Pengelolaan Ketenagakerjaan Dalam Islam
Salah satu klaster dalam UU Omnibus Ciptaker yang banyak dibahas dan menyulut banyak demonstrasi terutama di kalangan para pekerja adalah masalah ketenagakerjaan. Ada dua belas masalah yang diprotes oleh buruh dalam undang undang ciptaker tersebut.
Pertama: Jumlah pesangon yang akan berkurang. Uang pesangon maksimal hanya dibayar 19 kali oleh pengusaha dan sisanya lewat Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Sebelumnya uang pisah kerja yang diberikan bisa mencapai 32 kali.
Kedua: Ketiadaan Upah Minimum Sektoral dalam UU Cipta Kerja dikhawatirkan memukul buruh otomotif dan pertambangan yang memiliki upah tinggi. Ada pula penghitungan gaji berbasis Upah Minimum Provinsi yang menimbulkan kecurigaan para pekerja. Ini hanya alibi Pemerintah menghilangkan upah minimum kabupaten/kotamadya (UMK)di daerah.
Ketiga: Perubahan Pasal 88 UU Ketenagakerjaan memungkinkan adanya pembayaran upah menjadi perjam, bukan perbulan. Dalam UU Ketenagakerjaan, ada 11 faktor yang jadi basis penghitungan upah. Angkanya berkurang menjadi tujuh dalam UU Cipta Kerja.
Keempat: Tak ada pemberian cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang bekerja enam tahun. Padahal dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 79 Ayat (2), pemberian hak cuti ini diatur dengan jelas.
Kelima: Tak ada pembatasan dalam jenis pekerjaan yang bisa dikerjakan pekerja alih daya (outsourcing). Padahal dalam Pasal 65 UU Ketenagakerjaan, outsourcing hanya dibatasi di lima jenis pekerjaan.
Keenam: Omnibus Law tak mengatur batasan durasi pekerja kontrak dilakukan. Hal ini membuka celah adanya perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang berlaku seumur hidup.
Ketujuh: Dalam Pasal 154A UU Cipta Kerja ada potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa dengan mudah dilakukan dengan alasan efisiensi.
Kedelapan: Ada potensi sulitnya buruh mendapatkan jaminan sosial bagi karyawan outsourcing dan karyawan kontrak.
Kesembilan: Omnibus Law dianggap oleh buruh menghilangkan kewajiban TKA memiliki izin tertulis menteri atau pejabat terkait. Dalam Pasal 42, pemberi kerja hanya perlu memiliki pengesahan Rencana Penggunaan TKA (RPTKA). Hal ini memudahkan pekerja asing masuk RI. Saat ini saja banyak TKA unskill masuk.
Kesepuluh: UU Cipta Kerja bisa mengatur hubungan fleksibel antara pekerja dan pemberi kerja. Ini bisa berdampak pada mudahnya proses perekrutan dan pemecatan buruh. Dalam Pasal 77 ayat (4) UU Cipta Kerja, Pemerintah menambahkan poin pelaksanaan jam kerja bagi pekerja diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Fleksibilitas waktu kerja dalam aturan ini bisa menyebabkan peningkatan pekerja di sektor informal. Pengusaha hanya akan memberikan pekerjaan kepada buruh yang ada di rumah. Dengan sistem ini tidak ada perlindungan karena upah akan dibayarkan seenaknya dan tak ada jaminan kesehatan serta pensiun.
Kesebelas: Isu ancaman PHK bagi buruh yang protes bisa saja terjadi. Pasalnya, ada potensi lebih banyak buruh alih daya dan kontrak akibat diatur Pemerintah lewat Omnibus Law.
Kedua belas: Penerapan jam kerja fleksibel bisa mengakibatkan buruh bekerja pada tanggal merah. Dalam Pasal 77, ketentuan waktu kerja tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Beleid ini sebenarnya tidak berubah dari UU Ketenagakerjaan.
