Distribusi Kekayaan di Negara Islam
Salah satu kelemahan mendasar dari sistem ekonomi kapitalisme adalah ketidakmampuannya mendistri-busikan kekayaan secara adil kepada rakyat. Hal ini tercermin dalam kesenjangan ekonomi yang tinggi di antara penduduk. Sebagian besar rakyat tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Sebaliknya, sekelompok kecil orang hidup dengan kekayaan yang berlimpah.
Mekanisme utama dalam sistem distribusi kapitalisme bertumpu pada mekanisme pasar. Kekayaan didistribusikan kepada mereka yang mampu membayar barang dan jasa yang dibutuhkan publik, termasuk kelompok barang dan jasa yang bersifat primer, seperti makanan, pakaian, perumahan, serta akses kesehatan dan pendidikan.
Berbeda dengan kapitalisme, sistem Islam bersumber dari Allah SWT, Pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkata. “Sungguh manusia membutuhkan pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmaninya. Namun, jika pemenuhan ini tidak dilakukan dengan aturan, maka akan menyebabkan pemenuhan yang salah atau menyimpang, dan akan mengakibatkan kesengsaraan bagi manusia. Oleh karena itu, dibutuhkan aturan yang mengatur naluri dan kebutuhan jasmaninya. Aturan ini tidak boleh datang dari manusia. Pasalnya, pemahaman manusia dalam mengatur naluri dan kebutuhan jasmani manusia rentan terhadap perbedaan, pertentangan, dan kontradiksi, yang pada akhirnya akan mengakibatkan kesengsaraan manusia. Maka dari itu, aturan tersebut harus datang dari Allah SWT.”1
Dalam pandangan Islam, pendistribusian kekayaan merupakan salah satu pilar sistem ekonomi Islam. Hal ini beriringan dengan prinsip-prinsip kepemilikan dan pemanfaatan harta. Aturan mengenai distribusi kekayaan dalam Islam mencakup berbagai aspek. Beberapa di antaranya adalah penerimaan harta dari keluarga dalam berbagai bentuk seperti nafkah dan warisan, distribusi harta dari orang kaya melalui Baitul Mal, pemberian harta oleh negara, pemanfaatan harta milik umum; juga larangan menelantarkan aset produktif, seperti emas, perak dan tanah pertanian. Dengan berbagai aturan tersebut, kekayaan dapat terdistribusi kepada setiap warga negara. Dengan itu mereka dapat memenuhi kebutuhan dasarnya serta berkesempatan untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya.
Pada dasarnya, Islam telah mendorong setiap laki-laki Muslim mukallaf yang mampu dan membutuhkan harta, baik untuk dirinya maupun keluarganya, untuk bekerja. Beberapa kategori pekerjaan yang dihalalkan dalam syariah Islam seperti menghidupkan tanah mati, menambang, berburu, makelar, mudhaarabah, melakukan ijaarah atau menjual jasa kepada pihak lain. Karena itu para Sahabat RA adalah pekerja. Aisyah ra. berkata, “Para Sahabat Rasulullah saw. adalah para pekerja dengan tangan mereka sendiri. Mereka memiliki bau badan. Lalu dikatakan kepada mereka, ‘Seandainya kalian mandi.’”
Ibnu Hajar mengomentari hadis-hadis yang berkaitan dengan bekerja dengan tangan sendiri berkata, “Di antara syaratnya adalah tidak meyakini bahwa rezeki itu berasal dari upaya/pekerjaan itu sendiri, tetapi berasal dari Allah SWT dengan perantaraan pekerjaan tersebut. Di antara keutamaan bekerja dengan tangan sendiri adalah sibuk dengan pekerjaan yang halal sehingga terhindar dari pengangguran dan sia-sia, dapat mematahkan/menundukkan hawa nafsu serta memelihara diri dari kehinaan meminta-minta dan ketergantungan kepada orang lain.”2
Imam Abu Hasan al-Syaibany mengatakan, “Seseorang yang bekerja untuk sesuatu yang menjadi keharusan bagi dirinya akan mendapatkan derajat yang tinggi. Ia mendapatkan hal itu karena ia telah melaksanakan kewajiban. Jika ia tidak akan dapat melaksanakan suatu kewajiban kecuali dengannya, maka kewajiban bekerja itu menduduki posisi thahaarah untuk melaksanakan shalat.”3
Pendistribusian Harta Milik Pribadi Keluarga
Salah satu bentuk pendistribusian harta kepada individu lain adalah pemberian harta melalui nafkah. Nafkah atau pembelanjaan harta dilakukan untuk diri sendiri, keluarga yang menjadi tanggungan, ataupun yang tidak menjadi tanggungan, dan kepada orang lain. Seorang laki-laki yang telah balig dan membutuhkan nafkah wajib untuk bekerja. Seorang suami berkewajiban menafkahi istri dan anak-anaknya. Perempuan seperti istri dan anak perempuan, juga orangtua yang tidak dapat bekerja (karena usia lanjut atau keterbatasan fisik) wajib ditanggung oleh anak-anak laki-laki atau ahli waris laki-laki yang mampu.
