Iqtishadiyah

‘Perang’ Abad 21 Sudah Dimulai

“Konflik perdagangan yang sebenarnya adalah perang melawan kebangkitan Cina, untuk melihat siapa yang memiliki stamina yang lebih kuat. Sama sekali tidak ada waktu untuk keraguan atau bersikap diam.”

 

Begitulah cara pihak berwenang Cina, dalam berita yang bocor, menggarisbawahi media negara bagaimana mereka harus meliput berita mengenai perdagangan dengan AS. Pertarungan ekonomi abad ini telah dimulai.

Setelah berbulan-bulan dilakukan ancaman terhadap tarif, pada tanggal 6 Juli AS memberlakukan bea masuk 25% pada barang impor dari Cina senilai $34 miliar. Sebagai tindakan balasan, Cina kemudian memberlakukan tarif pada barang-barang impor pertanian asal AS yang bernilai sensitif secara politis. Sebagai tanggapan terhadap tindakan Cina itu, pada tanggal 10 Juli, perwakilan perdagangan AS melancarkan proses selama dua bulan untuk mengenakan tarif lebih lanjut dari impor senilai $200 miliar dari Cina. Negosiasi telah berlangsung antara AS dan Cina untuk menemukan titik temu. Persaingan mendasar antara dua raksasa ekonomi dunia itu benar-benar mengenai hegemoni global tentang pihak yang menduduki kekuasaan untuk menangani kekuatan Cina yang meningkat. Ini benar-benar suatu pertempuran pembuka atas supremasi ekonomi dan politik abad ke-21.

Selama beberapa dekade, Amerika Serikat memandang Cina sebagai macan kertas. Negara ini memiliki banyak potensi, tetapi terjerumus dalam keterbelakangan, kemiskinan dan komunisme. AS, dengan keterampilan politiknya, mampu memikat Cina menjauh dari Uni Soviet pada awal tahun 1970-an, yang selalu memiliki hubungan sulit dengan Cina dan berbagi kubu Timur. Sebagian besar pemimpin komunis menjelang tahun 1970-an sadar bahwa Komunisme telah gagal mengembangkan Cina dan pada kenyataannya telah menyebabkan masalah ekonomi negara yang sangat besar. Dengan menoleh ke AS selama masa Perang Dingin, para pemimpin berharap mereka akan mendapatkan akses untuk mendapatkan teknologi modern, keterampilan dan keahlian.

Selama tahun 1990-an dan setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, AS tidak menganggap Cina sebagai ancaman. AS menganggap Cina memiliki prospek yang suram. Pemerintahan Clinton (1991-2001) memandang Cina sebagai mitra untuk dunia pasca-Soviet, khususnya karena buruhnya yang murah, yang akan dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan AS.

Namun, kini semua berubah ketika George W. Bush, yang dikelilingi neocons, berkuasa pada tahun 2001. Dia ingin menjadikan abad ke-21 sebagai abad Amerika. Condoleezza Rice menulis dalam sebuah artikel untuk Majalah Foreign Affairs pada tahun 2000, “Cina membenci peran Amerika Serikat di kawasan Asia-Pasifik. Ini berarti bahwa Cina bukanlah kekuatan ‘status quo’, tetapi kekuatan yang ingin mengubah keseimbangan kekuatan Asia demi kepentingannya sendiri. Hal itu saja cukup menjadikan Cina sebagai pesaing strategis, bukan sebagai ‘mitra strategis’.”

Istilah ini pernah  disebutkan pemerintahan Clinton terhadap Cina. “Para pembuat kebijakan AS selama era Clinton memandang cara terbaik untuk mengendalikan Cina adalah dengan melibatkan Cina dan memberi Cina akses ke sebagian teknologi AS. Pemerintahan neocon harus menghadapi Cina yang ekonominya telah melewati angka $2 triliun. Cina pun telah menjelajahi dunia untuk mendapatkan energi dan sumberdaya alam. Kekayaan yang baru ditemukan ini menimbulkan kekhawatiran besar di kawasan Asia Timur, terutama ketika Cina mulai mengklaim perairan, pulau-pulau buatan dan terumbu karang di kawasan itu. Para pembuat kebijakan AS memandang pembatasan sebagai cara terbaik untuk membatasi ambisi apapun dari Cina. Caranya adalah dengan cara membatasi investasi dan akuisisi Cina di sektor strategis seperti teknologi. Selain itu Amerika Serikat menindak perusahaan-perusahaan teknologi Cina. Pada tanggal 16 April 2018, Departemen Perdagangan AS mengatur kembali suatu larangan perusahaan AS—termasuk  raksasa teknologi seperti Google, Qualcomm dan Intel—untuk menjual suku cadang, perangkat lunak dan peralatannya ke raksasa telekomunikasi yang berbasis di Shenzhen, ZTE Corp. ZTE adalah salah satu perusahaan terpenting dalam strategi inovasi teknologi berkelanjutan Cina. Diperkirakan 25% hingga 30% pasokan dan komponen perusahaan itu berasal dari perusahaan-perusahaan AS.

AS menargetkan sektor ekonomi dan teknologi yang menjadi sandaran Cina. Berbeda kekuatan ekonomi besar lainnya, 20% ekonomi Cina didasarkan pada ekspor. Sejauh ini AS adalah tujuan terbesar untuk ekspor Cina. Pada tahun 2016, 23% dari ekspor Cina, bernilai sekitar $ 481 miliar, berakhir di Amerika Serikat. PDB Amerika adalah sebesar $18,5 triliun. Ekspornya bernilai $1,4 triliun, di bawah 12%. Impor AS, atau ekspor Cina ke AS, sebagian besar adalah barang-barang konsumen murah. AS dapat memperoleh hal ini dari tujuan-tujuan lain, jika diperlukan. Di sisi lain, Cina tidak akan menemukan pasar konsumen lain yang mengkonsumsi barang seperti yang dilakukan Amerika Serikat.

Seorang analis geopolitik veteran dan orang yang berturut-turut menjadi kepercayaan para presiden AS, Henry Kissinger, telah menyatakan pada banyak kesempatan bahwa dia melihat peningkatan hubungan dengan Rusia yang diperlukan karena meningkatnya kekuatan Cina. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Putin dan Trump bertemu di KTT di Finlandia pada tanggal 16 Juli meskipun mereka beretorika. Di antara banyak masalah global, AS-Rusia harus mendiskusikan hubungan Rusia dengan Cina. AS ingin menggunakan Rusia untuk melawan Cina. Ini mirip dengan peran yang dimainkan Cina terhadap Uni Soviet pada masa lalu. Tarif dan pembatasan perdagangan serta penciptaan perpecahan antara Rusia dan Cina adalah strategi AS untuk menghadapi tantangan potensial masa depan terhadap status superpower-nya. [Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir oleh Adnan Khan]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

sixteen − 15 =

Back to top button