Islam Dijauhkan Dari Kehidupan
Pak Din Syamsuddin radikal?” tanya Pak Nana. Pertanyaan senada muncul dari banyak pihak. Hal itu muncul karena segelintir orang yang menamakan diri Gerakan Anti Radikalisme Alumni ITB (GAR ITB) melaporkan Pak Din sebagai orang radikal ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Beliau kritis dan dituding radikal. Reaksi pun sontak berdatangan. Buya Anwar Abbas (14/2/2021) menyatakan, “Saya lihat kelompok ini merupakan satu kelompok yang telah berbuat gaduh di negeri ini.” Ketua PP Muhammadiyah pun keheranan, “Pak Din kan selama ini menggembar-gemborkan Islam wasathiyah.”
“Saya kira sikap kritis Din tak melanggar. Apalagi ASN-nya kan dosen. Seorang guru besar pula. Masa iya seorang guru besar tak boleh mengkritik terkait persoalan bangsanya,” ujar Ujang Komarudin, pengamat politik Universitas al-Azhar (18/2/21).
Tak kurang, Menkopolhukam Mahfud MD dan Menteri Agama Yakut menolak tudingan terhadap Mantan Ketua Dewan Pertimbangan MUI itu. “Tapi, seperti biasa, setelah dilawan dari sana-sini, GAR pun mengelak dengan berdalih tidak ada kata-kata radikalisme dalam tuduhannya itu,” ujar Pak Nana. Ada apa gerangan?
“Ya, setidaknya mereka merasa di atas angin. Mereka merasa berkuasa. Langsung uji coba menyerang level atas,” kata Kang Roni.
“Pak Din itu kan Mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Mantan Ketua Umum MUI, Mantan Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban, Indonesian Committee on Religions for Peace (IComRP), Honorary President pada World Conference on Religions for Peace (WCRP), chairman World Peace Forum (WPF), Chairman of Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC),” tambahnya. “Kalau ini berhasil, yang lain menjadi kecil,” simpulnya.
Saya sampaikan bahwa setidaknya ada dua hal. Pertama, radikalisme benar-benar dijadikan alat pukul. Dengan definisi sendiri, istilah ini digunakan untuk memukul para aktivis Islam atau orang yang kritis terhadap penguasa. Kedua, mereka menghendaki agar orang yang selama ini dianggap moderat, namun masih menghargai umat Islam yang ingin menerapkan Islam kaffah, seperti Pak Din, ikut menggebuki umat Islam tersebut. Jika tidak, ya siap-siap dituding radikal. “Padahal merekalah yang radikal. Mereka tidak menghargai perbedaan. Mereka itu intoleran. Semua orang harus seperti mereka,” tambah Pak Roni.
Ini sangat berbahaya. Apalagi kalau data yang disampaikan oleh Hersubeno dalam salah satu chanel Youtube benar. Wartawan senior itu menyampaikan, “Menurut kajian orang, mereka itu banyak dari etnis tertentu dan agama tertentu. Bahaya jika dibiarkan.”
“Namun, susah diharapkan. Mencari rasa keadilan di sini seperti mengambil bintang dengan tongkat kayu,” Pak Nana menyahut.
Sungguh mengkhawatirkan. Tampak ada semangat menghabisi ajaran dan aktivis Islam yang kritis terhadap penguasa.
Semangat menghabisi ajaran Islam itu makin terasa. Boleh saja ada orang yang menolak. Namun, ia tidak bisa dan tidak boleh meniadakan perasaan dan penglihatan orang lain. Sekadar contoh, SKB 3 Menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama). Di antara hal penting dalam keputusan itu adalah: “Pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama”. Bahkan yang mewajibkan atau menganjurkan dipersilakan untuk melaporkan dan pelakunya diberi sanksi. “Aneh. Sesuatu yang wajib kok tidak boleh diwajibkan atau dianjurkan. Menutup aurat itu kan wajib,” ujar Pak Roni.
“Kalau terhadap bukan Muslimah pasti dunk tidak diwajibkan,” Pak Nana mengomentari.
Saya sampaikan, “Ini bisa saja berkonsekuensi sekolah negeri seperti, MAN misalnya, tidak boleh tuh mewajibkan siswinya mengenakan kerudung atau jilbab.”
Padahal di dalam hadis maupun al-Quran jelas perintah untuk menutup aurat. Misalnya di dalam Surat an-Nur ayat 31 (yang artinya): Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya. Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari dirinya. Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…(QS an-Nur [24]: 31).
Ayat itu mewajibkan wanita beriman memakai kerudung. lmam al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa dia berkata: “Semoga Allah merahmati para perempuan yang hijrah pertama, ketika turun ayat (yang artinya): Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung jilbab ke dadanya. Seketika mereka merobek kain mereka untuk dipergunakan menutup kepala.”
Reaksi bermunculan. Pengurus MUI Pusat KH Cholil Nafis mengatakan, “Kalau pendidikan tak boleh melarang dan tak boleh mewajibkan soal pakaian atribut keagamaan, ini tak lagi mencerminkan pendidikan. Memang usia sekolah itu perlu dipaksa melakukan yang baik dari perintah agama karena untuk pembiasaan pelajar. Jadi SKB 3 Menteri itu ditinjau kembali atau dicabut.” (4/2/2021).
Menyikapi ancaman tidak dikasih dana BOS bagi penolak SKB 3 Menteri, Ketua MUI Sumatera Barat Buya Gusrizal menyatakan, “Harga diri Minangkabau tidak bisa ditawar. Minangkabau tidak perlu takut. Jalan lain pengganti BOS itu banyak. Harga diri Minangkabau akan dipertahankan walau semua orang Minangkabau dilenyapkan dari muka bumi. Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup membiarkan putri Minangkabau mengumbar aurat.”
“Alasan orang yang tidak setuju kerudung dan jilbab pun aneh. Katanya, itu budaya asing,” ungkap Pak Roni. “Mereka menolak jilbab, tapi welcome pada Valentine’s day yang berasal dari asing. Jadi, kalian itu menolak budaya asing atau menolak ajaran Islam,” simpulnya rada geram.
Satu hal yang terang-benderang sedang terjadi: Islam tengah dijauhkan dari kehidupan.
WalLahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]