Konsep Sistem Ekonomi Islam dalam Pengelolaan Ketenagakerjaan
Akar masalah ketenagakerjaan saat ini bertumpu pada “upaya pemenuhan kebutuhan hidup” serta upaya meningkatkan kesejahteraan hidup. Persoalan pemenuhan kebutuhan pokok terkait kebutuhan akan barang (seperti pangan, sandang, dan papan) maupun jasa (seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan). Jadi akar permasalahannya terletak pada pemenuhan kebutuhan hidup.
Dengan demikian, agar persoalan ketenagakerjaan dapat diselesaikan dengan tuntas, persoalan pemenuhan kebutuhan masyarakat harusnya juga menjadi fokus perhatian. Selain itu, penyelesaian berbagai masalah ketenagakerjaan perlu dilakukan dengan tetap mencari solusi yang paling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Tidak ada yang terzalimi, baik pekerja maupun pengusaha.
Berdasarkan masalah masalah yang sering muncul dalam isu ketenagakerjaan, sebenarnya masalah tersebut bisa dikategorikan menjadi dua persoalan utama: permasalahan ketenagakerjaan yang terkait erat dengan pemenuhan kebutuhan serta masalah ketenagakerjaan yang berhubungan dengan masalah kontrak kerja pengusaha dan pekerja.
Pertama: Masalah ketenagakerjaan yang berhubungan erat dengan masalah pemenuhan kebutuhan. Contohnya adalah persoalan ketersediaan lapangan kerja; pengangguran, lemahnya SDM, tuntutan kenaikan upah, tuntutan tunjangan sosial, masalah buruh wanita, dan pekerja di bawah umur.
Kedua: Permasalahan kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja ini mencakup persoalan pemutusan hubungan kerja, penyelesaian sengketa perburuhan, dan lain sebagainya.
Persoalan pertama sangat erat kaitannya dengan fungsi dan tanggung jawab negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Persoalan ini haruslah diselesaikan melalui kebijakan negara dan tidak menyerahkan penyelesaiannya semata kepada pengusaha dan pekerja.
Persoalan kedua dapat diselesaikan sendiri oleh pengusaha dan pekerja. Pemerintah hanya berfungsi sebagai pengawas sekaligus penengah jika terjadi persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh pengusaha dan pekerja.
Islam sebagai prinsip ideologi telah mengatasi berbagai persoalan yang muncul dalam ketenagakerjaan secara fundamental dan konprehensif. Dalam Islam penyelesaiannya perlu memperhatikan faktor penyebab utama munculnya persoalan ketenagakerjaan.
Untuk persoalan yang muncul akibat kebijakan negara dalam bidang politik ekonomi, menurut Islam, negaralah yang bertanggungjawab untuk menyelesaikannya. Negara wajib memenuhi kebutuhan hidup rakyat. Negara wajib menjalankan kebijakan makro dengan menjalankan apa yang disebut dengan Politik Ekonomi Islam. Politik ekonomi Islam adalah penerapan berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) setiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai dengan adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka.
Islam memperhatikan pemenuhan kebutuhan setiap anggota masyarakat dengan fokus perhatian bahwa manusia diperhatikan sebagai individu (pribadi), bukan sekadar sebagai suatu komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Hal ini berarti Islam lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat secara individual dan bukan secara kolektif. Dengam demikian aspek distribusi sangatlah penting. Dengan itu dapat dijamin secara pasti bahwa setiap individu telah terpenuhi kebutuhan hidupnya. Ketika mensyariatkan hukum-hukum yang berkenaan tentang ekonomi kepada manusia, Allah SWT telah mensyariatkan hukum-hukum tersebut untuk pribadi, masyarakat, dan negara.
Adapun masalah ketenagakerjaan yang masuk kategori yang kedua, yaitu muncul akibat hubungan pengusaha dan pekerja, maka ini seharusnya dapat diselesaikan sendiri oleh pengusaha dan pekerja. Islam telah menjelaskan secara rinci bagaimana kontrak kerja pengusaha-pekerja melalui hukum-hukum yang menyangkut ijârah al-ajîr.
Dengan mematuhi ketentuan-ketentuan Islam dalam hubungan pengusaha dan pekerja, masalah-masalah yang ada dapat diselesaikan dengan lebih baik. []