Pembuktian Cinta
ALHAMDULILLAH, di sela-sela menunaikan ibadah umrah di Tanah Suci beberapa waktu lalu, saya berkesempatan berkunjung ke tempat-tempat bersejarah Islam. Salah satunya adalah Gua Tsur. Gua Tsur, yang juga dikenal sebagai Jabal Tsur itu, terletak sekitar 7 km dari Makkah ke arah Thaif. Letak persisnya berada di salah satu puncak gunung Jabal Tsur yang sangat terjal dan dipenuhi bebatuan bercadas.
Mengutip dari buku 1001 Fakta Dahsyat Mukjizat Kota Mekkah karya Asima Nur Salsabila, Gua Tsur memiliki tinggi 1,25 m, panjang 3,5 m dan lebar sebesar 3,5 m. Bentuk Gua Tsur seperti wajan yang ditelungkupkan.
Berbeda dengan Gua Hira, Gua Tsur berada di ketinggian sekira 1.400 meter. Dua kali lipat lebih tinggi daripada ketinggian Gua Hira yang ada di Jabal Nur. Memang tingkat kemiringan jalan menuju Gua Tsur atau Jabal Tsur lebih landai. Kira-kira hanya 45 derajat. Namun demikian, dengan ketinggian 1.400 meter, ditambah dengan jalan yang sepenuhnya bebatuan bercadas, pendakian menuju Gua Tsur tetap bukan hal yang mudah. Pastinya amat melelahkan. Juga membutuhkan waktu yang tak sedikit.
Sayang, karena waktu yang sempit, pimpinan rombongan jamaah kami memutuskan untuk tidak mendaki Jabal Tsur. Kami cukup menatap Jabal Tsur yang cukup menjulang tinggi itu dari bawah. Dari jarak yang cukup jauh.
Namun demikian, dengan hanya menatap dari bawah, membuat kami merenungkan banyak hal. Di antaranya adalah betapa seluruh perjuangan dan pengorbanan Rasulullah saw. sangat luar biasa. Bahkan dengan sekadar menatap ketinggian Jabal Tsur saja—yang mana Rasulullah saw. mendaki ke atasnya, pastinya dengan usah-payah—kita bisa membayangkan betapa kerasnya perjuangan dan pengorbanan Rasulullah saw. Apalagi pendakian Jabal Tsur itu dibayang-bayangi dengan ancaman pembunuhan dari orang-orang kafir Quraisy yang terus mengejar beliau. Semua itu beliau jalani tentu demi tegaknya agama Allah ini. Juga demi menyelamatkan umat beliau dari lembah kesesatan.
Itu baru secuil kisah terkait Gua Tsur. Belum kisah-kisah lain yang tak kalah memilukan. Misalnya, kasus Baginda Rasulullah saw. dilempari dengan batu hingga terluka kakinya serta diusir dari Thaif. Kisah beliau yang terluka dalam Perang Uhud. Saat itu gigi graham beliau patah dan bibir bawah robek terkena panah. Dahi dan kening beliau pun berlumuran darah. Juga sejumlah kisah lain yang tak kalah menyedihkan. Semua itu beliau jalani dengan penuh kesabaran.
Karena itu, di sela-sela pelaksanaan ibadah umrah bersama Syiar Travel, pembimbing kami, Al-Mukarram KH Rokhmat S Labib, beberapa kali mengingatkan jamaah umrah agar menjalani semua rangkaian kegiatan di Tanah Suci Makkah dan Madinah juga dengan penuh kesabaran. Sabar tak hanya saat umrah yang memang cukup melelahkan. Sabar juga harus selalu ada dalam jiwa saat menjalani seluruh rangkaian kegiatan di sela-sela umrah. Di antaranya dalam menapaktilasi perjuangan Baginda Rasulullah saw.
Pasalnya, kata KH Rokhmat S Labib, semakin sukar/sulit dan semakin lelah menjalankan suatu amal shalih maka makin besar pahalanya. Karena makin sulit, tetapi pahalanya makin besar, maka memang sewajarnya kita selalu sabar dalam menjalankan amal-amal yang berat. Bahkan semua aktivitas ketaatan kepada Allah itu—meski berat sekalipun—bukan sekadar harus dijalani dengan kesabaran, tetapi sekaligus harus dilakoni dengan penuh kebahagiaan.
