Takwa
Ramadhan kembali hadir. Kewajiban puasa kembali menyapa. Salah satu pintu takwa kembali terbuka. Inilah kesempatan amat berharga. Jangan sampai lewat begitu saja. Sia-sia tak bermakna. Jangan sampai seperti sabda Baginda Nabi saw., “Betapa banyak yang berpuasa (Ramadhan) tak mendapatkan (pahala dan keutamaan) puasanya, kecuali hanya sekadar menahan rasa lapar/haus semata.” (HR Ahmad dan ad-Darimi).
Puasa adalah salah satu pintu meraih takwa Takwa inilah yang menjadi “buah” dari shaum yang dilakukan seorang hamba selama sebulan penuh selama Ramadhan (QS al-Baqarah [2]: 183).
Al-Quran banyak mengungkap tanda atau ciri orang-orang yang bertakwa. Di antaranya sebagaimana dinyatakan dalam QS al-Baqarah ayat 3-5. Demikian juga dalam al-Hadits. Begitu pun yang dinyatakan oleh para Sahabat. Juga oleh banyak ulama dari generasi salafush-shalih.
Menurut al-Hasan, misalnya, “Orang bertakwa memiliki sejumlah tanda yang dapat diketahui. Di antaranya: Jujur/benar dalam berbicara. Senantiasa menunaikan amanah. Selalu memenuhi janji. Rendah hati dan tidak sombong. Senantiasa memelihara silaturahmi. Selalu menyayangi orang-orang lemah/miskin. Memelihara diri dari kaum wanita. Berakhlak mulia. Memiliki ilmu yang luas. Senantiasa ber-taqarrub kepada Allah.” (Ibn Abi ad-Dunya, Al-Hilm, I/32).
Wahab bin Kisan bertutur bahwa Zubair ibn al-Awwam pernah menulis surat yang berisi nasihat untuk dirinya. Di dalam surat itu dinyatakan, “Amma ba’du. Sungguh orang bertakwa itu memiliki sejumlah tanda yang diketahui oleh orang lain maupun dirinya sendiri yakni: Sabar dalam menanggung derita. Ridha terhadap qadha’. Mensyukuri nikmat. Merendahkan diri (tunduk) di hadapan hukum-hukum al-Quran.” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, I/170; Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyah Awliya’, I/177).
Baginda Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Muadz bin Jabal ra. saat beliau mengutus dia ke Yaman, “IttaqilLah haytsuma kunta (Bertakwalah engkau kepada Allah dimanapun/kapanpun/dalam keadaan bagaimanapun).” (HR at-Tirmidzi).
Kata haytsu pada hadis di atas bisa merujuk pada tiga: tempat (makan), waktu (zaman) dan keadaan (hal). Karena itu sabda Baginda Rasul saw. kepada Muadz ra. tersebut sebagai isyarat agar ia bertakwa kepada Allah SWT. Tidak hanya di Madinah saja. Saat turunnya wahyu-Nya. Saat ada bersama beliau. Juga saat dekat dengan Masjid Nabi saw. Namun, hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT di mana pun, kapan pun dalam keadaan bagaimana pun (‘Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah, 42/4-8).
Dengan demikian kita pun sejatinya bertakwa tidak hanya saat berada pada bulan Ramadhan saja, yang kebetulan sedang kita jalani, tetapi juga di luar Ramadhan selama sebelas bulan berikutnya. Pertanyaannya: Bagaimana agar kita bisa tetap istiqamah dalam ketakwaan?
Pertama: Kita harus tetap memelihara amalan-amalan rutin Ramadhan. Shaum, shalat, zikir, sedekah, membaca dan mengkaji al-Quran, shalat berjamaah, istighfar, bangun malam, memperbanyak amalan sunnah dan aktivitas lain yang selama ini dilakukan pada bulan Ramadhan harus tetap dilanjutkan selepas Ramadlan. Semangat untuk taat pada bulan Ramadhan tetap dikobarkan setelah itu. Karena itu semangat dalam mencegah diri dari perbuatan maksiat, keikhlasan, kesabaran, keistiqamahan, semangat jihad fi sabîlillâh dan semangat dakwah seharusnya terus menyala meski Ramadhan telah usai.
Kedua: Lebih meningkatkan upaya memahami hukum-hukum Allah SWT dengan banyak menghadiri majelis ilmu. Setiap Muslim yang berharap Ramadhannya lebih bermakna akan terus meningkatkan pengetahuan dan pemahamannya tentang hukum-hukum Allah SWT.
Ketiga: Lebih giat berdakwah. Bulan Ramadhan merupakan bulan turunnya al-Quran sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Tidak mungkin petunjuk itu sampai bila tidak didakwahkan. Atas dasar inilah dakwah merupakan karakter kaum Mukmin. Harus dilakukan. Pada Bulan Ramadhan atau di luar Bulan Ramadhan.
Keempat: Terus bertobat dengan tobat yang sebenar-benarnya (tawbatan nashûhâ). Sekalipun Allah SWT menjamin mengampuni orang-orang yang benar-benar puasa Ramadhan, kaum Mukmin tidak akan terlena dengan itu. Mereka tetap bertobat sebagai salah satu karakter orang bertakwa (Lihat: QS Ali Imran [3]: 135).
Kelima: Berusaha selalu hidup di tengah-tengah komunitas masyarakat yang bertakwa. Bukan di tengah-tengah masyarakat yang diliputi oleh dosa dan kemaksiatan. Di sinilah pentingnya ketakwaan kolektif. Ketakwaan semacam ini hanya mungkin terwujud saat kita selalu hidup di tengah-tengah masyarakat yang menerapkan syariah Islam secara kaffah. Saat ini sebagian dari hukum Islam memang bisa dilaksanakan, terutama dalam level pribadi seperti hukum-hukum Islam di seputar makanan, pakaian, minuman, akhlak, keluarga dan sebagian muamalah. Namun, masih banyak hukum syariah lainnya yang belum bisa dilaksanakan saat ini terutama terkait politik dalam negeri, pemerintahan, politik luar negeri, ekonomi, tata pergaulan, pidana dan hukum-hukum syariah tentang pengaturan masalah publik. Hal itu karena prasyarat pelaksanaannya belum terwujud. Padahal semua hukum itu adalah sama, yaitu hukum syariah yang bersumber dari wahyu yang tidak boleh dibeda-bedakan.
Semuanya harus dilaksanakan sebagai wujud ketakwaan yang sudah ditempa selama Ramadhan. Prasyarat itu adalah adanya lembaga kekuasaan (sistem pemerintahan) yang menerapkan syariah secara keseluruhan. Itulah sistem Khilafah. Khilafahlah satu-satunya metode penerapan syariah yang telah ditetapkan, diterapkan sekaligus dijaga oleh para sahabat dan generasi kaum Muslim selanjutnya.
Maka dari itu, untuk menyempurnakan dan melanggengkan ketakwaan yang sudah ditempa selama Ramadhan, hendaklah setiap Muslim turut terlibat secara aktif dalam perjuangan mewujudkan penerapan syariah Islam secara kaffah di bawah sistem Khilafah ar-Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Semua itu merupakan tuntutan dari keimanan kita sekaligus penyempurna perwujudan ketakwaan kita kepada Allah SWT.
Wa ma tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]