Iqtishadiyah

Refleksi Ekonomi 2018

Perekonomian Indonesia tahun 2018 tidak banyak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pertumbuhan rendah. Pemerataan kesejahteraan timpang. Kebijakan banyak berpihak pada kepentingan asing. Menurut perkiraan sejumlah lembaga semisal IMF dan Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya di kisaran 5,1%. Relatif sama dengan tahun lalu. Jadi, dalam 4 tahun terakhir ekonomi hanya tumbuh rata-rata 5%. Dengan pertumbuhan seperti itu, sulit membayangkan ekonomi Indonesia akan lebih maju dari saat ini.

Perang dagang AS-Cina, yang merupakan tujuan utama ekspor Indonesia, ikut menekan pertumbuhan ekspor negara ini. Kebijakan Pemerintah AS yang menaikkan tarif impor dari Cina, yang kemudian dibalas oleh Cina, membuat ekspor kedua negara sama-sama tertekan. Dampaknya, pasokan bahan baku ekspor ke kedua negara itu ikut tertahan. Termasuk ekspor Indonesia yang 20% persennya dijual ke Cina dan 15% ke AS. Pertemuan Pemerintah AS-Cina di Argentina bulan Desember ini hanya menahan agar eskalasi perang ini tidak menjadi lebih besar selama 90 hari ke depan. Jika kesepakatan gagal dicapai, Pemerintah AS akan kembali menaikkan tarif 25% dari kenaikan 10% yang sebelumnya dikenakan pada hampir separuh ekspor Cina ke negara itu.

Harga komoditas yang turun tahun ini juga ikut menekan performa ekspor. Harga sawit, karet, nikel, dan batubara melemah. Para petani sawit dan karet mengeluh karena harga panen mereka anjlok. Saat yang sama impor Indonesia tahun ini tak banyak menurun meskipun permintaan domestik melambat. Akibatnya, neraca transaksi perdagangan Indonesia mengalami defisit. Ancaman Pemerintah AS atas kebijakan Indonesia, yang membatasi produk pangan dari negara itu, membuat arus impor pangan kembali melonjak. Padahal kebijakan itu sebenarnya sejalan dengan upaya untuk melindungi pertanian domestik. Sayang, nyali Pemerintah terlalu lemah di hadapan AS.  Impor pangan seperti beras dan jagung, juga dilakukan secara jor-joran. Padahal Pemerintah sempat mengklaim produksi nasional sudah surplus.

Upaya Pemerintah untuk mengurangi defisit juga sekadarnya. Pemerintah menaikan bea masuk impor pada beberapa barang-barang konsumsi. Langkah ini tentu tidak besar efeknya. Pasalnya, 70 persen impor Indonesia dalam bentuk bahan baku dan barang modal seperti mesin, baja, tekstil dan minyak mentah.  Sayang, Pemerintah tak berani menaikkan tarif pada barang-barang tersebut. Padahal arus impor barang-barang tersebut telah banyak menggerus industri dalam negeri seperti yang dirasakan oleh industri baja domestik.

Dari sisi investasi, Pemerintah terus menggelar karpet merah untuk investor asing. Terakhir, Pemerintah membuka keran investasi dengan memperbesar kepemilikan asing pada sejumlah sektor ekonomi. Kebijakan itu adalah Paket  Ekonomi ke-16 yang memperbolehkan kepemilikan 100 persen kepemilikan asing pada 54 sektor usaha. Belakangan, kemudahan investasi untuk sector UMKM direvisi setelah mendapatkan banyak kecaman dari masyarakat. Pemerintah seakan tak pernah berefleksi bahwa liberalisasi investasi ini telah membuat industri domestik megap-megap. Salah satu contohnya adalah industri semen, khususnya BUMN, yang berdarah-darah akibat harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan semen asing seperti Cina dan Vietnam yang diberi keleluasaan mendirikan pabrik dan menjual produknya di dalam negeri.

Upaya Pemerintah untuk mengambil sebagian PT Freeport juga setengah hati. Meskipun Pemerintah sudah mengumumkan telah mengambil-alih saham PT Freeport sebanyak 51 persen melalui PT Inalum, prosesnya harus mendapatkan izin dari lembaga anti trust Cina. Selain itu, dana pembelian saham itu, sebanyak US$38,5 miliar, semuanya berasal dari sindikasi bank-bank swasta yang kebanyakan adalah bank asing. Tidak ada bank BUMN. Padahal, merujuk pada sistem Islam, biayanya akan sangat murah. Pemerintah tidak perlu memperpanjang kontrak dengan PT Freeport sehingga sahamnya secara otomatis jatuh ke tangan Pemerintah. Pemerintah cukup membayar nilai asset yang telah diinvestasikan Freeport. Nilai bukunya hanya $6 miliar. Sangat rendah dibandingkan dengan harga yang harus ditebus Pemerintah di atas. Persoalan produksi dan manajemen tentu bukan persoalan besar. Pasalnya, sebagian besar pekerja dan pihak manajemen di pertambangan tersebut adalah orang-orang Indonesia juga.

