Bahaya Investasi Asing
Dalam sistem ekonomi Kapitalisme, investasi asing merupakan keharusan. Ia dipandang menjadi salah satu sumber utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Tidak aneh, banyak negara di dunia berlomba-lomba membuka dan membebaskan pintu ekonomi mereka serta memberikan tempat senyaman mungkin bagi para investor asing. Menurut data indeks kebebasan ekonomi yang diterbitkan setiap tahun oleh The Heritage Foundation, dari 177 negara, sebanyak 145 negara di dunia membuka pintu ekonomi mereka yang terbagi ke dalam empat (4) kategori, yaitu free, mostly free, moderately free dan mostly unfree. Adapun sisanya, 32 negara, masuk ke dalam kategori repressed alias tidak bebas. Indonesia masuk dalam kategori yang ketiga, moderately free dan berada pada ranking 63.1
Hal tersebut sejalan dengan banyaknya perjanjian perdagangan bebas (FTA) yang ditandatangani oleh Indonesia. Hingga Juni 2022, tidak kurang 15 skema perjanjian perdagangan bebas yang telah ditandangani Indonesia.2 Ini belum termasuk Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dan Indo-Pacific Economic Framework (IPEF). Keduanya tidak lepas dari kerangka perjanjian perdagangan bebas.
Secara umum, investasi asing berwujud dalam dua bentuk: (1) investasi surat-surat berharga (portofolio) seperti surat utang dan saham yang masuk melalui pasar modal; (2) investasi asing langsung (foreign direct investment atau FDI) yang bersifat investasi fisik jangka panjang, seperti membuat pabrik baru.
Investasi Asing di Dunia dan Indonesia
Secara global, investasi asing dalam bentuk FDI yang masuk ke berbagai negara pada tahun 2021 mencapai $US1,5 trilliun.3
Lantas bagaimana dengan investasi Cina di dunia? Menurut data American Enterprise Institute dan The Heritage Foundation dari bulan Januari 2005 hingga bulan Juni 2022, nilai investasi Cina di seluruh dunia mencapai $US1,3 trilliun yang masuk ke dalam berbagai sektor bisnis; mulai dari sektor energi dan logam, hingga sektor hiburan dan pertanian.4
Di Indonesia, secara kumulatif, berdasarkan data BPS realisasi Penanaman Modal Luar Negeri dari tahun 2000 sampai dengan 2021 di Indonesia telah mencapai $US439,8 milyar.5 Dengan kurs Rp15.000, nilai investasi tersebut setara dengan Rp 6.597 triliun lebih.
Masih menurut data American Enterprise Institute dan The Heritage Foundation dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2022, nilai investasi Cina di Indonesia telah mencapai $US31,8 miliar. Seluruhnya terbagi ke dalam 63 investasi. Sebanyak 48 di antaranya masuk dalam program Belt and Road Iniative (BRI). Di lihat dari sisi sektor investasi, sektor logam (metals) dan energi menjadi sektor terbanyak pertama dan kedua. Sektor logam terdapat 25 kali investasi dengan nilai total $US13,3 miliar. Adapun sektor energi sebanyak 12 kali investasi yang masuk dengan nilai $US9,1 miliar.6
Ini sejalan dengan data investasi asing langsung yang di terbitkan Bank Indonesia bahwa sektor pertambangan menjadi sektor terbesar pertama investasi Cina.7
Secara kumulatif berdasarkan jenis investasi asing langsung, pada periode tahun 2004 s.d 2012, investasi langsung Cina berada pada peringkat ke delapan. Dengan nilai investasi $US2,6 miliar. Pada periode berikutnya, 2013-2021, naik berada pada peringkat ke tiga ($US13,9 miliar) setelah Singapura dan Jepang. Menggeser Amerika Serikat, Inggris dan Belanda yang masing-masing berada pada peringkat ke tiga, empat dan lima pada periode sebelumnya (2004-2012).8
Investasi Asing dan Kemandirian Ekonomi Indonesia
Dalam jangka pendek, sebagaimana bentuknya, investasi asing secara relatif dapat memberikan pengaruh positif bagi cadangan devisa, rekrutmen tenaga kerja, transfer teknologi, hingga potensi penerimaan pendapatan bagi negara dalam bentuk pajak dan non pajak.