Islam juga telah menjelaskan bahwa kadar nafkah yang wajib diberikan adalah kebutuhan dasar yang bersifat layak dan bersifat umum di masyarakat (ma’ruuf) (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233; QS ath-Thalaq [65]: 6). Meskipun demikian, jika suami tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi standar tersebut maka dia dibebani kewajiban nafkah sesuai dengan kemampuannya. Ibnu Qudamah berkata, “Intinya, jika seorang istri menyerahkan dirinya kepada suami dengan cara yang seharusnya, maka dia punya hak atas suaminya berupa semua kebutuhannya; makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal. Para ulama kami berkata, ‘Nafkah bagi dia ditentukan berdasarkan kondisi keduanya (suami-istri). Jika keduanya mampu, suami wajib memberi istri nafkah orang mampu. Jika keduanya miskin, suami wajib memberi dia nafkah orang miskin…’”4
Menafkahi orangtua yang tidak mampu juga menjadi kewajiban anak. Sama sebagaimana kewajiban menafkahi anak bagi seorang ayah. Ibnu Munzir berkata, “Para ulama sepakat bahwa menafkahi orangtua yang miskin yang tidak memiliki penghasilan dan harta adalah wajib dari harta anaknya. Setiap ulama yang kami ketahui berpendapat bahwa seseorang wajib menafkahi anak-anaknya yang masih kecil yang tidak memiliki harta.”5
Menurut Ibnu Qudamah, ada tiga syarat agar kewajiban menafkahi berlaku: Pertama, mereka (yang dinafkahi) dalam keadaan fakir, tidak memiliki harta atau penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhan sendiri tanpa bantuan orang lain. Kedua, orang yang wajib menafkahi memiliki kelebihan dari kebutuhan nafkah dirinya sendiri, baik dari hartanya atau penghasilannya. Adapun orang yang tidak memiliki kelebihan, maka dia tidak wajib menafkahi. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Jabir ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika salah seorang dari kalian miskin, hendaklah dia memulai (menafkahi) dirinya sendiri terlebih dulu. Jika masih ada kelebihan, barulah untuk keluarganya. Jika masih ada kelebihan lagi, barulah untuk kerabatnya.”
Ketiga, orang yang memberikan nafkah haruslah ahli waris (bagi yang dinafkahi) (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233). Pasalnya, antar orang-orang yang saling mewarisi terdapat hubungan kekerabatan yang mengharuskan ahli waris lebih berhak atas harta peninggalan (orang yang diwarisi) dibandingkan dengan orang lain. Karena itu sudah sepatutnya kewajiban memberi nafkah kepada kerabat itu khusus bagi ahli warisnya, bukan yang lain.6
Pendistribusian Harta Milik Pribadi Kaum Muslim
Ada kondisi ketika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya karena suatu sebab dan keluarga atau ahli warisnya tidak ada atau tidak mampu untuk membantu kerabatnya. Dalam kondisi demikian orang tersebut wajib ditanggung oleh kaum Muslim lainnya yang mampu. Harta mereka ditarik oleh Negara yang dihimpun di dalam Baitul Mal. Jika harta Baitul Mal tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan orang fakir-miskin yang berasal dari pos zakat dan pos yang berkaitan, maka Negara dapat mengenakan pajak (dhariibah) kepada orang-orang Muslim yang kaya, yang memiliki kelebihan dari pemenuhan kebutuhan dasar dan sekunder, untuk memenuhi kewajiban tersebut. Selain mengeluarkan zakat yang bersifat wajib, kaum Muslim juga dianjurkan untuk memberikan hartanya dalam bentuk-bentuk yang disunnahkan, seperti sedekah, hibah, hadiah dan wakaf. Di dalam sejarah peradaban Islam, misalnya, institusi wakaf dalam berbagai bentuk seperti dapur-dapur umum, sekolah, dan rumah sakit, berperan penting dalam membantu masyarakat memenuhi kebutuhan hidup mereka.7
Mengingat pentingnya kewajiban zakat, orang-orang kaya di dalam Negara Islam tidak hanya diwajibkan untuk membayar zakat, tetapi juga akan dikenai sanksi jika mereka melalaikan kewajiban tersebut. Seperti yang dituturkan oleh Ibnu Qudamah: “Kaum Muslim sepanjang zaman telah bersepakat tentang kewajiban zakat. Para Sahabat ra. telah bersepakat untuk memerangi orang-orang yang enggan menunaikan zakat.”