Tingkat kemiskinan tahun ini juga tidak  banyak berubah dibandingkan tahun lalu. BPS merilis angka kemiskinan pada bulan Maret 2018 mencapai 9,82 persen. Setara dengan 25,95 juta orang. Turun tipis dari September yang mencapai 10,12 persen. Turunnya angka kemiskinan ini disambut sukucita oleh Pemerintah. Namun, rilis ini banyak mengundang tanda tanya warga. Banyak mengatakan: angka ini tidak mencerminkan kondisi riil masyarakat. Pasalnya, garis kemiskinan nasional yang ditetapkan BPS pada bulan itu sebesar Rp 416 ribu. Jika dibagi 30 hari mencapai Rp13,900 perhari. Garis kemiskinan BPS sepertinya sudah tidak relevan. Terlalu rendah. Di Jakarta, misalnya, garis kemiskinan mencapai Rp 593 ribu atau sekitar Rp 20 ribu per hari. Ini bukan hanya untuk belanja makanan, tetapi juga untuk belanja non makanan seperti sewa rumah, pendidikan dan transportasi. Penduduk yang pengeluarannya Rp 21 ribu perhari tidak masuk kategori miskin.

Dalam Simposium Forum Masyarakat Statistik November lalu, terungkap bahwa landasan penetapan garis kemiskinan Indonesia setara dengan negara-negara miskin yang ada di Afrika. Jauh di bawah negara-negara berkembang lainnya. Selain itu, penetapan referensi orang yang tidak  masuk miskin versi BPS juga tidak mendapatkan basis akademik yang cukup kuat. Satu-satunya alasan untuk mempertahankan garis ini adalah konsistensi dalam menghitung perkembangan masyarakat yang dianggap miskin oleh Pemerintah.

Berikutnya masalah kesejahteraan sosial. Problem defisit keuangan yang dialami BPJS juga masih menjadi persoalan yang menyeruak pada tahun ini. Besarnya tunggakan pembayaran tagihan rumah sakit kepada BPJS membuat presiden murka. Ini adalah kelanjutan dari defisit yang terus mendera perusahaan asuransi kesehatan itu. Pembayaran iuran peserta, baik peserta yang menerima bantuan iuran Pemerintah dan peserta mandiri, masih lebih rendah dibandingkan dengan biaya yang harus ditanggung oleh badan itu.  Tahun lalu, jumlah beban manfaat  yang dikeluarkan sebesar Rp 84 triliun. Adapun iuran yang diperoleh sebesar Rp 74 triliun. Defisit sekitar Rp 10 triliun. Pemerintah kemudian ikut menambal defisit itu sebesar Rp3,6 triliun.

Dari sisi fiskal, isu utang Pemerintah masih menjadi persoalan besar. Lemahnya kemampuan Pemerintah untuk menarik pendapatan dari pajak dan pendapatan negara bukan pajak menjadikan Pemerintah terus menarik pembiayaan melalui utang. Utang Pemerintah tahun ini diperkirakan mencapai Rp 4,424 triliun. Anggaran untuk membayar bunganya mencapai Rp 249 triliun. Pembayaran bunga ini hampir dua kali dari tahun 2014 yang mencapai Rp 133 triliun. Kenaikan pembayaran bunga ini akibat melemahnya kurs rupiah dan meningkatkan tingkat suku bunga utang Pemerintah. Saat yang sama tingkat subsidi dianggarkan sebesar Rp 228 triliun. Bahkan Pemerintah tengah berancang-ancang untuk menghapus subsidi listrik pada pengguna listrik 900VA. Pemerintah sempat menaikkan harga Premium dan Pertalite untuk mengurangi potensi kerugian Pertamina meskipun dalam hitungan jam, keputusan itu diralat. Sebuah langkah yang menunjukkan kacaunya pengelolaan sistem pemerintahan di negara ini.