*****
Menempuh “jalan kepayahan”. Itulah yang terbayang dalam seluruh rangkaian perjalanan menapaktilasi dakwah Rasulullah saw. “Jalan kepayahan” inilah yang sejak awal selalu ditempuh oleh Baginda Rasulullah saw. dalam sebagian besar episode dakwah beliau. Bukan jalan aman dan nyaman. Betapa sering beliau memilih untuk dicibir, dihinakan, dicaci-maki, dilempari dengan kotoran dan batu. Bahkan tak jarang beliau diancam untuk dibunuh sebagai konsekuensi dari kesungguhan dan keistiqamahan beliau dalam dakwah beliau.
Saat orang-orang kafir sudah hampir putus-asa menghalangi dakwah beliau, maka melalui paman beliau, mereka kemudian menawari beliau harta yang banyak, kedudukan yang tinggi, juga wanita-wanita cantik terpilih.
Namun, semua fasilitas dan kenyamanan hidup itu tak membuat hati beliau luruh sedikit pun. Beliau tetap bergeming. Beliau tetap memilih “jalan kepayahan”. Yang terucap dari lisan beliau yang mulia malah sebuah kalimat terkenal: “Paman, andai mereka sanggup menaruh matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan (dakwah) ini, aku tidak akan pernah melakukan itu, hingga Allah memenangkan agama (Islam) ini atau aku mati di dalamnya.” (HR Ibn Hisyam).
*****
Semua yang Rasulullah saw. jalani tentu demi menyelamatkan umat manusia dari lembah kesesatan. Rasulullah saw. sangat ingin agar umat beliau seluruhnya masuk surga. Jangan sampai seorang pun diazab di neraka. Semua itu tentu karena kecintaan beliau yang amat besar kepada umat manusia.
Karena itu wajar jika kita, yang mengklaim umat beliau, juga mencurahkan segenap cinta kita kepada beliau. Bahkan cinta kita kepada beliau adalah bukti bahwa kita mengimani beliau. Inilah yang juga beliau tegaskan: “Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian hingga kalian menjadikan aku lebih ia cintai daripada orangtuanya, anaknya dan seluruh manusia.” (HR al-Bukhari).
Dalam bahasa Abu Abdillah al-Qusyairi dikatakan: “Hakikat cinta adalah engkau memberikan semua yang ada pada dirimu kepada orang yang engkau cintai hingga tidak tersisa sedikit pun untuk dirimu.” (Al-Qusyairi, Risaalah al-Qusyayriyyah, hlm. 479).
Namun demikian, cinta bukan sekadar klaim. Cinta butuh pembuktian. Qadhi ‘Iyadh menyatakan: “Ketahuilah bahwa siapa saja yang (mengklaim) mencintai sesuatu (termasuk seseorang) maka ada tandanya. Tanda tersebut bersesuaian dengan kadar cintanya. Jika tidak ada buktinya maka tak benar klaim cintanya.” (Ats-Tsa’alabi, Al-Jawaahir al-Hasan fîi Tafsîir al-Qur’aan, 1/200).
Bukti paling otentik dari cinta adalah taat kepada orang yang dicintai. Dalam bahasa Imam Syafi’i dikatakan: “Jika cintamu benar, tentu engkau akan mentaati Baginda Nabi saw. Sungguh pecinta itu, kepada orang yang dia cintai, akan selalu taat.”
Pertanyaannya: Sudahkah kita benar-benar tulus mencintai Baginda Rasulullah saw. sebagaimana besarnya cinta beliau kepada kita?
Jawabannya berpulang pada sejauh mana kita mentaati beliau. Mentaati beliau tidak lain dengan mengamalkan syariah yang beliau bawa, seluruhnya dan bukan sebagiannya. Baik dalam urusan ibadah, muamalah, politik, pemerintahan, hukum, peradilan, dll. Itulah pembuktian sejati cinta kita kepada Baginda Nabi saw.!
Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah. [Arief B. Iskandar]