Ibrah

Jabir bin Abdillah

Nama lengkapnya adalah Jabir bin Abdullah bin Amru bin Haram bin Tsa’labah bin Haram bin Ka’ab al-Anshari al-Khazraji aS-Salami. Ia berasal dari Suku Khazraj. Kunyah Jabir adalah Abu Abdillah (Lihat: Ibn Abd al-Barr al-Andalusi, Al-Isti’âb fî Ma’rifah al-Ashâb, 1/219; Al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamal, 4/443; dan Adz-Dzahabi, Siyar A’lâm an-Nubalâ, 3/ 190).

Jabir ra. termasuk orang yang ikut melakukan baiat pada Baiat Aqabah kedua bersama ayahnya. Ia adalah orang termuda dari kalangan Suku Aus dan Khazraj yang berbaiat kepada Rasulullah saw. (Lihat: Adz-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ, 3/190).

Setelah Rasulullah saw. hijrah dari Makkah ke Madinah, Jabir termasuk salah seorang yang ikut serta dalam peperangan dan ekspedisi (sariyyah). Ia hanya tidak ikut dalam Perang Badar dan Uhud saja. Alasan ketidakhadiran Jabir ra. dalam dua perang ini karena menaati ayahnya untuk mengganti posisinya dalam keluarga, yakni untuk menjaga saudara-saudara perempuannya yang banyak (Lihat: Adz-Dzahabi, Siyar A’lâm an-Nubalâ, 3/191).

Perang Hamra’ al-Asad, yang terjadi setelah Perang Uhud pada tahun 4 H, merupakan pengalaman perang pertama Jabir. Hanya orang-orang yang pernah ikut Perang Uhud saja yang diizinkan ikut serta dalam delegasi militer ini. Namun demikian, Jabir ra. adalah satu-satunya orang yang ikut serta dalam perang ini meskipun tidak hadir dalam Perang Uhud. Hal ini karena Rasulullah saw. menerima alasan ketidakhadirannya pada Perang Uhud (Lihat: Ibnu Saad, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, 1/34).

Pada tahun ke-3 H, sebelum Perang Dzat ar-Riqa’, Jabir menikah dengan seorang janda bernama Suhaimah binti Mas’ud bin Aus setelah ayahnya gugur, agar ia dapat mengayomi sembilan saudara perempuannya dengan lebih baik (Lihat: Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 4/99-100).

Jabir ra. menceritakan: Ketika Rasulullah saw. bertanya kepada dia, “Apakah engkau sudah menikah?” Aku (Jabir) menjawab, “Iya.” Rasulullah saw. kembali bertanya, “Perawan ataukah janda?” Saya menjawab, “Janda.” Nabi saw. bertanya lagi, “Mengapa tidak menikahi perawan saja? Engkau bisa bercanda dengan dia dan dia bisa bercanda pula denganmu.” Saya menjawab, “Aku ini memiliki saudari perempuan yang banyak. Aku menikahi janda agar ada wanita yang merawat, mengurusi dan menyisiri rambut mereka.” (HR al-Bukhari).

Selain banyak mengambil dan belajar langsung dari Nabi saw., Jabir a. juga mengambil hadis dan ilmu dari sejumlah Sahabat yang lain seperti Abu Bakar, Umar, Ali, Abu Ubaidah, Muadz bin Jabal, Zubair bin Awwam dll.

Dari beliau lahir murid-murid dari kalangan tabiin yang begitu banyak. Di antara murid Jabir ra. yang mengambil hadis dari beliau adalah Said bin Musayyib, Atha bin Abi Rabah, Salim, Hasan al-Basri, Muhammad bin Munkadir, Mujahid, al-Sya’bi dan masih banyak yang lainnya (Lihat: Al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, 4/ 443; Ibnu Hajar, Tahdzîb at-Tahdzîb, 2/ 42).

