Topeng
Kalimat tauhid adalah kalimat: Lâ ilâha illalLâh-Muhammad RasûlulLâh. Tidak ada tuhan selain Allah-Muhammad utusan Allah. Kalimat inilah yang menjadi inti seruan Baginda Rasulullah saw. sejak awal hingga akhir perjuangan dakwahnya.
Kalimat tauhid merupakan pondasi keimanan setiap Muslim, sekaligus menjadi pintu bagi siapapun yang ingin masuk Islam. Kalimat tauhidlah yang membedakan Muslim dengan kafir.
Karena itu kalimat tauhid sejatinya senantiasa terpatri di dalam dada setiap Muslim. Terukir dalam zikir lisan, kalbu dan gerak tubuhnya. Termanifestasi dalam seluruh tindak-tanduknya.
Kalimat tauhid bahkan biasa tertulis dalam banyak media: kertas, buku, lukisan dinding, spanduk, baliho, dll. Bahkan digunakan dalam bendera negara (seperti Saudi), bendera sebagian ormas Islam, dll. Hari ini kalimat itu pun banyak menghiasi ragam media sosial. Bahkan menjadi foto/gambar profil di banyak akun medsos.
Karena itu tentu aneh jika tiba-tiba, hari ini, ada pihak-pihak yang begitu alergi terhadap kalimat tauhid. Di banyak tempat, lalu pembawa kalimat ini mereka persekusi. Tentu wajar jika yang mempersekusi adalah pihak yang anti tauhid. Yang tidak wajar, pelaku persekusi itu adalah Muslim yang mengaku bertauhid. Aneh. Mengklaim Muslim tapi anti kalimat tauhid. Menggelikan. Mengaku Aswaja tapi gerah dengan kalimat Lâ ilâha illalLâh. Mereka pasti bukan Aswaja. Jika pun iya, pasti Aswaja hoax. Aswaja sejati pasti pendukung dan pembela utama kalimat tauhid.
Tentu. Para pelaku persekusi itu menolak keras jika dituduh anti kalimat tauhid. Sebagaimana yang mereka lontarkan, mereka tidak anti kalimat tauhid. Yang mereka tolak, kalimat tauhid itu dijadikan “kedok” atau “topeng” oleh pihak-pihak yang makar terhadap negara. Mereka adalah kelompok yang ingin menegakkan Khilafah. Siapa lagi yang mereka tuding jika bukan HTI. Tentu aneh. Bukankah mereka sendiri yang menyatakan bahwa HTI telah mati sejak status BHP (Badan Hukum perkumpulan)-nya dicabut oleh Pemerintah. Lalu mengapa mereka menuding semua yang terjadi belakangan—termasuk maraknya penggunaan simbol tauhid, yakni Al-Liwa dan ar-Rayah—ditunggangi oleh HTI?
Baiklah jika itu dalih mereka. Intinya, bukan kalimat tauhid yang mereka tolak. Bukan HTI yang mereka tolak. Yang mereka tolak adalah Khilafah. Adapun HTI konon akan mereka terima jika “bertobat” dari Khilafah. Ya, karena dalam pikiran kotor mereka, Khilafah identik dengan keburukan. Kejahatan. Ancaman yang membahayakan.
Jelas, mereka sedang mendiskreditkan Khilafah. Mereka menolak keras Khilafah. Itu sama saja artinya dengan menolak salah salah satu ajaran Islam. Ya, karena Khilafah adalah ajaran Islam. Sama dengan ajaran Islam yang lain seperti shalat, zakat, shaum atau haji. Sama-sama wajib. Bedanya, menegakkan Khilafah adalah fardhu kifayah atas kaum Muslim.
Khilafah bukan ajaran HTI. HTI hanya mempopulerkan kembali salah satu ajaran Islam yang telah lama dilupakan. HTI hanya ingin mengajarkan kembali Khilafah kepada umat. Agar umat kembali sadar bahwa Khilafah adalah bagian dari hukum syariah yang amat penting. Saking pentingnya, sebagian ulama menyebut Khilafah sebagai tâj al-furûdh (mahkota kewajiban). Pasalnya, banyak kewajiban yang pelaksanaannya bergantung pada keberadaan institusi Khilafah. Sistem ekonomi syariah, sistem politik/pemerintahan Islam, sistem hukum/peradilan Islam, hudûd (seperti: hukum rajam atas pezina, hukum mati atas orang murtad, dsb), jihad, dll terbukti tidak bisa ditegakkan dalam sistem selain Khilafah.