Berikutnya pelemahan rupiah. Tahun ini juga rupiah bergerak bak roller coaster. Naik tajam hingga mendekati 15 ribu. Lalu dalam waktu singkat menukik tajam di bawah Rp 14.500. Kemudian perlahan melemah. Ketidakstabilan ini membuat pelaku usaha kesulitan  memprediksi kondisi usaha mereka. Rakyat, pengusaha dan Pemerintah dibuat rugi oleh ketidakstabilan ini. Harga-harga beberapa kebutuhan pokok yang berasal dari impor naik. Tarif listrik non subsidi juga naik karena BBM-nya diimpor.  Biaya impor bahan baku pengusaha naik. Utang mereka dalam dalam bentuk dolar juga naik. Pemerintah, termasuk banyak BUMN, juga sama. Akibat perubahan kurs, beban utang mereka ikut naik. PLN bahkan merugi hingga berkali lipat akibat tersetrum nilai tukar rupiah yang anjlok. Seperti biasanya, kondisi domestik dan eksternal selalu menjadi kambing hitam. Mulai dari  defisit neraca pembayaran, sentimen negatif investor terhadap kebijakan moneter The Fed, perang dagang AS-Cina hingga krisis yang terjadi di Turki dan Argentina.

Berikutnya terkait tenaga kerja. Isu tenaga kerja asing masih mewarnai sentimen negatif terhadap rezim yang berkuasa saat ini. Memang jumlah tenaga kerja asing di Indonesia menurut versi Pemerintah relatif kecil. Namun, tenaga kerja ilegal diperkirakan jumlah terus tumbuh. Hal ini didasarkan pada banyaknya temuan masyarakat di pusat-pusat pertambangan dan daerah-daerah yang menjadi lokasi pembangunan infrastruktur.  Banyak juga warga negara asing yang dideportase karena telah menyalahgunakan tujuan kunjungan mereka dari sekadar turis menjadi tenaga kerja. Secara formal, Pemerintah juga memberikan berbagai kemudahan bagi tenaga kerja asing untuk bekerja di negara ini.

Pada tahun ini Indonesia juga menjadi tuan rumah Annual Meeting World Bank-IMF. Untuk acara ini Pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp 855,5 miliar. Tidak hanya membangun infrastruktur, anggaran itu dipakai untuk menghelat rangkaian acara yang meriah, akomodasi yang mewah bagi peserta, termasuk sarana transportasi yang lux. Pesta tahunan tersebut tentu menyayat hati. Pasalnya, saat yang sama, korban gemba di Palu dan Donggala, serta di Lombok, tidak mendapatkan bantuan yang memadai dari Pemerintah. Apalagi Bank Dunia dan IMF merupakan dua Lembaga multinasional yang banyak berkontribusi dalam menciptakan sistem ekonomi yang liberal seperti yang dirasakan saat ini. Mulai dari sisi regulasi, kebijakan, bantuan teknis hingga utang dengan bunga dan syarat yang mencekik. Dengan demikian, tidak ada alasan kuat untuk menjadi peserta pesta tahunan itu, kecuali menunjukkan ketundukan pada lembaga-lembaga yang menjadi kaki tangan imperialisme Barat di neger-negari Muslim itu.

 

Solusi Islam

Potret ekonomi Indonesia menunjukkan arah ekonomi Indonesia tetap berada di jalur kapitalisme yang kental dengan praktif neo-liberalisme dan neo-imperialisme. Sistem tersebut membuat sumberdaya alam Indonesia terkuras untuk kepentingan investor swasta dan asing, menjerumuskan penduduk dalam jumlah besar dalam kubangan kemiskinan dan pengangguran serta menghambat Indonesia untuk maju menjadi negara besar dan mandiri. Lebih mendasar dari itu, sistem ekonomi dan kebijakan-kebijakannya saat ini semakin jauh dari tuntunan ajaran Islam yang kâffah.

Oleh karena itu, satu-satunya cara agar Indonesia bisa menyelesaikan ragam persoalan ekonomi dengan benar adalah kembali pada Islam secara menyeluruh, termasuk dalam aspek pengelolaan ekonomi. Sebagai contoh dari sisi fiskal, Pemerintah harus melepaskan ketergantungan pada pembiayaan utang. Selain mencekik, utang juga sarat dengan riba. Dalam sistem moneter, Pemerintah harus meninggalkan sistem mata uang kertas dan beralih pada mata uang emas dan perak. Pemerintah juga harus mengelola sumberdaya alam yang depositnya melimpah seperti barang-barang tambang. Tidak diserahkan kepada asing. Pemerintah juga wajib menjamin agar setiap rakyat di negara ini tercukupi kebutuhan pangan, sandang dan papannya. Tidak sekadar puas mampu menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran. Juga sederet aturan-aturan Islam lainnya.

Dengan menerapkan Islam secara kâffah, cita-cita Indonesia menjadi negara yang makmur, sejahtera, maju dan berada dalam keberkahan dari Allah SWT akan dapat diwujudkan secara bersamaan.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Muis]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eighteen + nine =

Back to top button