhannya. Itulah hari raya bagi dirinya.

Semua “hari raya” di atas hanya pantas kita nikmati saat kita tetap mampu istiqamah dalam ketakwaan kepada Allah SWT hingga akhir hayat.

Wa mâ tawfîqi illâ bilLâh. [ABI]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 + 16 =

Back to top button