Jabir ra. termasuk Sahabat yang banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw. Ia berada di urutan yang keenam dari tujuh Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis. Ia meriwayatkan 1540 hadis dari Rasulullah saw. Sebanyak 58 hadis diriwayatkan secara bersama oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, 26 hadis hanya diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari tanpa Imam Muslim dan 126 hadis hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim tanpa Imam al-Bukhari (Lihat: Adz-Dzahabi, Siyar A’lâm an-Nubalâ, 3/ 194).

Salah satu kisah yang menakjubkan yang ditulis dengan tinta emas adalah kisah yang menggambarkan bagaimana Jabir ra. melakukan perjalanan untuk mendengarkan satu hadis Nabi saw. Perjalanan panjang yang sangat menakjubkan. Satu bulan perjalanan ditempuh hanya untuk sebuah hadis. Demi mendengarkan hadis ini secara lengkap melalui sumber yang langsung mendengar dari lisan Rasulullah saw., Jabir mengencangkan ikat pinggang, menembus panas sahara, meninggalkan Kota Madinah menuju negeri Syam. Ia menjumpai Abdullah bin Unais ra., sang pemilik hadis. Beliau mengisahkan:

 

Telah sampai kepadaku sebuah hadis dari seseorang yang langsung mendengar dari Rasulullah saw. (sedangkan aku tidak mendengarnya dari beliau). Aku pun bersegera membeli seekor unta. Aku mempersiapkan bekal perjalananku. Aku menempuh perjalanan satu bulan untuk menemuinya hingga sampailah aku ke Syam. Ternyata orang tersebut adalah Abdullah bin Unais. Aku berkata kepada penjaga pintu rumahnya, “Sampaikan kepada tuanmu bahwa Jabir sedang menunggu di depan pintu.” Penjaga itu masuk dan menyampaikan pesan itu kepada Abdullah bin Unais. Abdullah bertanya, “Jabir bin Abdullah?” Aku menjawab, “Ya, benar!” (Begitu tahu kedatanganku), Abdullah bin Unais bergegas keluar hingga menginjak pakaiannya. Lalu ia merangkulku dan aku pun merangkulnya. Aku berkata kepadanya, “Telah sampai kepadaku sebuah hadis, dikabarkan bahwa engkau mendengarnya langsung dari Rasulullah saw.. Tentang qisas. Saya khawatir engkau meninggal terlebih dulu atau aku yang lebih dulu meninggal, sementara aku belum sempat mendengarnya.” (HR Ahmad dan al-Bukhari).

 

Semangat beliau dalam menuntut ilmu dan mencari hadis serta meriwayatkannya menjadikan Jabir sebagai salah seorang ulama di kalangan para Sahabat. Bahkan sepeninggal Nabi Muhammad saw. Jabir memiliki satu halaqah ilmu di Masjid Nabawi (Lihat: Ibnu Hajar, Al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah, 1/ 546).

Pada masa akhir hayatnya, Jabir ra. sempat menghabiskan setahun di samping Baitullah di Makkah. Selama itu para pemuka dari Tâbi’în, seperti Atha’ bin Abi Rabah, Amru bin Dinar dan Abu Zubair bertemu dengannya untuk mengambil ilmu darinya (Lihat: Al-Baghawi, Mu’jam al-Shahâbah, 1/ 445).

Jabir mengalami kebutaan pada masa akhir hayatnya (Lihat: Adz-Dzahabi, Siyar A’lâm an-Nubalâ, 3/192).

Jabir ra. menghembuskan nafas terakhirnya pada Tahun 77 Hijrah, pada usia 94 tahun di Madinah. Ia adalah Sahabat yang terakhir wafat di Madinah, di antara mereka yang ikut dalam baiat Ridwan (Lihat: Abu Nu’aim, Ma’rifah ash-Shahâbah, 2/529; Adz-Dzahabi, Siyar A’lâm an-Nubalaa, 3/189).

Wa mâ tawfîqi illâ bilLâh. [ABI]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seven − 4 =

Back to top button