Meskipun demikian, realitas di lapangan tidak jarang ditemukan kepentingan asing tetap lebih dominan dalam jangka pendek. Dalam konteks cadangan devisa, kondisi melemahnya (depresiasi) nilai tukar Rp di atas Rp15.000 dalam 36 hari terakhir sejak tanggal 21 September 2022 hingga 9 November 20229 justru terjadi saat neraca transaksi berjalan kuartal pertama dan kedua dalam kondisi surplus yang ditopang oleh ekpor non-migas yang begitu tinggi sejak kuartal ketiga 2021 hingga kuartal kedua 2022. Kuartal ketiga 2021 surplus ekspor non-migas pada angka $US18,1 miliar, naik lebih tinggi pada kuartal kedua 2022 menjadi $US24,4 miliar. Lebih jauh, dalam lima kuartal terakhir (kuartal kedua 2020 s.d kuartal kedua 2022) ekspor non-migas tembus di angka $US50 miliar lebih. Namun, devisa hasil ekspor (DHE) yang harusnya menjadi tambahan kekuatan cadangan devisa justru dimentahkan oleh transaksi finansial yang tercatat negatif secara berturut-turut dalam 3 kuartal (kuartal ke4 2021 s.d kuartal ke2 2022). Investasi asing dalam bentuk investasi portofolio menjadi kontributor terbesar kedua yang masif keluar (capital outflow) dari Indonesia.10 Kondisi demikian tidak pernah terjadi setidaknya sejak tahun 2004.
Dilihat dari sisi rekrutmen tenaga kerja asing (TKA), sebelum pandemi, investasi asing langsung tampaknya justru menstimulan jumlah TKA naik 2 kali lipat (129,9%) dalam 10 tahun terakhir (tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 2019). Berbanding terbalik dengan investasi asing langsung yang tumbuh hanya 73,4% pada waktu yang sama. Dibandingkan dengan penurunan jumlah pengangguran terbuka (unemployment) pada waktu yang sama, pengangguran terbuka justru hanya turun -15,3%. Tahun 2010 jumlah pengangguran terbuka tercatat pada angka 8.319.779 jiwa, sedikit turun di tahun 2019 7.045.761 jiwa.
Lantas bagaimana dalam jangka panjang, seperti persoalan kemandirian ekonomi hingga persoalan ketahanan pangan? Dari sisi ini kami memandang tampaknya Indonesia sebagai negara tujuan investasi asing lebih banyak dirugikan. Hal ini dapat kita lihat dari perbandingan data di tahun 2000 hingga tahun 2021 antara sektor ekonomi yang menjadi tujuan investasi dengan data impor non-migas.
Data BPS menunjukkan, sektor industri menjadi sektor paling diminati investor. Setidaknya sejak tahun 2000, sektor ini selalu tertinggi dalam realisasi perolehan investasi penanaman modal luar negeri. Hanya saja, dampak positif investasi di sektor ini bagi kemandirian ekonomi Indonesia tampak sangat lemah. Kondisi tersebut dapat dilihat dari sejumlah komoditas hasil industri yang diimpor. Seperti produk alas kaki, kayu olahan, sabun mandi dan cuci, produk keramik, hingga tekstil dan produk tekstil yang dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Padahal sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2021 sektor industri telah menerima realisasi investasi penanaman modal luar negeri sebanyak $US193,3 miliar. Dengan kurs Rp 15.000, nilai investasi tersebut mencapai Rp 1.900 triliun lebih. Nilai besar realisasi investasi tersebut seharusnya mampu membuat impor komoditas hasil industri setidaknya lebih melandai.
Tampak pada gambar 01, impor komoditas sejumlah hasil industri justru menunjukkan arah yang terus meningkat. Impor produk tekstil pada tahun 2005 tercatat berada di angka 1 juta ton, naik menjadi 1,6 juta ton di tahun 2021. Produk kertas dan barang dari kertas, impor sebanyak 2,9 juta ton pada tahun 2005 dan kemudian naik menjadi 4,3 juta ton pada tahun 2021. Produk sabun mandi dan cuci, tahun 2005 impor sebanyak 75 ribu ton dan kemudian naik menjadi 185 ribu ton di tahun 2021. Begitu pula produk alas kaki yang awalnya impor 27 ribu ton di tahun 2005 dan naik menjadi 96 ribu ton di tahun 2021. Produk-produk tersebut adalah produk yang notabenenya sudah mampu dibuat oleh Indonesia. Apalagi kemudian ada begitu banyak investasi yang sudah masuk di sektor industri dalam rentang waktu 22 tahun (2000 s.d 2021).
