Keberanian Dakwah
Dakwah mutlak butuh keberanian. Tanpa keberanian, pengemban dakwah bisa gugur di tegah jalan. Ini adalah sunatullah. Ini pula yang dialami para nabi dan rasul Allah. Termasuk Rasulullah Muhammad saw.
Ketika mencapai puncak penindasan, Abu Thalib, paman Nabi saw., pernah membujuk beliau agar meninggalkan dakwahnya. Namun, apa jawaban beliau? Tegas beliau berkata, “Paman, demi Allah, andai mereka sanggup meletakkan matahari di sebelah kananku dan bulan di sebelah kiriku, agar aku mau meninggalkan urusan (dakwah) ini, aku tidak akan meninggalkannya, sampai Allah memenangkan dakwah ini atau aku hancur karenanya.” (Al-Baihaqi, Dala’il an-Nubuwwah, 2/187; Ibnu Ishaq, Sirah Ibnu Ishaq, 2/135).
Selama dua puluh tiga tahun berdakwah, Rasulullah saw. tidak pernah bergeser sedikit pun dari jalan perjuangannya. Padahal beliau sering dihina, difitnah, diboikot, bahkan berulang diteror untuk dibunuh. Semua hanya karena dakwah. Beliau sangat paham itu. Sebabnya, apa yang beliau bahwa (Islam dan syariahnya) berlawanan dengan adat, tradisi dan sistem yang berlaku saat itu. Ini pula yang dipahami Waraqah bin Naufal saat dia berkata kepada beliau, ”Tidak ada seorang pun yang datang membawa kebenaran seperti yang kamu bawa, melainkan pasti akan dimusuhi.” (HR al-Bukhari).
Demikianlah karakter sekaligus sunatullah dakwah. Dakwah adalah jalan yang sulit. Juga terjal. Penuh perangkap, ujian dan cobaan. Akan selalu dihadang dan dimusuhi oleh para pendukung kebatilan. Baik dari kalangan kafir, munafik maupun fasik.
Inilah jalan yang ditempuh para nabi dan rasul. Jalan yang sempat membuat Adam as. kelelahan, Nuh as. mengeluh, Ibrahim as. dilempar ke dalam kobaran api, Ismail as. ditelentangkan untuk disembelih, Yusuf as. dipenjara selama bertahun-tahun, Ayyub as. menderita penyakit kulit belasan tahun, Isa as. berjalan sendirian, Rasulullah Muhammad saw. ditimpa kefakiran dan berbagai penderitaan.
Kesabaran dan keberanian mereka di jalan dakwah lalu diteladani oleh para ulama. Mereka adalah pewaris para nabi. Karena itu mereka pun acapkali “mewarisi” penderitaan para nabi. Tentu sebagai konsekuensi dari keberanian mereka di jalan dakwah. Juga karena keteguhan dalam menyampaikan kebenaran. Tak pernah takut dengan celaan ataupun ancaman. Apa pun rela mereka korbankan. Asalkan dakwah tersampaikan. Jiwa seperti ini terus diwarisi oleh para ulama dari generasi ke generasi.
Imam Adz-Dzahabi banyak merekam jejak keberanian mereka. Misalnya, keberanian Ibnu Umar ra. Disebutkan: Saat Ibnu Umar ra. menyaksikan kezaliman Gubernur al-Hajjaj, ia segera mendatangi al-Hajjaj yang saat itu sedang berpidato. Ibnu Umar ra. dengan lantang berkata, “Hai musuh Allah! Engkau menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan engkau menghancurkan rumah Allah.’”
Al-Hajjaj menjawab, ”Hai orang tua pikun!’”
Lalu saat manusia mulai pergi, ia memanggil seorang prajuritnya. Dia mengambil tombak beracun dan menusuk kaki Ibnu Umar ra. Akibatnya, ia jatuh. Lalu sakit dan meninggal (Adz-Dzahabi, Siyar A‘lam an-Nubala, 3/230).