Ia kemudian mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari mengenai jawaban Khalifah Abu Bakar kepada Umar ra. ketika ditanya mengapa beliau hendak memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat setelah Rasulullah saw. wafat. Khalifah Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, sungguh aku akan memerangi siapa saja yang memisahkan antara shalat dan zakat. Sungguh zakat adalah hak dalam harta. Demi Allah, andai mereka menolak membayar zakat seekor kambing yang biasa diberikan kepada Rasulullah saw., niscaya aku akan memerangi mereka karena keengganan itu.”8
Pada level individu, dalam kondisi ketika negara atau masyarakat lalai dalam memenuhi kewajibannya, seseorang yang tidak mendapatkan harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, pada kondisi ekstrem dibolehkan memakan bangkai untuk menyelamatkan nyawanya. Namun, hal ini hanya berlaku jika ia tidak dapat memenuhi kebutuhannya dari harta milik orang lain. Pada musim paceklik, seseorang yang mencuri karena kelaparan juga dibebaskan dari hukuman potong tangan.
Pendistribusian Harta Milik Negara
Selain mendistribusikan harta dari pos zakat (diiwaan ash-shadaqaat), Negara juga memiliki peran untuk mendistribusikan harta Baitul Mal melalui pos tunjangan (diwan al-‘atha’) kepada rakyat, baik untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka atau mendayagunakan harta milik negara. Di antaranya adalah pemberian tanah pertanian kepada rakyat untuk dikelola atau pemberian harta untuk melunasi utang-utang mereka. Nabi Muhammad saw. telah memberikan sejumlah tanah negara kepada Sahabat untuk digarap, seperti kepada Abu Bakar, Umar, dan Zubair. Hal ini sebagaimana yang juga dilakukan oleh para Khulafaur Rasyidin sepeninggal beliau.9
Di dalam sejarah umat Islam, pembagian tanah tersebut sangat bermanfaat, khususnya bagi rakyat miskin. Sebagai contoh, seperti yang dikutip dari Shalaby mengenai pemberian tanah Sawad di Irak kepada para petani, “Khalifah Umar menghapus sistem feodalisme yang zalim, yang telah memonopoli semua tanah untuk keuntungan mereka sendiri dan memperbudak para petani untuk menggarapnya tanpa bayaran. Beliau membiarkan tanah Sawad di tangan para petaninya untuk mereka garap dengan membayar kharaj yang adil dan terjangkau setiap tahun. Para petani merasa bahagia karena untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, mereka merasa bahwa merekalah pemilik sebenarnya dari tanah pertanian itu, bukan tuan-tuan feodal dari kelas penguasa.”10
Pendistribusian Harta Milik Umum
Harta milik umum adalah fasilitas umum yang ketiadaannya akan mengakibatkan kesulitan bagi rakyat sehingga mereka akan keluar untuk mencarinya. Harta tersebut seperti air, api, dan padang rumput. Termasuk pula barang tambang yang depositnya besar. Juga fasilitas umum yang dibutuhkan dan tidak dapat dikuasai secara individu, seperti laut, sungai, jalan umum, sekolah dan rumah sakit. Pengelolaan harta milik umum tersebut diserahkan kepada ijtihad Khalifah, baik harta tersebut bisa dimanfaatkan secara langsung atau terlebih dulu harus diolah seperti pada beberapa jenis barang tambang. Dengan penyediaan harta milik umum tersebut, berbagai kebutuhan publik, seperti air, bahan bakar minyak, listrik dan gas dapat diakses dengan gratis ataupun biaya yang murah sehingga akan meringankan biaya hidup rumah tangga dan pelaku usaha. Belum lagi pendidikan dan kesehatan disediakan secara gratis oleh negara. Kondisi tersebut berbeda dengan sistem kapitalisme karena barang-barang tersebut kebanyakan dikelola oleh swasta dengan motif untuk mendapatkan profit sehingga sangat membebani masyarakat menengah bawah.