Gambar 01
Di sektor pertanian, realisasi investasi penanaman modal luar negeri dari tahun 2000 hingga tahun 2021 mencapai $US20,1 milyar. Dengan kurs Rp15.000, nilai investasi tersebut setara dengan Rp302,7 triliun. Namun, sebagaimana tampak pada gambar 02 di bawah, impor dua komoditas hasil pertanian seperti buah-buahan dan sayur-sayuran justru terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2006, impor buah dan sayur masing-masing hanya di angka 5 dan 4 ribu ton. Di tahun 2021 sudah berada di angka 760 ribu ton untuk buah-buahan dan 919 ribu ton untuk sayur-sayuran.
Seiring naiknya volume impor, nilai dolar yang harus dikeluarkan pun semakin meningkat. Sebagaimana tampak pada tabel 01, tahun 2006 nilai impornya hanya $US23,4 juta. Kemudian naik tajam menjadi $US2,4 miliar. Devisa yang harus dikeluarkan untuk impor dua komoditas tersebut pada tahun 2021 jauh melebihi nilai investasinya di tahun yang sama senilai $US950,6 juta. Kondisi itu menunjukkan bahwa investasi yang tadinya diharapkan membawa manfaat dalam bentuk tambahan devisa dalam jangka pendek, justru “dibuang” oleh impor komoditas di sektor yang sama dengan nilai yang lebih tinggi. Lebih jauh, tidak mengherankan ketika indeks ketahanan pangan (Food Sustainability Index), Indonesia berada di bawah Bangladesh. Dari 78 negara yang diukur, Indonesia berada pada ranking 59. Adapun Bangladesh di posisi ranking 44.
Tabel 01
Gambar 02
Dari fakta-fakta tersebut juga bisa dipahami bahwa investasi yang sering dianggap membawa manfaat dalam bentuk transfer teknologi tampaknya tidak begitu banyak berkontribusi bagi ekonomi domestik (host country). Dalam kalimat lain, Investasi penanaman modal luar negeri tidak memiliki keterkaitan kuat dalam membangun kemandirian ekonomi Indonesia. Investasi asing justru masuk dengan tujuan mengeksploitasi sumber daya alam dan menguasai pasar dari negara tujuan investasi.
Produk-produk yang diimpor di atas bukanlah produk yang memiliki teknologi tinggi sehingga dibutuhkan secara mutlak penguasaan teknologi terlebih dahulu sebagaimana produk seperti suku cadang kendaraan dan mesin atau komputer dan bagiannya. Namun anehnya, impor produk-produk tersebut justru setiap tahun mengalami kenaikan.
Eksploitasi SDA yang begitu rakus oleh investasi asing dapat dilihat dari produksi batubara yang semakin masif dalam 22 tahun terakhir. Pada tahun 2000, angka produksi sebanyak 76,8 juta ton. Di tahun 2021 naik menjadi 610 juta ton. Naik hampir mencapai 700%. Dengan asumsi produksi sebesar 600 juta ton/tahun, cadangan terbukti sebanyak 38,8 miliar ton akan habis hanya dalam tempo 65 tahun.
Dalam konteks penguasaan pasar, Menteri Perdagangan menyampaikan bahwa 90% produk Ecommerce berasal dari produk asing. Serbuan produk asing di Ecommerce menjadi tidak terelakkan mengingat Indonesia merupakan pasar terbesar Ecommerce di Asia Tenggara. Bukan tidak mungkin, saat ini atau dikemudian hari pasar-pasar tradisional dan modern juga akan dikuasai oleh produk asing. Melepaskan pasar Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 dunia, sama saja melepaskan potensi keuntungan besar yang akan diperoleh.
Demikianlah kerugian dan dampak negatif yang ditimbulkan oleh investasi asing. Tidak hanya dalam jangka panjang, melainkan juga dalam jangka pendek.
WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [M. Hatta (Analis Makro Ekonomi PAKTA)]
Catatan kaki:
1 https://www.heritage.org/index/ranking
2 https://www.beacukai.go.id/faq/ketentuan-skema-free-trade-agreements-fta-.html
3 https://unctad.org/data-visualization/global-foreign-direct-investment-flows-over-last-30-years
4 https://www.aei.org/china-global-investment-tracker/
6 https://www.aei.org/china-global-investment-tracker/
7 https://www.bi.go.id/id/statistik/ekonomi-keuangan/seki/Pages/SEKI-SEPTEMBER-2022.aspx
8 https://www.bi.go.id/id/statistik/ekonomi-keuangan/seki/Pages/SEKI-SEPTEMBER-2022.aspx
9 https://www.bi.go.id/id/statistik/informasi-kurs/jisdor/default.aspx
10 https://www.bi.go.id/id/statistik/ekonomi-keuangan/seki/Pages/SEKI-SEPTEMBER-2022.aspx