Lebih dari itu, HTI tak pernah memaksa orang untuk menerima ajaran Khilafah. HTI, sebagaimana organisasi dakwah yang lain, hanya berdakwah. Tentu dengan hikmah, maw’izhah hasanah dan jidâl (diskusi) yang baik. Bedanya, yang didakwahkan HTI adalah perkara yang jarang atau bahkan tak banyak diserukan oleh kebanyakan organisasi dakwah Islam lain. Itulah Khilafah sebagai salah satu ajaran Islam yang amat penting, tetapi telah begitu lama tak disuarakan.
Intinya, HTI mendakwahkan sistem politik dan pemerintahan Islam. Jika faktanya sistem ekonomi syariah diterima bahkan diterapkan di negeri ini (meski bersifat parsial), mengapa sistem politik Islam ditolak? Bahkan pihak-pihak yang mendakwahkan dan memperjuangkan sistem politik Islam (Khilafah) dituding sebagai pelaku makar terhadap negara?
Tuduhan bahwa kalimat tauhid—yang dipresentasikan antara lain dalam bentuk Al-Liwa dan ar-Rayah—hanya dijadikan kedok atau topeng oleh para pejuang Khilafah hanya layak dilontarkan jika Khilafah adalah identik dengan kejahatan. Logikanya sederhana. Sesuatu yang baik hanya bisa disebut kedok atau topeng jika digunakan untuk menutupi sesuatu yang buruk.
Mengenakan kopiah atau kerudung, misalnya, adalah baik. Namun, jika itu digunakan oleh para koruptor hanya saat ia duduk menjadi pesakitan di kursi terdakwa, itulah kedok/topeng. Hanya untuk pencitraan. Agar tampak shalih. Untuk menutup tindak jahatnya, yakni korupsi.
Merangkul ulama itu baik. Mengunjungi pesantren itu bagus. Namun, jika itu dilakukan hanya saat kampanye Pemilu/Pilpres—sementara di luar itu malah sering mengkriminalisasi ulama dan acap mengaitkan pesantren dengan radikalisme—itulah kedok/topeng. Hanya untuk pencitraan. Agar tampak islami. Untuk menutupi tindak jahatnya, yakni anti Islam.
Begitu pun dengan kalimat tauhid. Jika kalimat itu dikenakan oleh para pelaku kejahatan—seperti koruptor, pelacur, pembunuh, pemabuk, dll—maka bisa dipastikan itu hanyalah kedok/topeng. Hanya pencitraan. Untuk menutupi segala tindak jahatnya itu.
Pertanyaannya: Apakah Khilafah kejahatan? Apakah mendakwahkan Khilafah bisa disejajarkan dengan tindak kriminal seperti korupsi, pelacuran, pembunuhan, mabuk, bahkan makar terhadap negara? Lalu saat para pejuang Khilafah ini kemana-mana mengenakan atribut tauhid—termasuk Al-Liwa dan ar-Rayah—layak dituding bahwa itu hanyalah kedok/topeng untuk menutupi niat jahatnya: makar terhadap negara?
Jika demikian, bagaimana dengan klaim Aswaja tapi suka dangdutan, gemar menjaga kebaktian gereja, sering membubarkan pengajian, mesra dengan kaum kafir penista Islam, keras terhadap sesama Muslim, kerjaannya memukul—bukan merangkul—saudara seiman? Bukankah Aswaja di sini lebih pantas dituding hanya sebagai kedok/topeng untuk menutupi ragam tindakan buruk tersebut? Pasalnya, mana ada Aswaja mengajarkan dangdutan, mempersekusi pengajian, menjaga kebaktian gereja, memusuhi sesama Muslim, mesra dengan penista agama, sering memukul—bukan merangkul—saudara seiman?!
Lagi pula mana ada ulama Aswaja menolak Khilafah. Yang ada, mereka justru telah berijmak atas kewajiban menegakkan Khilafah ini.
Alhasil, jika mau jujur, merekalah sejatinya yang telah menjadikan Aswaja sebagai kedok/topeng untuk menutupi tindakan jahat mereka: “makar” terhadap Khilafah. [Arief B. Iskandar]