Keberanian yang sama ditunjukkan oleh Said bin Jubair. Ia menentang keras pemerintahan zalim Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Akibatnya, ia dibunuh oleh rezim zalim tersebut (Adz-Dzahabi, Siyar A‘lam an-Nubala, 4/338).
Imam Ahli Hadis, Ahmad bin Hanbal, juga pernah mengalami nasib yang sama. Ia pernah dicambuk. Bahkan dipenjara selama 30 bulan oleh Khalifah al-Ma’mun. Gara-garanya tidak mengakui kemakhlukan al-Quran sebagaimana yang diyakini kelompok Muktazilah (Ibnu al-Atsir, Al-Kamil fi Tarikh, 3/180).
Keberanian serupa ditunjukkan oleh Imam Abu Bakar an-Nablusi. Pada masa Penguasa Muiz Lidinillah menduduki tahta Dinasti Daulah Fathimiyah, tahun 362 H, kerusakan moral penguasa berada di atas puncaknya. Muiz terkenal sebagai penguasa zalim. Suka menumpahkan darah.
Suatu ketika Imam An-Nablusi dihadapkan kepada Muiz lalu ditanya, ”Aku dapat kabar bahwa kamu yang berkata, ‘Jika aku memiliki sepuluh panah maka sepuluh panah akan kulesatkan ke Romawi, dan satunya ke orang-orang Mesir (Syiah Fathimiyah)’?”
Ia menjawab, ”Aku tidak mengatakan itu!”
Mendengar jawaban ini, Muiz mengira bahwa An-Nablusi sudah menarik pendapatnya.
Ternyata, ulama yang terkenal zuhud ini, justru dengan tegas berkata, ”(Justru) kami harus melesatkan sembilan panah kepada kalian dan yang kesepuluh juga kepada kalian.”
Sang penguasa kaget dan menanyakan alasannya. Lalu dijawab dengan tegas oleh An-Nabulusi, ”Sebabnya, kau telah mengubah agama umat Islam, membunuh orang-orang salih, mengusir ulama, memadamkan cahaya Ilahi dan merebut apa yang bukan milikmu.”
Penguasa Fathimiyah tersebut lalu memerintahkan penjaga membawa An-Nablusi ke depan publik. Keesokan harinya, ia dicambuk dengan hebat. Pada hari ketiga, ia dibunuh (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, 7/220).
Imam adz-Dzahabi menukil juga kisah Imam ‘Ashim bin ‘Ali al-Wasithy (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, 9/262) pada zaman fitnah khalq al-Qur’an. Ketika itu Imam Ahmad bin Hanbal ditangkap. Beliau pun disiksa oleh penguasa karena mempertahankan akidah Ahlus Sunnah bahwa al-Quran adalah firman Allah SWT. Bukan makhluk. Lalu ‘Ashim bin ‘Ali al-Washithi berkata di hadapan para ulama Ahlus Sunnah lainnya, “Adakah seorang yang mau berdiri bersamaku untuk bersama-sama kita datangi orang ini (Khalifah al-Ma’mun) dan menasihati dia (agar meninggalkan perbuatan buruk tersebut)?”
Ketika itu Ibrahim bin Abi al-Laits berkata, “Abul Hasan (‘Ashim bin ‘Ali), aku pulang dulu menemui anak-anakku untuk memberi wasiat kepada mereka (sebelum pergi bersamamu).”
Lalu datang pula sepucuk surat dari dua putri Imam ‘Ashim bin ‘Ali dari Kota Wasith (yang isinya), “Ayah, sungguh telah sampai kepada kami (berita) bahwa orang ini (Khalifah al-Ma’mun) telah menangkap dan memukul (menyiksa) Imam Ahmad bin Hanbal supaya mau mengatakan bahwa al-Quran adalah makhluk. Ayah, bertakwalah kepada Allah dan janganlah mengikuti khalifah itu (dalam pendapatnya yang sesat itu). Demi Allah, sungguh jika datang kepada kami berita tentang kematianmu, ini lebih kami sukai daripada berita bahwa engkau mengikutinya (dalam pendapatnya yang sesat itu) (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an- Nubala’, 9/264).
Wa ma tawfiqi illa bilLah. [ABI]