Larangan Penimbunan Harta dan Penelantaran Aset Produktif
Di antara aturan yang pokok yang menjamin harta terdistribusi dengan baik adalah larangan menimbun emas dan perak, serta semua jenis uang yang beredar (Lihat: QS at-Taubah [9]: 34). Menimbun adalah mengumpulkan uang dari waktu ke waktu tanpa kebutuhan sehingga menahan uang dari peredaran. Meskipun demikian, menabung tidak dilarang sebab ia bertujuan untuk dimanfaatkan pada masa yang akan datang untuk kebutuhan tertentu, seperti membangun rumah, menikah, membuka usaha, sehingga uang tersebut akan dikeluarkan lagi ke peredaran dan jumlahnya kecil. Larangan menimbun tersebut akan meningkatkan uang beredar sehingga akan mendorong berbagai kegiatan yang produktif, seperti konsumsi, investasi, produksi barang dan jasa, penelitian dan percobaan ilmiah. Hal tersebut pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan masyarakat, mengurangi kemiskinan dan pengangguran, serta mendatangkan kemakmuran dan kemajuan ekonomi.
Termasuk dalam aturan yang melarang menelantarkan aset adalah perintah untuk mengambil alih lahan pertanian yang ditelantarkan selama tiga tahun untuk diberikan kepada orang lain untuk digarap. Dalam Kitab Al-Kharaaj, Yahya bin Adam mengutip riwayat ‘Amru bin Syu’aib atau selainnya, ia berkata: Rasulullah saw. pernah memberikan sebidang tanah kepada sekelompok orang dari suku Muzainah atau Juhainah. Namun, mereka menelantarkan tanah tersebut. Kemudian datanglah sekelompok orang lain yang menghidupkan (mengolah) tanah itu. Lalu Umar ra. (saat menjadi khalifah) berkata. “Andai pemberian tanah itu dariku atau dari Abu Bakar, niscaya aku akan mencabutnya kembali. Namun, pemberian itu dari Rasulullah saw.” Khalifah Umar juga berkata, “Siapa saja yang menelantarkan tanahnya selama tiga tahun tanpa dia olah, lalu datang orang lain mengolah tanah tersebut, maka tanah itu menjadi milik orang yang mengolahnya tersebut.”11
Penutup
Demikianlah beberapa mekanisme distribusi kekayaan di dalam Islam yang dapat menjamin agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Dengan itu kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi dapat dirasakan oleh seluruh warga negara tanpa memandang agama, suku, dan warna kulitnya. Patut diingat bahwa berbagai aturan tersebut hanya dapat diterapkan pada institusi Khilafah Islam, sistem pemerintahan yang menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan baik di dalam negeri maupun di luar negeri, seperti yang diwasiatkan oleh Nabi saw. dan dicontohakan oleh Khulafaur-Rasyidin.
WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Muis]
Catatan kaki:
1 Taqiyuddin al-Nabhany, Nidham al-Islam, edisi keenam (2001), hal. 10.
2 Ibnu Hajar Al-Asqalany, Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, bab “Kasbu Al-Rajuli wa ‘Amalihi Biyadihi” (Maktabah Salafiyyah, tt), vol. 4, hal. 304.
3 Muhammad bin Hasan al-Shaibany, Kitab al-Kasb (Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyyah, 1997), hal. 73.
4 Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats al-Araby, 1998), vol. 8, hal. 156.
5 Ibnu Qudamah, hal. 169.
6 Ibnu Qudamah, hal. 170.
7 Kayhan Orbay, “Imperial Waqfs within the Ottoman Waqf System”, Endowment Studies 1, 2 (2017): 135-153, doi: https://doi.org/10.1163/24685968-00102002
8 Ibnu Qudamah, hal. 228.
9 Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, Kitab Al-Amwal (Mesir: Dar al-Hadyi al-Nabawy, 2007), hal. 388-400.
10 Ali Muhammad al-Shalaby, Sirah Amir al-Mu’minin ‘Umar ibn al-Khattab (Kairo: Muassasah Iqra, 2004), hal. 254.
11 Yahya bin Adam, Kitab Al-Kharaj (Dar al-Shuruq, 1987), hal. 122.